Malam berlalu cepat dengan gerimis sesaat menyambut terbitnya mentari pagi. Aku meringkuk di bawah naungan pepohonan lebat. Menggigil, bukan karena dingin, tetapi disebabkan kesedihan dari kehilangan.
Malam itu, setelah melemparkanku ke seberang jurang, Woofy langsung memutus jembatan gantung reyot penghubung dua tebing. Dia berdiri menantang di tubir jurang, guna menghalangi pasukan kadal untuk menyeberang--terutama kadal raksasa yang dengan lompatan kecil pun mampu untuk mencapai tempatku berada.
Pertarungan dimulai kembali. Woofy menyerang lebih ganas, karena aku yang menjadi bebannya untuk dilindungi sudah menyingkir jauh dari arena laga. Dia menerjang langsung kadal raksasa, dan menggigit lengannya yang dilindungi pakaian besi hingga tembus.
Kadal raksasa lain menyerang, dengan mengayunkan kedua pedang goloknya, menyasar bagian belakang tubuh Woofy. Dia lolos dengan melompat ke arah samping. Namun, tidak disangka, kadal yang tangannya sedang digigit menyapukan ekor berdurinya dan menghantam kepala Woofy hingga tersungkur.
Aku memekik keras menyaksikan itu.
Saat sedang terkapar. Prajurit kadal berjumlah belasan, yang sejak awal bersiap mencari kesempatan menyerang, langsung menerjang saat melihat celah tersebut.
Woofy mungkin mendengar jeritanku, sehingga tidak menunggu lama, dia bangkit dan mengayunkan cakarnya. Melibas tiga ekor kadal dan mengirimnya ke jurang. Menginjak dua lainnya, dan beberapa ekor menjadi mangsa taringnya yang tajam.
Dua kadal raksasa kemudian menyerang secara bersamaan. Woofy menyambutnya dengan serangan nekat. Menyasar kadal yang tangannya sudah berdarah-darah. Mengincar leher panjangnya yang terbuka. Berhasil, tetapi karena itu pula dia jadi terkena sabetan pedang golok dari kadal raksasa satunya.
Luka bacokan menyayat dalam. Darah Woofy tersembur, menutupi bulu peraknya dengan warna merah.
Aku menangis saat melihat itu semua.
Namun, hal itu tidak membuatnya terjatuh. Dengan sekuat tenaga, dia menghempas si kadal dalam apitan moncong ke arah kumpulan tentara kadal yang tersisa. Tuntas menghabisi mereka saat itu juga.
Tinggal satu lawan yang tersisa. Si kadal raksasa yang matanya sudah memerah nanar penuh amarah. Mereka berhadap-hadapan sambil berjalan berputar. Tidak lepas pandangan, demi mencari celah mengalahkan lawan.
Tidak disangka, kadal raksasa itu mendadak menerjang. Dia coba menanduk Woofy dengan cula di kepalanya. Woofy melompat ke samping, dan langsung menggigit pundak lawannya. Tetapi, tandukan itu tidak berhenti. Dia terus berlari, sementara tangannya memeluk erat badan Woofy. Membawanya untuk terjun ke dalam jurang.
Setelah debum keras dari dasar ngarai yang menggema lama, aku baru tersadar kalau Woofy bisa saja tidak akan pernah kembali. Aku menangis. Mungkin didorong oleh perasaan Sam, tetapi tidak bisa dipungkiri, aku pun, sebagai Wanara, merasakan kesedihan yang sama besarnya.
Aku terpekur lama menatap ke dasar jurang yang dalam dan gelap. Entah berapa lama sampai akhirnya hujan turun. Membasuh badanku yang dipenuhi cairan hijau. Darah kadal raksasa yang ditumbangkan Woofy.
Apa yang bisa kulakukan? Turun ke dasar jurang sangat tidak mungkin, apalagi setelah hujan yang membuat licin bebatuan gunung di dinding jurang. Dengan berat aku berbalik melanjutkan perjalanan, demi mengakhiri kisah ini. Bukankah itu pula yang diinginkan Woofy.
Mungkin nanti jika masih ada kesempatan aku akan kembali untuk melihatnya. Mungkin juga turun agar aku bisa melihat sosok besar si anjing kecil itu untuk terakhir kalinya. Tetapi, sekarang aku harus sampai ke tujuan walau masih tergenang sedih di hati.
Aku berjalan di bawah terik matahari menyengat, seakan hujan tadi tak pernah ada, hingga kering pakaian yang kukenakan. Menyusuri jalan setapak yang beberapa kali dilewati oleh kereta kuda dan rombongan bersenjata. Membuatku yakin inilah jalan yang benar menuju sarang si Naga.
Terkadang ada orang yang tertawa, bahkan banyak yang memandang sinis saat berpapasan denganku. Wajar sih, karena memang sepertinya hanya aku sendiri--dari sekian banyaknya orang yang mengikuti sayembara mengalahkan naga--yang tanpa persiapan. Tanpa baju pelindung, bahkan senjata yang dipergunakan untuk melawan si naga.
Masa bodo lah. Terserah mereka mau berpendapat apa. Aku tidak mau ambil pusing. Karena, sejujurnya pikiranku belum bisa lepas dari Woofy. Sedikit berharap dia masih hidup setelah terjatuh dari ketinggian ratusan meter. Lagi pula, dia kan punya kekuatan gaib yang tidak dimiliki oleh kebanyakan anjing.
Atau mungkin juga, Artapatu akan menolongnya. Orang tua sakti itu tentu mudah memasuki jurang demi menyelamatkan Woofy yang telah dianggapnya sebagai teman. Harapan kosong sih sebenarnya. Tahu, walau orang itu sakti, tetapi bukan berarti dia maha tahu.
Terbesit kejanggalan. Apakah mungkin penyerangan itu maksud dari ucapan Artapatu saat melepas perjalanan kami? Mungkinkah para kadal ganas tadi adalah anak buah si naga? Jika benar begitu, kenapa hanya aku yang diserang? Lihat, rombongan yang sedari tadi lewat, tidak ada satu pun yang tampak sehabis bertarung dengan prajurit kadal sebelumnya.
Aku terus memikirkan itu, hingga tanpa sadar sudah sampai di sebuah lapangan luas yang banyak berdiri tenda beraneka ragam bentuk, jenis, dan ukuran. Hunian sementara para peserta sayembara, yang aku yakin berjumlah ratusan orang.
Di sebarang lapangan itu berdiri sebuah kastil besar dengan empat menara tinggi di sisinya--dua sudah hilang puncaknya. Terlihat begitu angker memancarkan aura kelam seperti di rumah tua yang lama terbengkalai. Dengan banyaknya bagian rusak dan hancur di sana-sini. Tembok yang jebol, dan atap berlubang, terlihat jelas dari tempatku berdiri.
Melihat itu semua aku menjadi benar-benar yakin kalau di sanalah tempat sang naga bersemayam. Dalang penculikan putri Asaru beberapa minggu lalu. Entah bagaimana nasibnya sekarang ini.
Aku berjalan melewati tenda para pejuang sayembara. Bermaksud menengok sebentar dari dekat kastil tua tersebut. Tetap, mata-mata sinis dan bisikan-bisikan mengunjing mengiringi untuk dialamatkan kepadaku. Hei, apa salahnya aku yang seperti ini? Bukankah kalian juga memiliki niat yang sama sepertiku?
Wuk!
Aku menyentakan langkah untuk berhenti. Kaget melihat bilah tajam mengacung tepat di hadapan. Pedang mengkilat dari seorang pria berotot besar dan bermuka sangar dengan banyak bekas codetan menghadangku.
"Mau apa kau, hah!? Di sini tempat para pejuang mempertaruhkan nyawanya demi kejayaan. Bukan penjarah busuk berbau amis yang mencari keuntungan dengan mencuri dari mayat suci pejuang!"
Apa katanya? Ok, untuk bau amis memang aku akui masih tersisa bekasnya walau tadi sudah diguyur hujan. Tetapi, apa maksudnya dengan tuduhan penjarah? Itu namanya pencemaran nama baik!
"Hei ... a-apa maksudmu dengan menuduhku begitu? Aku sama seperti kalian. Mau ... mau mengalahkan naga dan menyelamatkan Putri Asaru," balasku, walau agak takut dengan ujung pedang yang semakin mendekat.
"Tak usah banyak omong kau! Penjahat mana ada yang mau mengaku. Lebih baik kau sekarang pergi dari sini, sebelum aku jadikan daging cincang!" Ancaman yang dia berikan benar-benar serius.
Sorak-sorai terdengar bersahut-sahutan berisi ejekan kepadaku. Penuh kebencian dari praduga tidak berdasar. Sebuah tuduhan kejam dari mereka yang sama sekali tidak mengenalku!
"Hei, Sialan! Jika kau memang bukan penjarah yang berniat mencuri dari mayat, sekarang coba kau buktikan! Mana pakaian perangmu, hah? Jangan bilang baju bau amismu itu kau gunakan untuk membuat si naga muntah, sebelum kau mencolok matanya dengan jari!" celetuk seorang pria botak berjanggut tipis. Disambut tawa oleh orang di sekitar.
"Jika kau ingin menipu, sebaiknya lebih pintar sedikit. Mengaku pejuang sayembara mengalahkan naga, tetapi senjata pun tidak punya. Hanya orang bodoh yang percaya dengan kebohongan tololmu itu! Pulang saja sana kau, sebelum kami habisi." susul seorang remaja bercodet, yang langsung diamini semuanya.
Emosiku memuncak. Dikarenakan hal itu mereka melecehkanku dan menuduhku dengan keji. Senjata? Aku memiliki pisau batu di dalam tas yang diberikan oleh petapa sakti. Senjata yang (mungkin) bisa mengalahkan naga sialan itu!
Lagi pula, seandainya ada Woofy di sini, gabungan kekuatan kalian semua tidak akan ada apa-apanya. Dia akan melibas kalian dengan hanya kibasan ekornya.
"Kau masih berani!? Kalau begitu matilah di sini!" Pria bermuka sangar itu mengangkat tinggi tangannya. Ancang-ancang, bersiap menyabetkan pedang kepadaku.
Aku terpaku. Jujur takut, tetapi bukan berarti aku tidak berani melawanya. Setelah serangkaian kejadian menyeramkan yang beberapa kali hampir merenggut nyawa, geretakan serius si pria berotot itu tidak membuatku gentar. Walau sadar, ada kemungkinan temannya yang lain akan datang membantu dan mengeroyokku.
Aku menatapnya dengan mata terpicing. Memasang kuda-kuda dengan kedua tangan terkepal--seperti yang aku lihat di film kungfu. Bersiaga menantang ancamannya.
Majulah!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
PotatoYubitisfira
Jangan berkelahi hey, kalian ini padahal udah ada di ujung tanduk mengalahkan naga (nggak tahu mati atau nggak, kan?), malah kelahi :/
2020-11-23
0
Nurwahidah Bi
Hai, aku mampir lagi ehehehe
2020-03-31
1
Honey
masih gak nyangka bang reza bikin ini. Keren :')
2020-03-11
2