Sepuluh tahun kemudian, Azura telah menjadi wanita dewasa. Ia cantik, mandiri, baik, dan tangguh. Ia menjalani hidup sendirian dengan kerja keras dan tekad yang kuat. Meskipun ada banyak rintangan, ia tak pernah menyerah. Ia selalu bangkit dengan harapan, yakin suatu hari nanti akan berhasil menemukan Ayah dan saudaranya. Tak lupa, ia bertekad akan membalas dendam pada keluarga baru ibunya setelah ia sukses.
Kini ia bekerja di taman margasatwa. Seperti biasa, ia selalu memakai masker untuk menutupi bekas luka di wajahnya. Namun, ia melepasnya sejenak saat seorang anak kecil diam-diam mengikutinya.
"Huh... cuaca hari ini panas banget... rasanya mau langsung lompat ke kolam," keluh Azura pada Leni, rekan kerjanya yang sedang bersantai di bangku di bawah payung besar.
"Hahaha, baru seminggu kerja, kamu sudah nggak bisa tahan. Belajar dulu sana sama senior kayak aku," canda Leni. Mereka sudah lima tahun berteman, hubungan mereka sudah seperti saudara kandung.
"Kamu sih enak, Len. Gajinya lebih gede dari aku. Apa aku sampaikan saja ke ketua biar gajinya dinaikkan sedikit? Tapi gaji segini sudah cukup hidupi satu orang sih, haha," balas Azura sambil tertawa, lalu menyimpan amplop tipis ke dalam sakunya.
"Malah kamu yang enak tahu, hidup sendirian. Nggak kayak aku yang harus menghidupi tujuh orang di rumah, apalagi mereka masih kecil-kecil," celetuk Leni.
"Waduh, aku nggak tahu kamu punya adik sebanyak itu. Baiklah, malam ini aku yang traktir makan deh, gimana—" Ucapan Azura terhenti saat sebuah tangan mungil menarik ujung jaket seragamnya.
"Siapa anak ini, Azura?" bisik Leni, menatap wajah anak laki-laki itu yang menggemaskan, namun matanya memancarkan kerinduan yang dalam.
Azura belum sempat menjawab, tapi anak itu sudah memanggilnya dengan panggilan yang membuat dua wanita itu terkejut.
"Mama..." panggilnya dengan polos, memeluk Azura.
"Mama?" Kening Azura dan Leni berkerut, bingung.
Leni berjongkok, mengajak anak itu bicara. "Maaf ya, Adik, teman Kakak ini belum menikah, belum punya anak juga. Adik mungkin salah orang."
Anak itu menggeleng dan meraih telapak tangan Azura. "Mama, ayo pulang baleng Jilo," ajaknya memohon dengan mata berkaca-kaca.
"Maaf ya, Dek. Saya bukan Ibumu," ucap Azura dengan lembut. Namun, anak itu tak mau melepaskannya.
"Mama, Jilo lindu Mama. Ayo pulang cama Jilo," isaknya, berusaha menahan air matanya.
"Leni, sepertinya dia terpisah dari Ibunya. Kamu urus dia, ya. Aku mau antar kunci kandang ini ke penjaga sana," bisik Azura, ingin segera melanjutkan tugasnya.
Leni mengangguk paham. Dengan cepat, ia menggendong anak itu. Anak itu berontak, berteriak sekencang-kencangnya saat Azura pergi.
"MAMAA! JANGAN PELGI!"
Tak lama kemudian, seorang pria tinggi, tampan, dan gagah, dengan tatapan tajam dan misterius, datang menghampiri Leni.
Leni, yang sedang menjaga anak, langsung berdiri. Ia terpesona pada pria itu. "Buset... pria keren ini Ayahnya? Gila, ini mah sugar daddy! Pasti dia orang kaya," batin Leni. Sayang sekali, Azura sudah pergi dan tidak bisa melihat pria tampan itu.
Namun, kekaguman Leni runtuh saat pria itu menatapnya sinis, dingin, dan penuh kekesalan. "Terima kasih sudah menjaga putra saya, tapi mengapa mata anak saya merah seperti ini? Siapa yang berani membuatnya menangis?" Suara baritonnya yang khas membuat Leni ketakutan.
"Maaf, putra Anda menangis karena mencari Ibunya, Tuan," jawab Leni sopan.
Pria itu menghela napas, lalu menggendong putranya. "Papa sangat khawatir padamu, Jilo. Untung kamu baik-baik saja. Jika kamu hilang, Papa pasti sudah mengosongkan tempat ini. Sekarang kita pulang," tutur pria itu serius. Leni semakin yakin, pria itu bukan orang biasa.
Leni melirik anak perempuan di samping pria itu, yang wajahnya mirip dengannya. Adik kembar Jilo itu hanya diam, mengusap-usap matanya, mulai mengantuk. Ia tak lagi fokus mendengar kakaknya marah-marah.
"Ndak mau, Papa. Jilo mau cali Mama." Jilo kembali berontak.
"Jilo! Papa sudah bilang, Mama Jilo sudah tidak ada. Mama sudah pergi ke surga. Sekarang kita pulang."
"Huaaa... Papa bohong! Mama macih hidup, belum mati!" tangis anak itu pecah. Leni yang mendengar semua itu merasa kasihan.
"Ternyata duda ditinggal mati istrinya, sayang sekali. Anak-anaknya lucu tapi Ibunya sudah meninggal," lirih Leni saat kembali duduk.
"Meninggal? Siapa yang kamu maksud, Len?" Azura datang, sempat mendengar keluhan sahabatnya.
"Itu, si anak yang tadi, ternyata Ibunya sudah meninggal."
"Kasihan sekali... lalu siapa yang menjemputnya?"
"Ayahnya. Kamu tahu? Ayahnya keren banget! Spek daddy... daddy gitu deh. Orangnya ganteng, kaya, suaranya itu loh... bikin jantung mau copot. Kalau dia cari istri, aku yang akan menawarkan diri duluan," pungkas Leni antusias. Azura terbahak-bahak.
"Ampun deh, kalau sudah bahas laki-laki ganteng, power-nya langsung berapi-api."
"Aduh... Ra, kamu sih mana mengerti soal cowok. Tahunya kerja, kerja, kerja. Lain kali, aku ajak kamu kencan buta deh. Siapa tahu ada cowok yang cocok buat kamu," saran Leni, tapi Azura cepat menolak.
"Nggak usah deh, aku lagi fokus nyari Ayah sama kakakku yang masih hilang, Len. Kita bahas itu kapan-kapan saja, ya."
Leni mengangguk paham. Ia lupa temannya sedang kesulitan mencari keluarganya yang sudah 22 tahun hilang. Namun, satu pertanyaan terlintas di benaknya. Ia menahan langkah Azura.
"Tunggu, Ra. Aku mau nanya sesuatu."
"Hm, soal apa?" Azura melepas maskernya sejenak.
"Kamu kan masih punya saudara yang tinggal sama Ibumu. Gimana kabarnya sekarang? Apa kalian masih sering ketemu di belakang ibumu? Kalau masih, coba deh kamu minta bantuan dia buat nyari Ayah sama kakakmu," tutur Leni.
Azura menunduk lesu. Leni merasa bersalah, tak sengaja membuka luka Azura yang belum sembuh.
"Dia sudah lama meninggal, Len. Aku sudah nggak bisa ketemu sama Aina lagi." Air mata Azura mulai berlinang.
"Bahkan saat pemakaman Aina, aku nggak diizinkan ikut sama Ibu. Aina sangat baik, kenapa orang sebaik dia harus pergi duluan? Kenapa bukan aku saja atau Ibu..." Azura tak kuasa melanjutkan ucapannya. Air matanya menetes deras. Ia menangis dalam pelukan Leni. Azura sangat terpukul atas kepergian Aina, saudaranya yang berhati malaikat, lembut, dan sangat memperhatikannya.
"Aku nggak tahu lagi, gimana nanti kasih tahu hal ini ke Ayah sama Kak Sahira. Aku takut mereka malah benci aku..." Di luar, Azura selalu tampak ceria, namun tak ada yang tahu luka dan derita yang ia simpan sedalam ini. Hanya Leni satu-satunya tempat ia mencurahkan semuanya.
"Aku seharusnya jaga Aina, tapi aku gagal, Len..." Isak Azura, suaranya bergetar, napasnya tersengal, hatinya hancur.
Leni mencoba menenangkan Azura, walau air matanya juga ikut menetes. "Aina sangat ingin bertemu Ayah, tapi hal itu sudah tidak bisa terwujud. Ini salahku, harusnya aku bawa pergi saja Aina dari keluarga itu." Sudah tiga tahun Aina pergi, Azura belum rela menerima kematiannya. "Aina punya impian, tapi ia berakhir menikah di usia muda. Mereka semua jahat! Aku nggak akan pernah maafin mereka."
Leni tertegun melihat api dendam di tatapan Azura. Ia bisa merasakan gejolak amarah dan kebencian Azura.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments