Tidak lewat sedetik dari Artapatu memanggilnya, Serigala perak itu keluar melewati liang gelap dengan mata terpicing yang galak. Terlihat bagaimana kesalnya dia saat menatapku. Pasti monster itu masih menyimpan dendam karena kejadian kemarin.
"Ayo, lakukanlah. Kau cukup melewatinya untuk sampai ke tujuan. Bagus kalau bisa berteman dengannya."
Enteng sekali omongannya. Kalau bisa berteman, sudah aku lakukan sejak kemarin. Tapi, bagaimana mungkin? Lihat mood sobat imutmu itu sekarang!
Punggungku didorong Artapatu. Pelan, tetapi mampu membuatku berdiri dan mulai berjalan mendekati serigala itu. Seakan mengalirkan keberanian pula, untuk menghadapi rintangan buas di depan mata.
Pelan aku melangkah. Ragu dan gemetaran. Sampai di tengah ruangan kubah, langkahku terhenti. Dibendung ketakutan yang mengembang begitu besar.
"Wrogh!"
Serigala raksasa itu berlari tanpa aba-aba mendekatiku!
Aku berbalik dan menyusul berlari detik itu juga. Kabur dari taring dan kuku tajam miliknya, yang siap kapanpun merobek-robek daging di tubuhku.
"Tolong!" pintaku sambil menatap mengiba kepada Artapatu.
Konyol! Dia malah tertawa, tanpa ada niat sedikitpun untuk menolongku. Hei! Apa kau memang sedari awal mau mengumpankanku pada makhluk buas itu!?
Menyelam ke dalam kolam? Terlalu cetek. Masuk meringkuk di ceruk dinding? Sama saja memasrahkan diri untuk disantapnya.
Artapatu! Ya, benar. Dia jalan keluarku sekarang. Sobat baiknya itu tidak mungkin menyerang jika aku berlindung di belakang si kakek tua. Kalau pun masih nekat, aku berani bertaruh, dia akan menumbangkan serigala ganas itu hanya dengan satu ayunan tangan.
Gonggongan buasnya makin mendekat. Aku berusaha mempercepat ayunan langkah. Pokoknya harus sampai ke tempat si kakek sepuh, sebelum moncong serigala melahapku.
"Ah ... sepertinya aku mengganggu reuni kalian. Ada baiknya aku menyingkir dulu. Selamat bersenang-senang."
Itu yang dia katakan, sebelum menghilang begitu saja dalam sekedipan mata dari hadapanku.
Sialan! Kenapa tidak dari awal saja kau umpankan aku kepadanya? Reuni dan berteman bagaimana, hei! Dia bukannya mau bermain kejar-kejaran seperti yang biasa aku lakukan dengan Woofy dulu. Serigala raksasa itu hendak memangsaku! Menjadikan aku sebagai cemilan!
Cukup! Aku tidak tahan lagi! Sudah lelah berlama-lama menjalani cerita tidak jelas di buku terkutuk ini! Makan saja aku! Mungkin dengan begitu, aku bisa keluar dari sini dan kembali ke duniaku. Bertemu Ayah, Mama, dan Chiya. Tetapi, setidaknya berilah aku waktu mempersiapkan diri menghadapi kematian, Sialan!
"Berhenti!" Bentakku tanpa sadar.
Hah? Ada yang aneh. Aku memelankan langkah, lalu menoleh ke belakang. Spontan aku terperangah.
Serigala perak itu diam berdiri di tempatnya. Terengah-engah dengan lidah terjulur. Seakan mematuhi perintahku untuk berhenti mengejar.
Perlahan, dengan masih diliputi rasa takut, aku berusaha mendekatinya. Saat itu pula, terbesit pikiran absurd di kepalaku.
"Duduk!" perintahku.
Tanpa ragu, dia menurut. Menekuk kaki belakangnya, dengan pandangan berbinar menatapku.
Belum puas, aku kembali memberikan perintah. "Tidur!"
Kali ini dia menekuk kaki depannya dan menempatkannya bertumpukan, saling bersilangan. Menjadi bantalan untuk kepalanya.
Berikutnya, aku pasrah mengikuti dorongan kuat untuk menjulurkan tangan, demi mengelus kepalanya. Hangat menjalar saat telapak tanganku menyentuh bulu perak lembutnya.
Eh ... kenapa ini? Tiba-tiba saja air mataku meleleh. Turun dari tepian mata, membasahi pipi, tanpa bisa terbendung. Beriring sesak yang menohok dada. Seakan ada rasa yang menggelembung, sebelum pecah berhamburan.
"Woofy?" ucapku lirih, yang mungkin didorong oleh kesadaran Sam.
"Wrogh!" Dia membalas dengan salakan. Namun, kali ini tidak terbetik sedikitpun rasa takut. Riang bahagia malah.
Wush! Tubuh besar berbulu perak itu bersinar redup, namun hangat, untuk kemudian terberai menjadi helaian-helaian yang akhirnya menguap hilang di udara.
Setelah usai semua keajaiban itu, di depanku berdiri seekor anjing kecil berbulu coklat yang menggemaskan. Persis sama seperti 11 tahun lalu saat dibawa ayah pergi--ayah Sam tepatnya--demi menghindari hukuman mati dari kerajaan.
"Woofy!" panggilku lagi. Aku makin tidak kuasa menahan tangis, dan akhirnya sadar rasa yang menekan itu adalah kerinduan Sam kepada anjing peliharaan kesayangannya. Aku biarkan saja semua itu mengalir. Pun aku juga lega tidak harus menjadi mangsa serigala raksasa jejadian.
"Guk!" Woofy menggonggong sambil berlari menyambut pelukanku.
"Akhirnya. Setelah lama menunggu semua penantianmu terbayar, Sobat. Sekarang kau tidak perlu lagi kesepian menunggu tuanmu datang menjemput." Artapatu tiba-tiba saja muncul di dekat kami. Tersenyum lebar, seakan sudah tahu apa yang akan terjadi.
"Ja-jadi selama ini ...."
"Hahaha. Ya, sekitar sebelas tahun lalu, ayahmu menitipkan dia kepadaku. Katanya, terserah mau aku apakan, asal dia tidak kembali ke rumah. Hah ... Cukup susah memberinya pengertian, sampai beberapa kali aku mencarinya karena kabur."
"Lalu, kenapa Woofy bisa seperti itu? Berubah jadi serigala raksasa, dan tetap dalam wujudnya sebagai anjing kecil? Setelah sekian tahun berlalu."
"Akan memakan waktu lama jika aku menjelaskannya, sementara, bukankah kau tengah terburu-buru untuk menyelesaikan misimu? Yang bisa aku katakan, hal itu bisa terjadi karena rasa sayangnya kepadamu."
Aku tidak peduli dia mau menjelaskannya atau tidak. Yang penting nyawaku selamat, dan Sam bisa bertemu lagi dengan anjing kesayangannya. Habis perkara.
"Apakah aku boleh membawa Woofy?" Ide bagus, Sam. Jika bersama Woofy yang bisa menjelma menjadi serigala raksasa perkasa, tentu tugas kita untuk mengalahkan naga akan lebih mudah berkat bantuannya.
"Sejak awal, dia memang milikmu. Aku hanya merawatnya sampai kau datang menjemput."
Kalau bisa, sekarang juga aku kan melonjak-lonjak kegirangan. Ini sama saja setengah tugasku sudah terselesaikan. Mendapat bantuan kuat, dan senjata sakti. Jaminan aku bisa menyelesaikan misi dengan gilang gemilang.
"Ah ya. Soal senjata yang kau janjikan." Terkesan tidak sopan. Tetapi, Aku berkata seperti itu lebih kepada dorongan rasa penasaran. Ingin melihat wujud senjata yang dia janjikan.
"Tenang saja. Aku sudah membawanya sedari awal."
Tangan ringkih yang menyimpan kekuatan besar itu menelusup ke belakang badan. Bergerak merogoh, mencoba meraih dan mengambil sesuatu yang tersimpan di sana.
Aku bayangkan, nanti dia akan mengacungkan senjata itu sambil menyebut namanya. Seperti si robot kucing dengan kantong ajaibnya.
"Ini senjatamu, Nak. Kalahkanlah kegelapan yang telah lama menyelimuti kerajaan dan benua ini. Yakinlah kau dapat melaksanakannya."
"Hah!? Apa-apaan!" celetukku spontan, dengan mulut menganga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
PotatoYubitisfira
Pasti senjatanya kecil, right? :')
2020-11-23
0
BEE (@tulisan_bee)
Terhura awak
2020-05-15
0
a piece of memories
baru ngeh sekarang klo robot kucing itu doraemon... :'v
2020-04-04
3