Sesuai arahan Pengemis Tua bernama Artapatu, yang ternyata bukan hantu atau sejenisnya, aku dan Kord memulai perjalanan. Berbekal dua kep yang dikembalikan pria tua itu, kami membeli bekal seadanya untuk perjalanan. Makanan, botol minum yang baru, kain murahan untuk digunakan sebagai selimut, dan lain-lain. Tanpa senjata sama sekali.
Yah, kalau pisau untuk mengupas buah dan memotong daging bisa dianggap senjata, maka itulah senjata kami satu-satunya.
Sebenarnya, Artapatu bukan memberitahukan tempat persembunyian si Naga. Pengemis tua itu justru bertanya, "Jika aku memberi tahu kalian tempat persembunyian naga itu, apa yang akan kalian pergunakan untuk melawannya?"
Sontak aku terdiam mendengar pertanyaannya. Naga dengan sisik yang pasti sekeras berlian--sekedar perkiraan, sesuai deskripsi game petualangan yang pernah kumainkan--sudah barang tentu tidak mungkin bisa dikalahkan hanya dengan bermodalkan cangkul atau sekop milik kami.
"Ka-kami bisa menggunakan senjata yang terjatuh milik orang lain."
Artapatu tertawa kencang mendengar jawaban jenius Kord. "Bisa kau menggunakan cara itu, jika kau cukup berani mendekati si naga yang mampu menyemburkan api sejauh 7 meter."
Serentak kami berdua terdiam pucat pasi, karena mendengar ucapan Artapatu yang terkesan meyakinkan. Benar-benar meyakinkan malah. Seakan-akan dia mengenal baik naga tersebut.
Aku mungkin tidak akan percaya ucapannya, jika tadi tidak melihat sendiri bagaimana kehebatan pria kurus tersebut--mendekati sakti malah. Lepas dari fakta dia bisa menghilang dalam sekedipan mata sewaktu di jalanan pasar.
Bermula saat aku memberi tahu Kord kalau Artapatu lah orang yang kuberikan duit untuk mengganti rotinya yang terjatuh karena tidak sengaja kutabrak. Setelah mendengar penjelasanku, Kord langsung menerjang pria tua brewokan itu sambil berteriak meminta duitnya dikembalikan. Artapatu menyambut tandukan Kord tanpa bergeser sedikitpun dari tempatnya berdiri, dan berhasil dengan mencengangkan mementahkan terjangan maut itu. Menjatuhkan kord sekaligus mengunci tubuh gemuknya, tanpa kesulitan sama sekali.
Kord merengek minta ampun sebelum akhirnya Artapatu, yang duduk santai sambil tertawa di atas tubuh gempal Kord, melepaskan kunciannya.
"Atas kebaikan dan keramahan kalian, maka sebagai gantinya akan aku beri tahu letak senjata yang dapat kalian gunakan untuk menjalankan tugas ini. Dengarkan baik-baik, karena aku tidak akan mengulanginya lagi!" Berhias senyuman lebar, Artapatu menatap kami bergantian demi memberi efek dramatis, sebelum melanjutkan perkataannya. "Pergilah ke Danau Jernih yang berada di Utara kota. Dari situ, kalian berbelok ke Timur untuk memasuki Hutan Padang Rumput, dan teruskan berjalan hingga sampai di Kota Tres. Tunggulah sampai sehari sebelum bulan purnama penuh untuk melanjutkan perjalanan menuju Bukit Lojom, yang menjadi gerbang ke Lembah Sunyi. Di sana kau akan menemukan pohon besar berlubang. Setelah itu masuklah ke dalamnya, untuk menemukan senjata bertuah legendaris."
Setelah semua penjelasan panjang--yang untungnya bisa aku ingat--Artapatu menyerahkan dua koin perak, sebelum pergi keluar rumah, untuk kemudian kembali menghilang tanpa jejak. Seperti di pasar tadi.
Di sinilah kami. Setelah tiga hari perjalanan penuh keributan, terutama soal pembagian bekal makanan dan istirahat, akhirnya kami berhasil memasuki Hutan Padang Rumput. Hutan yang benar-benar sesuai dengan namanya, karena dari luar hutan saja, kami sudah disuguhi pemandangan padang rumput setinggi leher, yang di sekitarnya ditumbuhi pula pohon-pohon tinggi. Membuat kami kesulitan bergerak saat melaluinya.
Kami berhasil keluar dari dalam hutan dalam waktu dua hari dengan penuh perjuangan. Konyolnya, kami ditertawakan oleh warga kota yang memberitahukan kalau ada jalan memutar, tidak jauh dari tempat kami memasuki hutan. Katanya, dengan menggunakan jalan itu, kami akan sampai di Kota Tres hanya dalam waktu kurang dari setengah hari!
Kami yang kehabisan bekal karena tersesat di hutan terkutuk itu, akhirnya harus mengemis-ngemis kepada beberapa pemilik penginapan agar bisa bekerja dan mendapat tempat untuk menginap. Setidaknya sampai waktu mendekati bulan purnama yang masih seminggu lagi.
Setelah beberapa kali diusir dan dibentak, akhirnya seorang pemilik penginapan mau berbaik hati mengizinkan menginap di kandang kuda, dan memperkerjakan kami dengan upah yang dipotong biaya makan. Pekerjaan menguras tenaga, karena sedang banyak pengunjung di penginapan, yang rata-rata adalah para peserta sayembara.
"Tadi siang aku ditawari oleh rombongan dari Kota Oks untuk bergabung. Katanya, mereka mengetahui di mana sarang Naga Bersisik Merah Delima berada, dan besok pagi akan berangkat ke sana." Kord berbaring di atas jerami dengan tangan terlipat di belakang kepala sebagai bantalan.
"Lalu kau mau ikut?" tanyaku tanpa melepaskan pandangan di luar kandang, dari bulan yang sedikit lagi menjadi bulat sempurna.
"Tentu saja. Tenang, kawan, aku juga bilang kalau kau akan ikut bergabung dengan mereka. Pimpinan kelompok itu bahkan berjanji akan memberikan bayaran sebanyak seribu dem kepada masing-masing anggota, asal dia menjadi pahlawan yang mengalahkan si naga dan menyelamatkan tuan putri. Adil menurutku, karena dengan seribu dem, kita bisa membeli rumah di luar kota, dan hidup makmur di sisa umur ini."
Aku menatap Kord yang berwajah ceria dengan senyum sumringah. Aku tergoda dengan tawaran menarik itu. Jika ikut rencananya, masih ada kemungkinan lebih besar untuk mengalahkan naga, daripada mengikuti arahan si tua Artapatu yang tidak jelas. Lagi pula, tidak ada jaminan aku akan keluar dari dunia di dalam buku ini setelah mengalahkan Naga Bersisik Merah Delima. Seribu koin emas sebagai ganti menjadi seorang bangsawan di tanah pertanian, dengan resiko yang lebih kecil, mungkin sesuai. Seandainya pun aku tidak bisa kembali ke dunia nyata, aku masih bisa hidup senang di dunia ini.
"Jadi bagaimana kawan? Kau pasti mau bergabung, kan?" Kord menatapku langsung dengan mata berbinar. "Dari pada kau mengikuti petunjuk tidak jelas dari si Kakek Pengemis sialan itu, yang membuat kita tersesat di hutan, barang tentu lebih jelas jika menerima tawaran ini. Asal kau tahu ya, Arson, yang memimpin kelompok itu adalah seorang bangsawan. Pastinya dia ahli berperang dan memainkan senjata kan."
Tawaran yang makin menggoda itu tentunya akan aku setujui. Namun, sebelum sempat berbicara, tiba-tiba saja, muncul perasaan sedih dan tidak rela, diikuti rasa nyeri dari bekas luka di dahi dan patah di hidungku.
"Akan aku pikirkan nanti. Sekarang kita tidur biar tidak kesiangan." Aku menjawab begitu, karena didorong rasa bimbang di hati, yang tiba-tiba saja muncul.
"Ah! Kau ini selalu seperti itu. Plin-plan kalau menentukan pilihan." Kord berguling untuk kemudian memunggungiku. "Katakan saja iya, dari pada harus bekerja dua hari lagi di penginapan Neraka ini, demi mengikuti petunjuk bohong si tua sialan itu. Asal kau tahu ya, pedang cakar merah dan tombak taring perak yang menjadi lambang kerajaan, hanyalah dongeng pengantar tidur. Tidak mungkin senjata itu nyata."
Sejenak aku termenung. Masih bertanya mengenai maksud berikut sumber rasa bimbang gaib yang seketika melanda. Membuatku tidak bisa menjawab tawaran menggiurkan dari Kord. Bukan perkara soal senjata legendaris yang kami pikir akan diberikan Artapatu. Lebih dari itu. Aku terus berpikir mencari kejelasan, sebelum akhirnya kalah oleh kantuk, walau di sebelahku, Kord mendengkur sangat kencang. Efek karena lelah seharian bekerja keras.
Ah, sudahlah tidak ada gunanya dipikirkan terus tanpa ada petunjuk sama sekali.
Selamat tidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
PotatoYubitisfira
Ouch, takut kalau dia tidak mengikuti perkataan Sang Kakek :"(
2020-11-23
0
BEE (@tulisan_bee)
Namanya bagus2 mah
2020-05-15
0
Fujoshii
lanjut kakak 😇 baik
2020-04-27
1