Menanggapi perintah dari Arson, seluruh orang mulai membuat kegaduhan. Berteriak, memukul-mukulkan pedang ke perisai, menghentak-hentakkan kaki ke lantai, atau bernyanyi seriosa seperti yang dilkukan Kord. Jujur harus aku akui, nyanyiannya sangat indah, terutama di bagian saat dia tidak mengeluarkan suara.
Dua orang berpakaian besi lengkap, ajudan sang bangsawan Arson, kemudian berlari kecil membawa obor. Mereka mengarah ke ujung ruangan, yang baru aku sadari terdapat lubang besar menganga di dindingnya. Sesampainya di sana, mereka melempar jauh obor di tangan, lalu lekas kembali ke posisinya semula. Kali ini keduanya berlari lebih cepat dengan pedang terhunus.
Bum!
Lantai kastil bergetar kencang. Bersamaan dengan suara debum keras yang entah berasal dari mana. Namun, bukannya kaget dan menghentikan suara bising yang dibuat, mereka semua justru semakin semangat melakukannya.
Suara dan getaran itu terus berlanjut. Semakin lama, semakin mendekat dan keras. Aku bisa menebak apa sumber semua itu, dan semakin yakin saat geraman kencang terdengar. Begitu membahana, hingga keributan yang kami buat tertelan begitu saja olehnya.
Dua nyala obor yang berpendar redup di lorong lubang, tiba-tiba saja ditelan semburan api yang teramat besar. Lidah api itu bergulung melewati lubang. Cukup jauh jaraknya dari tempatku berdiri, tetapi panasnya yang menggelegak terasa merambat di kulit. Tidak terbayangkan bagaimana panasnya jika aku terkena langsung semburan itu.
Aku terperangah melihat sosok kadal raksasa dengan warna sisik merah terang. Berkilauan indah memikat mata, menutupi sekujur badannya.
Lehernya panjang, dengan sepasang tanduk hitam tajam mencuat di kepala. Menambah sangar tatapan mata dengan pupil segaris berwarna merah. Bergantian keempat kakinya yang dipersenjatai lima cakar--empat di depan, satu di belakang---menghentak bumi bergantian. Ekor besarnya yang terjuntai memporak-porandakan lantai saat dihantamkan.
"Growl!" Si naga merentangkan sayapnya yang sebelumnya terlipat sambil menggeram keras. Memamerkan rentangan dari selaput tebal berwarna merah pucat, yang disanggah tulang-tulang berujung tajam mencuat. Mengintimidasi lawannya.
Dialah naga raksasa penculik puteri Asaru. Monster ganas yang diperintah oleh seorang petapa jahat untuk menghancurkan kerajaan Capitor. Benarkah?
Dan pertanyaan tentang kebenaran yang saling bertabrakan itu sekilas kembali menghantui pikiranku. Tentang kemungkinan petapa yang dimaksud adalah Artapatu, sampai alasan pak tua itu membantuku sampai di sini. Apa maksud dari semua itu?
Tapi hanya sesaat bisa terlintas di pikiran. Karena, sang naga bersisik merah delima sudah maju mendekati kami. Sepertinya dia benar-benar terusik dengan suara bising yang dibuat. Dia menerjang maju sambil berteriak keras. Memekakkan telinga.
"Barisan depan! Formasi penyambutan!" perintah Arson, yang kemudian segera ditanggapi oleh pergerakan pembawa tombak. Membentuk formasi "V" dengan tameng terpasang dan tombak terjulur. Sedikit kaku saat pergerakan, tetapi sempurna dalam susunan. Bukti kalau mereka terlatih.
"Tembak!" Komando kembali mengeluarkan perintah.
Para pemanah di belakang formasi tombak bertameng, serentak melepaskan anak panahnya. Meluncur deras menghujani naga bersisik merah delima yang terus mendekat tak acuh menerima serangan lawan. Yah, karena memang sama sekali tidak terpengaruh. Anak panah yang mengenainya hanya terpantul tanpa meninggalkan bekas sama sekali.
Bruak!
Formasi tombak bertameng buyar disapu serudukan sang naga. Terpental mereka dengan tameng rusak dan tombak yang patah. Beberapa bangkit kembali dan langsung menghunuskan pedang, tetapi ada juga yang terkapar tak sadarkan diri.
Korban tandukan sang naga langsung dievakuasi ke pinggir kastil. Demi menyelamatkan mereka, dan juga agar tidak mengganggu pergerakan yang lainnya dalam menjalankan pertempuran.
"Lapisan dua! Maju!" Perintah kembali diteriakkan.
Para prajurit maju dengan pedang terhunus. Mereka merangsek maju dan mengepung si naga. Mengayun-ayunkan pedangnya menyasar kaki bercakar tajam, perut, dan ekornya yang terjuntai. Namun, tidak satu pun yang berefek kepada si naga. Semua terpental saat mengenainya, bahkan satu dua pedang patah dibuatnya.
Walau seperti itu, Serangan gelombang kedua ini tidaklah sia-sia. Karena, tugas para prajurit berpedang adalah menarik perhatian si naga, dan menggiringnya menuju titik di mana pergerakannya akan dimatikan. Ya, dengan jerat rantai berpasak yang menjadi tugasku dan lima belas orang lainnya, termasuk Kord.
"Sam! Bersiap!" ucap Kord dengan suara bergetar. "Jangan takut, akan aku lindungi kau."
Dia menepuk-nepuk pisau tergantung di ikat pinggang, yang tadi dia ambil sembunyi-sembunyi sebelum berkumpul. Justru membuatku semakin bertambah takut dan khawatir. Alih-alih mati dicaplok naga, bisa jadi aku tewas ditusuk secara tidak sengaja olehnya. Awas saja kalau itu sampai terjadi!
"Penjerat! Bersiap!" Teriakan itu terdengar, bertepatan saat sang naga menyapu para prajurit dengan kibasan ekornya.
Posisi sang naga kini sudah hampir memasuki apitan tiga pasang tiang penopang lantai dua, yang bagian atasnya sudah tanpa landasan.
Entah karena efek magis si naga, atau memang kehadiran sosoknya. Seketika nafasku sesak, tubuhku gemetaran, dan keringat dingin mengucur deras tak terbendung. Membuat genggaman tanganku di rantai hampir saja terlepas.
Walau tugasku tidak seberat menghadapinya langsung menggunakan senjata, seperti para prajurit lainnya. Akan tetapi, aku sadar, tugas yang diberikan kepadaku adalah bagian terpenting dalam serangan ini. Mungkin hal itu yang sebenarnya membuatku benar-benar gugup seperti sekarang.
"Penjerat! Lakukan!"
Sesaat. Detak jantungku seakan berhenti. Perintah itu harus aku laksanakan segera. Tetapi, naga dengan mata penuh kemarahan yang harus kuhadapi. Bisakah? Sanggupkah aku melakukannya?
"Guk!"
Terngiang suara gonggongan Woofy di kepala. Hei! Walau baru pertama kalinya aku menghadapi naga buas itu, tetapi bukan berarti aku tidak pernah menghadapi bahaya seganas dan sebesar dirinya. Malah mungkin, jika dibandingkan Woofy dalam sosok serigala peraknya, si naga bersisik merah delima itu tidak lebih menyeramkan. Gerakannya tidak selincah dan secepat Woofy, bahkan serangannya pun terlihat lebih ramah.
Aku maju sambil memutar rantai di tangan, seperti yang sudah diinstruksikan.
"Tangkap!" teriakku saat melempar rantai berpasak. Melambung melewati badan si naga menuju seberang, untuk disambut rekan di sana.
Detik berikutnya. Rantai di tanganku ditarik kencang dan cepat oleh seseorang. Tanda lemparanku berhasil mencapai sasaran.
Trak!
"Selesai!" Suara ketukan kencang disusul teriakan keras, menjadi tanda bagiku menyelesaikan tugas ini. Menekan pasak di lantai untuk kemudian memanteknya menggunakan palu.
"Growl!"
Aku menyelesaikan tugas awal, bertepatan saat si naga menggerung keras. Mungkin dia kesal karena tubuhnya telah terkunci oleh 5 rantai yang melintang.
Aku bergeser menjauh, dengan tetap siaga menanti lemparan rantai dari seberang. Berkonsentrasi penuh, sambil terus waspada jika serangan si naga datang.
"Sam!" panggil Kord.
Apa-apaan dia. Kenapa sejak tadi belum juga melempar rantai miliknya? Mana sikap sok beranimu tadi? Sekarang malah memasang wajah memelas dengan rantai terjuntai di tangan.
"Apa yang kau lakulan, Bodoh!?" bentakku.
Aku berlari menghampirinya. Mengambil rantai miliknya, lalu memutar kencang sebelum melemparnya tinggi.
Aku meninggalkan Kord begitu saja, karena tidak jauh dariku, ada seutas rantai yang mendarat. Memungutnya, dan langsung memakunya menghujam lantai batu.
"Mundur!" Perintah kembali terdengar. Tanda tugas kami sebagai penjerat selesai. Menuju puncak dari penyerangan ke sarang naga ini.
Begitulah yang aku pikir. Sampai suara teriakan itu kembali mengusikku.
"Sam, tolong aku!" rengek Kord. Tangannya tersangkut belitan rantai yang dipegang.
Kesal, lemas, khawatir, dan iba, bercampur di benakku. Ingin aku memaki dia saat itu juga, tetapi sebaiknya kuurungkan untuk nanti saja. Karena, di depan sana, sang bangsawan Arson sudah menghunus pedang bercahaya ungunya.
Sialan! Belitan rantai ini sangat sulit dilepaskan. Ujung lancip pasak, terkait dengan lubang rantai, sehingga membuatnya terkunci.
"Sam, aku mohon tolong aku, Sam. Mohon ...."
"Diam dulu, aku sedang berkonsentrasi!"
"Sam!"
"Sialan! Di ...."
Aku bungkam karena tercekat melihat kilau ungu yang benderang. Arson sudah melompat dengan pedang saktinya yang terhunus. Menerjang langsung ke tubuh si naga.
"Growl!" pekik si naga. Dia kesakitan ditusuk pedang sakti berpendar ungu.
Darah merah mengucur keluar dari bekas luka setelah pedang itu dicabut. Matanya nanar penuh kebencian. Didongakkan kepalanya dengan mulut terkatup yang masih saja meloloskan lidah api membara, sebelum akhirnya dilepaskan. Api tersembur dari mulutnya, mengarah kepada penyerang di hadapan.
Aku mendesis karena hawa panas itu menyambar hingga ke tempatku berada. Bahkan, rantai yang sedang coba kulepaskan bagai membara membakar kulit. Membuat Kord kelojotan, dan malah makin membuatku sulit melepaskan ikatan di tangannya.
"Berhentilah bergerak. Aku jadi susah melepaskannya!"
"Tapi ... tapi tanganku terbakar."
"Tahan sedikit lagi!"
Bujukanku ampuh mendiamkan Kord. Namun, baru saja aku menemukan celah melepaskan ikatan itu, Sang Naga menggeram kencang. Bukan apa, tetapi ternyata bangsawan sialan itu kembali mencoba menyerang setelah api yang disemburkan padam.
"Tunggu! Hei, Tahan seranganmu!" Aku berteriak sekeras mungkin. Tetapi, entah karena tertimpa geraman si naga, atau si bangsawan itu tidak peduli, serangan masih dilanjutkan.
Hal yang aku ingat selanjutnya adalah sensasi tubuh yang ringan dan kepala terasa kosong. Persis seperti waktu Tama mendorongku dari pinggir balkon rumah pohon setinggi ratusan meter, saat kami berada di wahana alam flaying fox.
Bedanya, kini aku meluncur di tengah udara tanpa pengaman. Dilambungkan oleh hentakkan agresif si naga yang menyambut gerakan si bangsawan idiot. Dengan hanya berpegangan pada seutas rantai besi yang tersangkut di sisik punggungnya. Bersama sobat (sok) pemberaniku, Kord.
Aku rasakan tamparan angin yang seakan tidak membiarkan kesadaranku menghilang. Walau kepalaku sudah pening dan pandangan mata berputar. Sampai akhirnya kami jatuh terhempas di lantai batu.
Aku lihat di sana, Arson berguling terjungkal dengan zirah yang koyak. Dia pasti terkena serangan cakar si naga. Namun, aku lihat pula luka di leher kadal raksasa itu. Anehnya, aku justru merasa iba melihatnya terluka seperti itu.
Srat!
Mataku membelalak karena melihat sayap sang naga terentang lebar. Begitu kuat hingga sisa rantai yang menjeratnya terlepas. Tidak perlu diberi tahu, aku yakin dia hendak terbang demi kabur dari kepungan.
Sang naga mengepakkan sayapnya. Aku hendak melepaskan peganganku dari rantai. Tetapi, jari-jemari gemuk itu menggenggam tanganku begitu erat. Kord menahanku dengan wajah memelas!
"Sialan!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
PotatoYubitisfira
Masih candu gue bacanya :"(
2020-11-24
1
Honey
Makin seruuu.
2020-04-07
3
Nina Karmila
masih suka bacanya.
2020-03-14
3