Sesuatu yang baru aku sadari setelah sekian lama berpetualang di dunia buku ini adalah, aku benar-benar berada dalam tubuh Sam.
Maksudnya, aku benar-benar adalah Sam, bukan hanya sekadar menokohkannya saja. Tubuh, kenangan, bahkan sampai pengalaman dan kekuatan adalah milik Sam, walau hampir seluruh kesadarannya adalah aku. Wanara, si jagoan game Mobile League yang tidak terkalahkan. Tanya Zacky kalau tidak percaya.
Aku bisa bilang begitu karena, perjalanan seharian penuh dari kota Tres hingga di kaki Bukit Lojom, tidak terasa begitu berat. Perjalanan dengan berjalan kaki puluhan kilometer, yang pastinya tidak akan mampu untuk aku lakukan sebagai Wanara.
Bahkan kemarin pun saat akan menginap di bawah pohon besar, aku bisa tahu langkah apa yang harus dilakukan. Menyiapkan lahan untuk tidur dan membersihkan sekelilingnya, hingga membuat api unggun tanpa menggunakan pematik api. Hanya menggunakan kayu yang aku putar-putar, dan sekam yang aku ambil dari kandang kuda untuk persiapan--dan itu lagi-lagi berasal dari pengetahuan Sam.
Sudah tengah hari saat aku mendaki bukit terjal yang terhampar rumput lebat sebagai pijakannya. Beberapa kali aku hampir tergelincir karena salah menginjak bagian yang licin. Untung tanganku masih dapat meraih rerumputan yang kuat tertanam di sana.
Sampai di puncak, aku terperangah. Melihat pohon raksasa di tengah lembah--setinggi 30 meter lebih--dan juga mengetahui jalur yang harus aku tempuh berikutnya untuk sampai ke dasar lembah. Jurang terjal di hadapanku, dengan kemiringan hampir sembilan puluh derajat, memisahkan puncak bukit dengan lantai Lembah Sunyi.
Meloncat begitu saja dari ketinggian lima belas meter, sama saja dengan bunuh diri. Cara satu-satunya yang terpikirkan adalah menuruninya dengan berpegangan pada rerumputan yang tumbuh di sekeliling bukit. Bukankah tadi rumput itu cukup kuat sebagai pegangan saat aku hampir tergelincir?
Ah, gila. Tetapi mau bagaimana lagi. Hanya itu satu-satunya pilihan yang ada.
Hap! Aku bergeser turun sambil berpegangan erat di rumput yang tumbuh di dinding jurang. Aku bersyukur rumput ini tidak tumbuh liar di halaman rumah. Bisa habis waktu bermainku karena disuruh menyabuti rumput ini bersama ayah. Kalaupun memang bisa kami cabut sampai ke akar-akarnya.
Bahkan dengan berat tubuh Sam, kalau aku kira berkisar di angka enam puluh sampai tujuh puluh kilo, rumput ini masih dapat bertahan tanpa tercongkel sedikitpun dari tanah. Aku jadi penasaran, pupuk apa yang dipakai untuk menumbuhkan rumput ini. Mungkin bisa juga dipakai paman Drew untuk mengatasi rambutnya yang rontok.
Akhirnya. Aku berhasil sampai di dasar lembah. Lantai alam yang beralas krikil beraneka warna--persis seperti hiasan yang ada di akuarium--dan butiran pasir besar.
Uniknya, di sini tidak ada rumput yang tumbuh. Hanya tanaman perdu berupa semak-semak yang tumbuh tersebar di sembarang tempat.
Aku mulai berjalan setelah bisa mengatur napas, dan kebas di tangan menghilang. Tidak akan lagi aku melakukan itu. Seram!
Eh, tapi kan aku harus memanjatnya lagi nanti. Ah, semoga saja Artapatu membantuku untuk keluar dari sini. Gila saja kalau sekali lagi harus melewati tempat itu. Bisa copot tangan aku nanti memanjatnya.
Sekarang aku lebih baik bergegas ke tengah lembah. Tempat pohon raksasa itu berada. Teringat cerita dari para pelancong di penginapan yang mengatakan kalau tempat ini dihuni oleh monster buas pemakan manusia.
Kalau sampai aku bertemu dengannya, bisa tuntas petualanganku di sini. Entah bisa kembali ke dunia tempat asliku berada, atau justru benar-benar mati. Tuntas.
Ah, aku tidak mau mati!
Demi itu, aku harus bergerak secepat mungkin dan tetap berhati-hati agar tidak menyenggol semak-semak. Bukan apa-apa. Tanaman perdu itu ternyata memiliki banyak duri di batangnya. Belum lagi daunnya yang kasar dan tepian runcing yang sama berbahayanya.
Pahaku sudah dua kali jadi korban tanaman itu. Merobek celana yang aku kenakan, sekaligus menorehkan luka bersama rasa perih. Persis seperti saat jariku teriris silet.
Sebenarnya jarak dari tepi lembah hingga ke pohon raksasa itu tidak terlalu jauh. Hanya saja, barikade perdu tajam di sekelilingnya, membuatku terpaksa berputar-putar demi mencari jalan yang dapat dilalui.
Dari dekat, akhirnya aku menyadari kalau hanya di sekitar pohon raksasa itu terdapat tanah. Gundukan besar, tempat tumbuh dan mengakarnya si pohon.
Di perbatasan antara tanah merah gembur dan bebatuan berpasir itu, terdapat parit kecil yang mengelilingi. Kering tanpa ada air tertampung di sana. Mungkin saja baru akan terisi kalau ada hujan lebat yang mengguyur.
Aku melompati parit itu. Masuk ke bawah naungan teduh dari rimbunnya pohon besar. Tidak ada lagi sengatan matahari langsung yang membakar kulit. Malah, uniknya hanya ada udara segar terasa di kulit saat aku sudah berada di sini. Seakan hembusan angin kering di sekitar lembah tidak dapat melewati dan memasuki wilayah si pohon besar.
Walaupun begitu, aku tidak mau berlama-lama di sini. khawatir nanti monster pemakan manusia benar-benar muncul dan memangsaku.
Aku bergegas menghampiri pohon besar itu. Mengitarinya sekali, dua kali, bahkan sampai selesai putaran ketiga, aku sama sekali tidak menemukan letak lubang seperti yang dikatakan Artapatu.
Sialan! Jangan-jangan benar apa kata Kord. Kakek itu hanya penipu. Jika memang dia sakti dan memiliki senjata untuk mengalahkan si naga, kenapa tidak dia sendiri yang melakukannya? Bukankah dengan begitu dia tidak perlu lagi jadi pengemis.
Sialan! Kenapa baru terpikirkan sekarang?
Aku terduduk lemas bersandar batang pohon. Tenaga di tubuhku terkuras begitu saja. Lemas memikirkan kebodohanku yang mau saja tertipu oleh omongan orang tua sialan itu.
Seandainya aku mau ikut ajakan Kord, dengan menggeser rasa tidak suka pada si bangsawan sombong dan tengil itu, sudah barang tentu aku tidak perlu sampai terdampar di tempat antah berantah ini. Dengan hanya sepotong roti kering tersisa dan sebotol air minum di dalam tas.
Kalau sudah begini, terpaksa aku harus kembali ke kota Tres. Mengisi perbekalan, dan mungkin bekerja lagi beberapa hari di penginapan. Terlalu jauh jika aku langsung berjalan dari sini ke desa Fugal. Dua hari perjalanan, sementara bekalku tidak mencukupi.
Sialan! Hari sudah mulai sore. Kalau aku bergegas, mungkin sebelum malam aku sudah bisa sampai di pohon tempat kemarin menginap. Kalau mau nekat pun, aku bisa melanjutkan perjalanan, dan sampai di kota Tres besok sebelum menjelang siang.
Tapi mau bagaimana pun juga, aku harus segera pergi dari tempat terkutuk ini. Secepat dan sejauh mungkin, karena entah mengapa, tiba-tiba saja muncul perasaan tidak enak mengganjal di hati. Seperti bel tanda bahaya yang memperingati akan datangnya bencana.
Seharusnya memang seperti itu. Akan tetapi, pandangan mataku mulai buram. Badan ini tiba-tiba saja lunglai. Bahkan untuk berdiri pun aku tidak sanggup.
Rasa kantuk yang ganjil menyerang kesadaranku. Sedikit demi sedikit semua menggelap, bagai lampu panggung di pertunjukan drama saat perpisahan sekolah dasar dulu. Hanya wangi segar dedaunan menelusup di hidung, dan kabut tebal mengambang di lantai lembah yang terakhir bisa kutangkap. Sebelum akhirnya kesadaranku hilang sepenuhnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
Pentol Ajib
kena tipu ya?
2020-03-07
2
Nina Karmila
Sam kena sirep...
2020-03-07
1
☠ᵏᵋᶜᶟ⏤͟͟͞R❦🍾⃝ͩɢᷞᴇͧᴇᷡ ࿐ᷧ
wawwww
2020-03-03
1