Pencarian Pak Wayan yang hilang berlangsung selama tiga hari penuh, dan menyebabkan kelelahan serta kecemasan yang meresap ke setiap sudut desa Banjaran. Warga yang awalnya bersatu dalam harapan kini mulai terpecah belah oleh rasa takut dan kecurigaan.
Atmosfer desa Banjaran berubah drastis tidak lagi tenang dan bersahaja seperti biasanya. Kecurigaan yang sebelumnya tersembunyi kini menguar di udara, pekat seperti asap dupa wangi yang tak kunjung hilang.
Tatapan dan bisik-bisik warga terhadap Bagus semakin intens, seolah-olah pria itu adalah pembawa sial. Kedatangan Bagus seperti penyebab dari semua malapetaka yang menimpa desa mereka.
Ada salah satu pria yang merupakan pengurus Pura Desa pernah nyeletuk, dia berkata dalam bahasa Bali, "Ne be jlema ane ngaba sangkala dini! Cuih!" (ini dah orangnya yang membawa musibah di sini) ucap pria itu sambil meludah saat Bagus melewatinya.
Kini bahkan anak-anak yang dulu menyapa Bagus dengan senyum ramah, malah bersembunyi di balik badan ibu mereka, menatap pria itu dengan mata penuh waspada.
Komang, si pemuda pemarah yang sejak awal tidak menyukai kehadiran Bagus, kini tak lagi menyembunyikan rasa bencinya. Dia sengaja menghadang Bagus suatu sore di jalan setapak menuju rumah Marni. Wajah Komang terlihat bengis dan matanya menyala penuh amarah.
"Sejak kau datang, banyak masalah yang berdatangan di desa kami ini!" hardik Komang, suaranya tajam seperti sayatan pisau. "Pak Wayan menghilang. Lalu kau juga menemukan tengkorak. Itu semua bukan kebetulan!" ucap Komang lagi.
Bagus mencoba tetap tenang, meski dadanya bergemuruh menahan kesal karena dituduh. "Aku tidak pernah punya maksud jahat, aku hanya ingin membantu," kata Bagus, suaranya bergetar namun tegas.
"Bantuan terbaik darimu adalah pergi dari desa kami!" bentak Komang, dia mendekati Bagus dengan langkah mengancam. "Kau tidak mengerti apa-apa. Marni... dia sudah cukup menderita. Jauhkan dirimu darinya. Jangan menambah beban hidupnya lagi!" ucap Komang lantang.
Saat nama Marni disebutkan, hal itu terasa seperti tamparan keras bagi Bagus. Dia menyadari ada perasaan aneh yang tumbuh di hatinya sejak pertama kali bertemu gadis itu.
Bagus seperti ingin melindungi Marni, ada sedikit penasaran yang melebihi tuntutan penelitian akademis yang dia lakukan. Bagi Bagus, gadis itu bukan hanya subjek penelitian, tapi seseorang yang membuatnya merasa terikat, meski Bagus sendiri belum sepenuhnya memahami kenapa dia sampai berpikir demikian.
Malam itu, Bagus memberanikan dirinya menanyakan tentang Leak pada Marni. Mereka duduk di beranda rumah, ditemani cahaya lentera minyak yang berkelap-kelip tertiup angin dan suara hewan malam yang bersuara merdu.
Wajah Marni tampak pucat dan lesu, gadis itu kelelahan karena pencarian sang Ayah yang tak kunjung membuahkan hasil. Mata beningnya menerawang ke arah hutan yang gelap, seolah menyimpan rahasia yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
"Leak itu bukan setan, Mas," bisik Marni pelan, suaranya nyaris tak terdengar. "Ibu bilang, mereka adalah jelmaan orang-orang yang tersesat karena ilmu hitam dan memiliki luka mendalam di hati mereka. Orang-orang ini terjebak di antara dua dunia karena ilmu hitam yang mereka pelajari, karena kutukan, atau pengkhianatannya sendiri pada Tuhan. Mereka sebenarnya menderita, dan penderitaan itu membuat mereka LAPAR." terang Marni panjang lebar.
"Lapar?" tanya Bagus bingung tapi mencoba memahami.
"Lapar akan zat kehidupan, lapar akan darah, lapar akan pengganti yang suatu saat nanti akan mewarisi ilmu hitam mereka, Mas. Mereka bisa mengganggu, menakut-nakuti, bahkan... mengambil nyawa, saat mereka merasa terganggu atau jika ada seseorang yang memenuhi syarat untuk menjadi pengganti mereka." terang Marni, lagi.
Marni menarik selendang merahnya lebih kencang, seperti ingin melindungi dirinya dari sesuatu yang tak terlihat. "Ayah... Dia pernah bilang padaku, di hutan Banjaran ada sesuatu yang terbangun. Dari sana sering muncul suara-suara aneh, atau bau busuk yang tiba-tiba menyengat penciuman. Saat itulah Ayah pergi untuk memeriksanya. Dan, sampai saat ini, Ayah belum kembali." ucap Marni dengan tatapan sendu.
Bagus menatap Marni dengan prihatin. "Kenapa kamu tidak pergi dari sini, Marni? Kamu masih muda. Kamu bisa memulai hidup baru di tempat lain."
Marni memandangnya, dan untuk pertama kalinya, Bagus melihat air mata menggenang di matanya. "Darah saya terikat di sini, Mas. Seperti kamu, meski kamu mencoba melupakannya."
Pernyataan itu membuat Bagus tertegun. Ia ingin bertanya lebih lanjut, namun belum sempat melakukannya, teriakan pecah dari ujung desa.
"Mereka menemukan sesuatu! Di gua dekat sungai!" teriak salah seorang warga desa.
Bagus dan Marni bergegas mengikuti kerumunan warga yang membawa obor. Suasana panik dan ketakutan terasa menyelimuti semua orang. Di mulut gua yang sempit dan gelap, tergeletak celengan tanah liat milik Pak Wayan. Benda itu pecah berantakan. Dan di sampingnya, tergeletak sobekan kain dari sarung yang biasa dikenakan Pak Wayan. Sobekan kain itu berlumuran lumpur dan sesuatu yang berwarna coklat kemerahan.
Mang Dirga, tetua desa yang dikenal memiliki pengetahuan tentang hal-hal gaib, sudah berada di lokasi. Dia memeriksa sobekan kain itu dengan wajah muram. "Ini bukan darah manusia," gumamnya, tapi cukup keras untuk didengar oleh Bagus. "Ini adalah tanda. Dia telah diambil."
"Pak Wayan diambil oleh siapa?" tanya Kepala Desa Tulus, wajahnya pucat, tubuhnya gemetar.
Mang Dirga menatap langsung ke arah Bagus. "Oleh yang LAPAR." jawabnya.
Kata-kata itu menggema di kepala Bagus. Dia tidak bisa lagi menganggap hal ini hanya kebetulan atau kepanikan biasa. Ia menyaksikan langsung keputus-asaan di mata Marni, ketakutan primitif di wajah para warga desa, dan kenyataan mengerikan dari kain berlumuran "tanda" itu. Logikanya mulai retak, digantikan oleh rasa takut yang merayap pelan namun pasti.
Kembali ke rumah Marni, Bagus tidak bisa tidur. Dia duduk di lantai, memandangi daun lontar pemberian Mang Dirga. Dengan bantuan lampu senter, ia mencoba memecahkan kode tulisan kuno itu. Tangannya gemetar, matanya tampak lelah, namun tekadnya bulat. Satu frase lagi yang berhasil dia terjemahkan membuat darahnya membeku. Sebuah kalimat pun terbaca, "Leak Warisan tidak bisa lari. Darah memanggil darah."
Bagus tersentak ketika dia mendengar suara langkah pelan di beranda. Bukan langkah kaki manusia biasa, tapi seperti sesuatu yang diseret. Perlahan, Bagus mengintip dari celah jendela.
Di bawah sinar bulan purnama, ia melihat bayangan panjang yang tidak berwujud, kepalanya terlalu besar, dan kakinya, jejak kakinya di tanah bukanlah jejak kaki manusia, tapi cap seperti telapak tangan yang terbalik, mengarah ke belakang.
Bayangan itu berhenti persis di depan pintu kamar Marni. Bagus, dengan jantung berdetak kencang, memberanikan diri membuka pintu.
Tidak ada apa-apa... Hanya angin malam yang dingin.
Tapi ketika ia menunduk, di depan pintu kamar Marni, ada secarik kertas kecil yang dilipat. Dengan gemetar, ia mengambil dan membukanya. Tulisan di dalamnya sederhana tapi membuat Bagus merinding.
"Dia adalah milik kami. Kau berikutnya."
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments