"Mau sampai kapan kau tertidur, Anak Muda?"
Ringkih tanya itu, menyadarkanku kembali. Sekaligus mengaktifkan syaraf rasa sakit di sekujur tubuh. Luka, memar, dan nyeri di kepala, berdenyut menyakitkan setiap kali aku menarik napas.
"Makanlah ini. Tubuhmu akan membaik nanti." Tangan keriput itu membuka paksa mulutku dan berusaha memasukkan sesuatu yang entah apa. Aku tidak tahu, karena masih teramat sulit untuk membuka mata.
Segumpal benda lunak seperti bubur, dijejali masuk ke dalam mulut. Aku tersentak karena rasanya yang begitu pahit. Membuatku benar-benar ingin memuntahkannya. Sayang, tangan kurus itu telah terlebih dahulu membekapku.
Bekapannya begitu kuat. Aku yang tengah tergolek lemas, jelas tidak kuasa melawan. Bahkan aku yakin, kalaupun dalam kondisi sehat, tetap saja tidak akan mampu melepaskannya. Entah kesaktian apa yang dimiliki kakek kurus berjanggut itu.
Setelah lama berjuang untuk menolak, aku akhirnya menyerah. Benda menjijikan itu dengan lancar muluncur melewati tenggorokan. Menimbulkan mual yang memaksa isi perutku untuk keluar.
Begitu setidaknya di beberapa detik pertama. Berikutnya, aku merasakan hawa hangat mengalir di tubuh. Meredakan perih di luka dan sakit di pergelangan kaki juga kepala.
Ajaib! Sekarang aku sudah bisa membuka mata tanpa kesusahan. Mengerejap sebentar untuk membiasakan penglihatan yang masih kabur dan agak bergoyang.
Tepat seperti dugaanku. Orang yang mencekokiku obat adalah Artapatu. Si Kakek Tua Sakti yang memberikan pengarahan sampai ke Lembah Sunyi. Mungkin juga dia yang menyelamatkanku dari serigala raksasa buas itu.
"Te-terima kasih," ucapku, sambil mengangkat badan.
Saat itu lah aku merasakan hembusan kencang menyembur tengkuk. Perlahan aku menoleh, demi melihat ke arah sumber angin dingin tersebut.
"Wrogh!" Salak moncong besar berbulu perak di belakangku.
Seketika tubuh ini berdesir. Melihat si serigala raksasa berdiri di sana dengan mata tajamnya memelototiku. Aku langsung melompat berdiri. Berlari sekencang mungkin, demi menjauh darinya.
"Tolong aku, Artapatu," pintaku penuh harap.
Alih-alih membantu, pria tua itu justru menertawaiku. Apa maksudnya?
Aku memelankan langkah, lalu menoleh. Pria tua itu terbahak di samping si serigala raksasa, yang sudah meringkuk santai. Menaruh kepala di atas kedua kaki depannya, yang ditumpuk bersilangan. Tenang, walau Artapatu mengelus kepala berbulunya.
***
Selamat datang di goa Artapatu. Sebuah hunian bintang lima dengan fasilitas lengkap. Yah setidaknya untuk ukuran sebuah goa lah.
Berbentuk kubah besar, dengan bagian pucuk terdapat kumpulan stalaktit besar yang bercahaya terang. Persis seperti lampu. Bahkan, intensitas cahayanya pun bisa diatur sesuka hati lewat siulan. Hanya siulan Artapatu, karena mau bagaimana pun aku mencoba bersiul mengikutinya, lampu batu itu tetap bergeming.
Ada sebuah kolam ukuran sedang yang tadi aku gunakan untuk mandi. Airnya jernih, berasal dari mancuran celah bebatuan di atasnya. Mengalir terus tanpa henti, namun sama sekali tidak membuat kolam itu meluap.
Di dindingnya, terdapat ceruk-ceruk dengan beragam fungsi. Mulai dari yang dialasi jerami untuk tidur--seperti yang aku tempati sekarang--tungku pembakaran roti, lemari penyimpanan barang juga makanan, dan satu lobang besar yang menjadi sarang si serigala perak raksasa.
Sejujurnya aku ingin memaki si tua Artapatu terkait masalah serigala perak itu. Tetapi apa daya, karena sebenarnya setengah tragedi tadi adalah kesalahanku.
Serigala itu ternyata adalah peliharaan Artapatu--walau dia lebih suka memanggilnya sobat--yang dia tugaskan untuk menjemputku. Jaga-jaga kalau aku tidak sempat masuk ke lembah sebelum purnama, atau mengalami kejadian yang tidak diinginkan, sehingga perjalananku terhambat.
Niatnya memang baik, dan aku berterima kasih atas perhatiannya. Tetapi, setidaknya dia beri tahu dulu sebelum mengutus monster itu menemuiku! Hei, siapa yang tidak akan ketakutan jika bertemu makhluk menyeramkan sepertinya? Sementara, ada rumor tentang monster pemakan manusia yang menghuni Lembah Sunyi.
Kesalahanku paling besar ada pada tindakan spontan melempar batu kepada serigala perak. Jelas dia marah. Walau kata Artapatu, sobatnya itu tidak akan membalas dengan mencabikku, karena tahu dan mengerti akan tugasnya.
Hei, tapi masih mungkin kan dia iseng mengunyahku!
Sampai sekarang pun aku masih merinding, apalagi kalau melihat ke dalam lubang tempatnya bersemayam. Kepikiran dia menyimpan dendam, lalu mencaplokku saat sedang terlelap. Tetapi, lucunya, di sisi lain aku seperti mendapat dorongan untuk mendekati dan mengelusnya, semenjak Artapatu coba mengenalkannya padaku. Entah mengapa, padahal serigala perak itu tidak ada imut-imutnya sedikitpun.
Selain itu, aku kepikiran juga soal senjata penakluk naga yang telah dijanjikan Artapatu. Seperti apa wujudnya? Apakah pedang seperti milik raja arthur, panah sakti yang mampu menembakkan seribu anak panah sekali digunakan, rocket launcher yang biasa aku lihat di film action, atau senjata legendaris seperti yang Kord katakan.
Entahlah, bahkan tempat penyimpanannya pun aku tidak tahu. Entah itu dikantong Artapatu--lalu dia akan mengeluarkannya seperti si robot kucing--atau mungkin juga ada di dalam sarang serigala perak. Aku harap bukan yang terakhir.
Ah sudahlah. Tidak ada gunanya memikirkan itu. Lebih baik sekarang tidur, karena besok Artapatu sudah berjanji akan memberikanku senjata itu, saat kondisiku sudah pulih.
***
"Lagi!?" ujarku sambil melongo melihat buntelan bubur hijau di dalam mangkuk batu yang disodorkan Artapatu. Itu benda yang kemarin dijejalkannya ke mulutku.
Dia mengangguk sambil tersenyum. "Apa sang pahlawan pemberani takut untuk memakan obat yang tidak seberapa pahit ini?"
Mukamu tidak seberapa pahit!
Dari semua makanan dan obat yang pernah masuk ke mulutku, benda menjijikan itu yang pahitnya paling tidak berprikemanusiaan! Bahkan jamu kuning buatan nenek--yang pernah mama berikan saat aku sakit parah--tidak semengerikan itu rasanya.
"Yah, tapi kan, itu ... tubuhku sudah sembuh dari luka. Lihat, lihat." Aku menjulurkan tangan yang tidak lagi terisa luka, dan melakukan berbagai pose untuk menunjukkan kalau diriku baik-baik saja.
"Baiklah kalau begitu. Hanya saja, kau harus tinggal di sini lebih lama lagi. Agar tubuhmu benar-benar siap untuk melanjutkan petualangan. Senjata sakti itu akan aku simpan lebih lama berarti."
Sialan! Kalau begitu mau sampai kapan aku berada di sini? Lagian belum tentu senjata itu satu-satunya yang dapat mengalahkan si naga. Apa jadinya kalau sampai aku tidak menyelesaikan cerita di buku ini? Terjebak selamanya menjadi petani miskin dengan rumah di dekat pasar ikan yang bau amis? Aku tidak mau!
Aku ambil mangkuk batu dari tangan keriput Artapatu. Menahan napas agar tidak mencium aroma obat menjijikkan itu. Berusaha keras menguatkan hati untuk memakannya.
Hap!
Secepat kilat aku memasukannya ke dalam mulut.
Mangkuk batu aku lempar sembarangan, demi dapat membekap mulut dengan kedua tangan. Menahan agar keinginanku memuntahkannya tidak terlaksana.
Sialannya, Artapatu malah terkekeh melihat penderitaanku. Ingin rasanya detik itu aku terjang dia. Tetapi, tidak mungkin aku lakukan. Karena, selain tidak pantas memperlakukan kasar seorang sepuh, aku juga teringat bagaimana Kord dijatuhkan tanpa perlawanan olehnya.
Aku berlari ke arah kolam. Selekas mungkin mendongakkan kepala di aliran deras air yang mengucur. Memaksa gumpalan itu masuk melewati kerongkongan. Berhasil!
Aku duduk bersimpuh dengan nafas terengah-engah di pinggir kolam. Merasa lega karena rintangan ini bisa kulalui dengan sukses.
"Kenapa kau berlari seperti itu, anak muda? Aku sudah menyiapkan air minum untukmu kok. Hahaha." Berjalan menghampiriku.
Aku menatap pria tua itu dengan mata terpicing. Benar-benar kesal, karena merasa telah dipermainkan. Tapi, apa dayaku melawan ulah konyolnya!?
"Aku sudah menelannya. Sekarang, katakan di mana senjata itu, Kakek?"
"Kenapa harus terburu-buru? Bersantailah dulu barang sejenak di sini. Akan aku ceritakan dongeng menarik sambil kita menikmati sarapan. Sepotong roti, keju, dan ikan bakar tentu sangat enak dinikmati sebelum memulai lagi petualanganmu."
Aku menatapnya tajam. Bisa-bisanya dia mengajak makan setelah membuatku menelan benda menjijikkan itu. Rasa laparku sudah hilang sejak terisi olehnya.
"Ckckck. Dasar anak muda. Tidak pernah sabaran menghadapi sesuatu." Artapatu membalikkan badannya. "Untuk melanjutkan perjalanan, kau harus keluar melewati lubang di dinding, tempat sobatku tinggal. Di sana pula, aku menyimpan senjata sakti untuk dapat menyelesaikan misimu."
"Apa!?" Aku melongo. Kemungkinan terburuk itu benar-benar terwujud.
"Sobat, keluarlah!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
PotatoYubitisfira
Belum puas ternyata ngerjain '-')👊
2020-11-23
0
Honey
Oalah wkwk
2020-03-11
2
Nina Karmila
enak kayaknya ya bisa tinggal di goa bintang lima begitu. hihihi...
2020-03-09
2