.
.
.
Jea hanya menganggukkan kepalanya pasrah.
"Oh ya Jelly kan?" Andrew bersuara sambil melirik Jea sekilas dan kembali fokus menyetir.
"Saya Jealita Tuan, bukan Jelly," protes Jea sedikit tersipu. Ini baru pertama kalinya ada yang menyebutkan namanya Jelly. Aneh sih, tapi Jea sepertinya suka.
"Hmmm. Ya," gumam Andrew lirih.
Suasana di dalam mobil kembali hening. Banyak pertanyaan yang terngiang-ngiang di kepala Jea. Dari nama tuan nya ini siapa? Lalu apa maksud dari dia membelinya.
Tapi niat itu diurungkannya. Mengingat statusnya yang hanya dibeli dari pelelangan. Apalah dikata, mungkin ini sudah garis kehidupannya.
17.35 waktu setempat.
Andrew membawa Jea ke sebuah mansion pribadinya. Mansion dihuni dari Andrew, nyonya Marlina yang selaku ibu tiri. Para penjaga dan beberapa pelayan.
Jea yang turun dari mobil menatap takjub bangunan yang begitu megah di depannya. Seumur-umur baru kali ini dia memasuki tempat yang seperti ini.
"Jalan!" suruh Andrew yang menyadarkan Jea dari rasa kekagumannya.
Dengan pelan Jea mengikuti langkah Andrew. Matanya terus menatap ke sana kemari bangunan yang ada di depannya ini. "Istana Raja," gumam Jea tanpa sadar.
Andrew menoleh ke belakang. Dia menautkan ke-2 alisnya. Bingung dengan kelakuan Jea yang semakin tak jelas menurutnya.
Semua penjaga membungkukkan badan ketika Andrew melintas di depannya. Jea masih belum tersadar. Dia terus mengikuti langkah Andrew dan matanya fokus pada bentuk bangunan tersebut.
"Seperti emas ya," bisik Jea lagi tanpa sadar. Kata-kata itu muncul spontan dari hati, otak serta matanya yang melihat.
"Kepala pelayan!" panggil Andrew sambil menghentikan langkahnya.
DEBUG
"Aww, maaf Tuan, saya tak sengaja."
Jea memegangi keningnya yang sudah menabrak bahu Andrew. Dia tak fokus tadi. Jadinya ya begitulah, karena tak melihat Andrew yang berhenti mendadak. Akhirnya Jea menabraknya.
Andrew membalikkan badannya. Kini ke-2 nya saling berhadapan. Jea hanya menunduk. Siap mendengarkan semua kata-kata yang akan muncul dari mulut sang tuannya.
10 detik lamanya. Tak ada yang mengeluarkan sepatah katapun. Andrew hanya menatap wajah Jea dengan dingin tapi intens. Meskipun tidak sepenuhnya jelas terlihat di mata Andrew karena posisi Jea yang hanya menunduk. Tapi itu mampu menarik sesuatu yang ada di dalam diri Andrew. Wanita ini mirip sekali dengan wanita itu.
"Iya Tuan."
Hingga suara kepala pelayan itu memecahkan keheningan di antara mereka.
"Ini pelayan baru, ajari dia tata cara mengurus rumah ini."
"Baik tuan."
"Untuk hari ini, suruh dia menyiapkan menu makan malam," perintah Andrew yang diangguki oleh sang pelayan.
Lalu, Andrew melenggang ke lantai atas, menuju ke kamarnya.
Jea yang mendengar itu semua akhirnya berjingkrak girang. Apa dia tak salah dengar? Tuannya itu telah memberikannya pekerjaan, kan? Jea yang haus akan bekerja dan kini dia dipekerjakan di sebuah istana -menurut Jea- walaupun hanya seorang pelayan itu sangatlah amazing. Luar biasa tak terduga.
Jea terus menatap Andrew yang menaiki anakan tangga.
'Terima kasih Tuan, kau sangat baik hati. Aku tak yakin bisa membalas kebaikanmu,' batin Jea tanpa sadar melemparkan sebuah senyum terlebarnya.
Dan kebetulan Andrew melihat itu. Seketika, Jea langsung menunduk, sebab tanpa sengaja, ke-2 bola matanya bertemu dengan mata abu-abu blasteran Italia tersebut.
"Silahkan ikuti saya," perintah kepala pelayan itu.
Jea pun mengikutinya. Kepala pelayan itu menunjukkan sebuah kamar kecil pas untuk dihuni satu orang. Dipastikan, itu tempat tinggal Jea sekarang.
"Ini kamarmu, istirahatlah sebentar. Karena setelah ini, kamu harus memasak untuk Tuan."
"Baik Bi." Jea memanggilnya bibi karena diperkirakan, wanita paruh baya itu berumur sekitar 50 tahunan lebih.
"Saya Murti," kata pelayan itu mengulurkan tangan.
"Jealita, bisa dipanggil Jea atau Lita. Terserah Bibi."Jea membalas uluran tangan itu.
Ke-2nya kini saling berjabatan tangan.
"Oya Jea, ini pakaian pelayanmu saat di sini. Dan ada beberapa baju lama. Mungkin kamu bisa memakainya saat sedang istirahat."
"Terima kasih Bi." Jea berbinar. Ternyata dunia ini tak sekejam pemikirannya. Di sini dia masih bisa bertemu dengan orang baik. Orang baik menurut Jea pastinya bukan orang lain.
Bi Murti hanya tersenyum. "Dua puluh menit lagi saatnya bekerja. Gunakan waktumu sebaik mungkin."
Bi Murti berlalu. Jea benar-benar bahagia. Tak terpikirkan sebelumnya, ia pikir, ia akan masuk ke kandang singa. Tapi ternyata salah. Jea justru seperti menginjakkan kakinya di taman es. Dingin. Semua rasa panas yang ada di hatinya, menyejuk seketika.
"Tuan, kau baik sekali," ucap Jea sambil membaringkan tubuhnya ke kasur. Tangannya telentang. Matanya terpejam.
10 menit lamanya Jea memejamkan matanya. "Aku harus semangat. Jangan sampai tuan kecewa padaku."Jea terbangun dan menyemangati hidupnya.
***
Di dapur sebagian masakan yang Jea masak sudah selesai. Dari ayam goreng, sambel goreng, mie goreng, tumis kangkung. Jea tidak tahu menahu apa makanan kesukaan tuannya itu. Yang jelas hari ini Jea memasaknya dengan rasa yang lezat menurut Jea.
Sedang bi Murti terlihat sibuk membuat sop ayam.
"Bi, masakanku sudah selesai," bisik Jea sepelan mungkin takut mengganggu.
"Tunggu sop ini masak ya Jea, ini request dari nyonya besar," balas bi Murti masih konsentrasi.
Semua makanan akhirnya selesai dihidangkan di meja. Jea melihat hasil masakannya dan tersenyum sendiri. 'Semoga Tuan suka,' batin Jea.
Nyonya Marlina berjalan menuju meja makan. Jea membungkukkan badannya hormat. Marlina yang menyadari kalau pelayannya ini bukan pelayan yang biasa akhirnya buka suara.
"Kamu pelayan baru?"
"Iya nyonya," balas Jea sambil menunduk.
"Siapa namamu?" tanya Marlina ingin mengenal sang pelayan lebih jauh. Syukur-syukur kalau akrab. Karena pada dasarnya dia hanyalah seorang ibu tiri yang seperti tak dianggap. Berbanding terbalik dari sikap ibu tiri Jea yang justru terkesan begitu jahat
"Jealita Nyonya, Anda bisa panggil saya Jea atau Lita."
"Kamu cantik Jea, sepertinya dengan postur tubuhmu yang seperti ini, seharusnya kamu cocok jadi model." usul Marlina dengan senyum jahilnya, tapi sungguh-sungguh.
"Ehmmmm."
Suara deheman menghentikan percakapan ke-2nya.
"Selamat malam Andrew anakku," ucap Marlina menyambut anak tirinya yang super dingin itu.
Andrew hanya membalasnya dengan sedikit senyuman yang terlihat jelas sangat dipaksakan.
Marlina sudah terbiasa menghadapi sifat cuek sang anak tiri. Setidaknya dirinya sangat bersyukur telah dibiarkan tinggal di mansion ini. Mungkin kalau ibu tiri yang lain bakal ditendang setelah kematian ayahnya. Tapi Andrew tidak mengusirnya. Dia tetap menyuruh ibunya tinggal meskipun dengan sifat dingin.
Pemikiran Jea dan Marlina berbeda. Menurut Jea sifat yang barusan Andrew tunjukkan sangat lah tidak sopan.
Astaga, dia baru menyadari, kalau nama tuannya adalah Andrew. Bahkan Jea tahu nama majikannya dari mulut Marlina. Bukan dari mulut Andrew sendiri.
'Ah, terlalu berharap kau Jea,' fikir Jea.
Jea yang mengetahui kalau majikannya sudah siap makan, akhirnya ijin mengundurkan diri.
"Selamat menikmati Tuan, Nyonya." Membungkuk ke arah Andrew dan kemudian ke Marlina. Saat Jea mulai melangkah menjauh. Suara bariton itu menghentikan langkah kakinya.
"Tunggu."
"Iya Tuan, ada yang bisa saya bantu?" tanya Jea sambil mendekat ke arah Andrew.
"Ambilkan!" suruh Andrew sambil melirik sebuah piring.
Jea mengerti apa maksudnya. Karena setiap hari ibu tirinya selalu minta dilayani, ambilkan ini itu meski tanpa menunjuk dengan jari telunjuknya.
Jea mengambilkan nasi. Karena tidak tahu seberapa banyak porsi sang tuannya itu. Terpaksa Jea mengambil nasi dan lauk sesuai porsinya sendiri.
"Silahkan Tuan." Jea menyodorkan nasi lengkap lauk pauk tepat dihadapan Andrew.
Andrew mengambil sendoknya. Menyuapkan nasi dan tumis kangkung ke mulutnya. Jea masih belum beranjak. Berharap sebuah pujian yang keluar dari mulut tuannya. Membayangkan hal itu membuat Jea seperti akan terbang ke angkasa.
"Uhukkkkkk."
Andrew memuntahkan nasi yang bahkan belum sempat ditelannya.
"Kau, mau meracuniku hah?" bentak Andrew murka.
"Maaf Tuan, saya tidak mengerti." Jea gelagapan. Baru saja dia mengkhayal akan terbang ke angkasa. Faktanya dia malah jatuh ke dasar jurang. Bukan pujian tapi bentakan.
Andrew mengambilkan sesuap nasi dan tumis kangkung lalu menyodorkan sendok itu kepada Jea.
"Coba kamu rasakan ini," ucap Andrew dingin. Raut wajahnya masih terlihat begitu marah.
Dengan ragu-ragu Jea meraih sendok itu dan menyuapkan ke mulutnya. Jea mulai mengunyah. Tidak ada yang kurang. Enak masakannya. Lalu di mana letak salahnya? Jea masih mengunyah sambil terus berusaha mencari kesalahannya.
"Bagaimana rasanya?" tanya Andrew masih tetap dingin.
Jea melirik Marlina takut. Tapi yang dilirik hanya menyunggingkan senyum. Kode agar Jea menjawab dengan jujur.
"Emmm, tidak ada yang salah. Asin manisnya pas. Agak sedikit pedas," tutur Jea menilai masakannya.
BRaaaakkkk
Andrew memukul meja. Jea terlonjak kaget. Bahkan Marlina lebih terkejut hingga tersedak. Tapi Andrew tidak perduli dengan Marlina. Saat ini masalahnya ada pada Jea.
"Sedikit PEDAS menurutmu?"
"Apa kau tak tahu aku anti dengan cabe hah?" Andrew murka.
Jea akhirnya menyadari dimana letak kesalahannya. Bodohnya Jea yang tidak bertanya dulu pada Murti. Jea yang terlahir di Jawa. Dia sangat suka dengan rasa pedas. Ia pikir, Andrew juga menyukainya. Jea akhirnya menunduk pasrah. Siap jika dirinya harus dihukum.
"Kepala pelayan!" teriak Andrew yang tegas tapi tetap terlihat dingin.
Murti yang mendengar namanya dipanggil langsung lari terbirit-birit. Padahal bi Murti tadinya mau buang air. Terpaksa ditunda gara-gara tuannya.
"Iya Tuan," Bi Murti membungkuk.
"Dari mana aja hah? Hampir saja dia meracuniku. Kamu kemana aja?" marahnya sambil menunjuk wajah Jea.
"Maaf Tuan." Bi Murti gemetaran. Menahan pipis dan menahan bentakan tuannya. Karena faktor umur, dia bahkan lupa kalau Jea pelayan baru.
"Setelah ini ajari dia tentang masakan yang bisa aku makan, dan yang tidak bisa aku makan."
"Baik Tuan."
"Dan kau Jelly." Sambil menunjuk ke wajah Jea lagi. Dan Jea langsung mendongakkan kepalanya. Mata mereka beradu.
Deg.
Tiba-tiba saja jantung Jea berdisko, dengan cepat ia langsung menunduk kembali. Jea bingung. Baru kali ini dia benar-benar gugup saat bertatapan mata dengan tuannya. Sedang Andrew langsung menurunkan jarinya.
"Kau masak ulang masakanmu. Ingat tanpa cabe, atau lombok dan sejenisnya," lanjut Andrew menyuruh.
"Ba...baik Tuan, " balas Jea terbata-bata karena dia masih diposisi yang gugup.
"Kalau sudah siap, antar ke kamar."
"Dan awas kalau masih pedas! Aku akan menghukum mu!"
Andrew pergi meninggalkan ruang makan, yang kini suasananya jadi mencengkam. Bi Murti yang sudah tidak tahan langsung terbirit ke belakang. Jea pamit pada nyonya Marlina karena tugasnya belum selesai.
Marlina hanya diam saja menanggapi sikap Andrew. Sejak dia kehilangan istri yang baru saja dinikahi seminggu itu. Sifat Andrew berubah menjadi dingin dan pemarah. Hanya bersabar yang bisa Marlina lakukan, semaksimal mungkin.
to be continued.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Fitrah Fitrah
duren sawit rupanya
sayangnya galak
2022-04-17
0
Tri Sulistyowati
ohhh patah hati
2021-07-28
0
Marysya alwi
baru tau ada orang alergi cabe
2020-07-11
2