Mata itu bagai mempunyai kekuatan sihir pengikat, yang bisa membuat korbannya membeku tidak bergerak. Seakan tengah dijerat kencang oleh rantai baja yang terpasak ke tanah. Begitulah keadaanku saat ini.
Terdiam kaku beberapa meter dari pohon raksasa, yang dicelahnya dihuni oleh makhluk entah apa bermata tajam. Mungkin dia lah monster pemakan manusia yang diisukan itu. Ya Tuhan, kenapa saat tinggal selangkah lagi misiku selesai, malah harus dihadapkan pada monster macam ini.
Sialan! Sebenarnya apa maunya buku ini? Sampai membuat cerita dengan banyak twist yang membuat nyawa tokohnya selalu berada di ujung tanduk. Hei, tidak tahu kah kau hidupku sudah cukup terbebani dengan PR Matematika dan tugas sekolah yang bejibun? Tolong jangan tambahkan lagi dengan hal menakutkan seperti ini.
"Growl!" Dia kembali menggeram, dengan volume yang makin dinaikkan.
Embun pekat menyusul berhembus dari sana. Jauh memang, tetapi dinginnya menjalar sampai kepadaku. Makin meremangkan bulu kuduk, dan memangkas habis nyali yang hanya tersisa sesenti.
Tidak berhenti sampai di situ. Sekelebat gumpalan berwarna perak meluncur keluar. Terbang cepat mengelilingi sekitar lembah sambil memancarkan pendar cahaya keperakan.
Sekali waktu dia meluncur sangat dekat hingga mengenai wajahku. Lembut seperti kemoceng bulu (yang pernah juga Mama pergunakan memukulku saat kelewatan menggoda Chiya). Sekaligus juga dingin seperti es, hingga menusuk sampai ke sumsum tulang.
Tidak kuat lagi berdiri karena hal itu, aku langsung jatuh terduduk dalam genangan air. Gemetaran semakin kencang, dan mungkin sedikit lagi mengompol. Sumpah, aku benar-benar ketakutan. Entah sebuas apa monster berbulu dingin yang meluncur bebas di udara layaknya pesawat jet tempur tersebut.
Makhluk itu memutari pohon tiga kali, sebelum sesaat mengambang dan memancarkan sinar begitu terang. Menyilaukan mataku yang tak berhenti menatapnya. Buta sesaat.
Setelah akhirnya mulai pulih, aku mengerejapkan mata demi menyempurnakan penglihatan. Terus, sampai akhirnya dapat aku menangkap sosok besar yang berdiri penuh ancaman dengan keempat kaki bercakarnya. Berdiri angkuh di dekat pohon raksasa.
Sosok misterius dari dalam rongga pohon itu kini menunjukkan sosok sejatinya. Seekor serigala raksasa berbulu perak berkilauan tertimpa sorotan cahaya bulan purnama.
"Aowgh!" Serigala setinggi sepuluh meter itu melonglong keras ke arah bulan yang ada di langit malam.
Kembali pikiranku buntu. Gelap tanpa bisa berpikir bagaimana cara keluar dari masalah yang mempertaruhkan nyawa ini. Hanya gema berulang di kepala yang mendesakku untuk lari. Tetapi lari ke mana!?
Serigala raksasa itu kembali menatapku tajam setelah puas melolong. Menggeram pelan dengan napas berembun dingin tersembur dari lubang hidungnya. Tenang, namun terasa benar penuh ancaman maut.
Bagaimana tidak. Dengan menatap matanya saja, mungkin penyakit jantung Nenek Eli akan kambuh. Saking seramnya. Belum lagi kuku-kuku panjang di kaki depannya yang mencuat berkilauan bagai pedang di film samurai. Dan, semua kengerian itu makin sempurna dengan sepasang taring besarnya yang mencuat keluar walau mulutnya terkatup.
Apa jadinya jika dia menerjang, lalu menancapkan kuku-kukunya menembus daging di tubuhku. Bisa jadi juga sekaligus meremukkan tulang di dalamnya. Setelah menggelepar tidak berdaya, akhirnya taring itu akan merobek tiap kerat daging di tubuh ini hingga habis. Atau bisa juga dia langsung melahapku utuh.
Gila! Dengan membayangkannya saja, tubuhku sudah berasa ngilu. Apalagi jika ....
Tidak!
Aku mohon, Tuhan. Jangan sampai riwayatku harus habis dengan menjadi cemilan monster raksasa tersebut. Janji, aku tidak akan lagi malas beribadah jika Engkau mengabulkannya.
Entah karena doaku yang kurang tulus, atau mungkin serigala itu telah lebih dahulu memanjatkan doa sebelum makan. Nasibku sebagai menu makan malamnya masih berlanjut.
Dia melangkah perlahan mendekatiku. Menciptakan riak besar di kolam lembah, yang meresonansikan rasa takut. Menembus dan meluluhlantakkan jiwaku.
Tidak tahu apa yang mendorongku saat itu. Tanpa diperintah, tangan ini menggenggam batu yang menjadi alas lembah, lalu melemparkannya sekuat mungkin.
Tepat sasaran. Lemparan serauk kerikil itu berhasil mengenainya. Bahkan, pasir yang ikut terbawa menelusup masuk ke dalam matanya.
Tetapi, memang hanya sebatas itu. Alih-alih membuatnya takut. Serigala raksasa itu justru menggeram penuh amarah.
Dia menatapku dengan kedua mata nanar yang merah menyala. Moncongnya terbuka lebar, memamerkan deretan gigi tajam besar berliur deras. Siap mencabikku dan menjadikannya santapan.
"Wrogh!" Monster itu menggonggong keras, untuk selanjutnya mulai menerjang.
Aku reflek melompat berdiri didorong ketakutan yang besar. Berlari sekencang mungkin tanpa tujuan, demi kabur menjauh darinya. Tidak peduli lagi rasa sakit di kakiku yang terkilir. Malah kini tak terasa lagi. Mungkin karena rasa takut ini lebih besar dari kesakitan.
Salakan kencang yang menyakitkan gendang telinga itu terus terdengar. Semakin dekat di tiap detiknya. Aku tidak berani menoleh, dan berusaha lolos dari kematian yang dibawa oleh taring berikut cakar terasah si serigala perak.
"Wrogh!" Salakan terakhir yang teramat dekat itu, akhirnya memaksaku untuk menoleh.
Gila! Moncong dengan deretan gigi tajam itu hanya berjarak lima senti dariku. Hanya butuh satu loncatan kecil baginya untuk dapat melahapku utuh.
Karena keterkejutan itu, kakiku bersilangan saat bermaksud menambah lagi kecepatan. Jatuh terjerembab dengan dagu yang langsung menghantam kerikil beraneka warna di dasar kubangan. Pusing, dan hampir hilang kesadaran, kalau saja suara tubrukan keras itu tidak menghentakku.
Serigala perak itu terkapar di sana. Memepet dinding lembah setelah menghantamnya dengan keras. Mungkin dia juga terkejut, sehingga melompat sewaktu aku terjatuh, sehingga dirinya terhempas menabrak dinding pembatas lembah.
Jangan kira tubuhnya berdarah-darah karena luka tertusuk rumput tajam di dinding lembah. Malah yang terjadi, rumput-rumput itu sepah berguguran menjadi serpihan. Layaknya pecahan kaca yang ditumbuk benda keras.
Gila! Seberapa kuat sebenarnya serigala raksasa itu!?
Tapi itu bukan pertanyaan yang harus aku jawab sekarang juga. Karena, serigala itu mulai bangun, dan aku yakin dengan kemarahan yang lebih besar lagi. Aku harus lari lagi dari kebuasannya. Secepat mungkin sebelum kesadarannya pulih kembali.
Tapi ke mana!?
Jalan keluarku hanya dengan memanjat dinding lembah, yang saat ini masih dipenuhi oleh rumput-rumput tajam di permukaannya. Bisa sih aku melompatinya, jika saja di awal cerita tadi aku sudah digigit oleh laba-laba.
Argh! Apa sih yang aku pikirkan? Aku harus mencari jalan keluar, bukannya malah mengkhayal tidak jelas.
Tunggu. Ada satu tempat di mana aku bisa menghindari serigala raksasa itu. Tidak jauh, dan aku bertaruh bisa mencapainya sebelum dia menerkamku. Ya. Di rongga besar pohon raksasa itu.
Entah benar atau tidak, tetapi menurut perhitunganku, tubuh besarnya sekarang tidak akan muat untuk masuk ke dalam rongga pohon itu. Terkecuali dia kembali berubah ke wujud gumpalan berbulunya, yang aku berani bertaruh, tidak memiliki taring dan cakar. Mungkin.
Ya, hanya mungkin, tetapi patut dicoba. Karena, hanya itu satu-satunya harapan yang tersisa untuk bisa lolos dari kematian. Beruntung kalau aku bisa menemukan senjata pembunuh naga, yang mungkin juga berefek kepadanya.
Aku melompat berdiri. Mulai berlari walau terpincang-pincang. Sakit di kakiku kembali terasa. Dengan sangat dipaksakan, aku memburu ke arah di mana pohon raksasa itu berada. Terus, walau napas terengah-engah tidak karuan. Hanya lubang di pohon itu menjadi fokusku.
Dua puluh, lima belas, sepuluh, lima, tiga, satu meter lagi aku sampai di sana. Memasuki lubang itu dan terhindar dari menjadi santapan si serigala buas.
Bragh!
Saat aku sadari, serigala itu sudah melompat dan mendarat tepat di hadapanku. Memalangi jalan menuju lubang pohon yang jaraknya sudah tidak jauh lagi.
Sial!
"Wrogh!"
Salakan kencang itu membuatku limbung, dan jatuh terjerembab ke belakang. Tanpa daya, kepalaku menghantam dasar kubangan berkerikil aneka warna. Pandanganku berputar, dan tubuh ini tidak kuasa lagi aku gerakkan.
Di setetes terakhir kesadaran. Aku lihat dia mulai mengendusku. Mungkin mencoba membaui hasil buruan sebelum menyantapnya.
Aku pasrah. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Tetapi, setidaknya dia memakanku dalam kondisi tak sadarkan diri. Semoga tidak terlalu sakit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
PotatoYubitisfira
Wow, mikirnya itu Woofy :") Kenapa badannya berubah, jadi Sam nggak mengenali? Wkwk
2020-11-23
0
Honey
Rameeeee.
2020-03-09
2
Nina Karmila
lanjut
2020-03-09
0