Dok! Dok! Dok!
Aku bangun tersentak mendengar suara gedoran kencang. Mengerjap lalu mengucek mata untuk mengembalikan penglihatanku yang kabur. Oh, pasti tadi aku tertidur di kamar saat sedang mencoba mainan yang diberikan sebagai hadiah ulang tahun.
Sekilas aku teringat juga komik hadiah Zacky, yang sialannya adalah komikku! Awas saja besok di sekolah, akan aku sebarkan cerita soal dia yang mau mendekati Fio. Pembalasan untuk buku kom...
Dok! Dok! Dok!
Suara gedoran terdengar lagi. Namun, bukan itu yang membuat pikiranku terhenti sesaat. Buku! Aku akhirnya ingat peristiwa yang terjadi sebelum kehilangan kesadaran. Buku ajaib pemberian Tama yang berjudul Alkisah Naga Bersisik Merah Delima.
Benar! Setelah aku mengucapkan sumpah seperti yang tertulis di sana, tiba-tiba saja aku tersedot masuk ke dalam buku. Semua gelap, dan seketika itu pula ingatanku terputus. Berakhir sampai di situ. Lalu, sekarang aku ....
"Sam! Bangun, dan ayo pergi ke alun-alun sekarang. Bukankah kemarin kita sudah janjian untuk mendengar sayembara yang akan dibacakan hari ini!?" Tiga kali suara gedoran yang lebih kencang menggema.
Sam? Sam ... Daker! Itu nama si petani miskin sebatang kara yang tertulis di buku! Orang yang entah siapa itu pasti salah memanggil orang. Aku Wanara! Bukan Sam Daker, si tokoh dalam buku!
"Bangun sekarang, Sam, atau aku dobrak pintu reyot rumahmu ini!"
Aku bukan Sam! Lagi pula siapa kamu?
"Pergilah duluan, Kord, aku akan menyusulmu nanti!" Aku melongo mendengar perkataanku sendiri, karena sedetik sebelumnya, aku bermaksud mengatakan, "Pergilah! kau salah orang!"
Sialan! Apa-apaan ini?
"Ya sudah. Pastikan kau pergi sebelum pasukan kerajaan menyeretmu paksa!"
Walaupun berbeda, tapi setidaknya efek yang dihasilkan sesuai keinginanku. Kord yang entah siapa itu, pergi dengan langkah diseret. Menimbulkan suara gemerisik panjang.
Aku mengedarkan pandang, demi melihat keseluruhan ruang yang kutempati. Sebuah bangunan berbentuk kubus, berisi dipan kecil reyot beralas jerami, yang dipisahkan dari ruang lain menggunakan kerai, dan sebuah gentong air di pojok ruangan. Prabotan seadanya dengan tambahan beberapa alat pertanian yang teronggok di pojokan, namun terasa terlalu penuh di ruang kecil seukuran 5×3 meter. Kira-kira sebesar itulah ruangan ini. Aku tidak tahu pasti karena tidak ada niat juga mengukurnya.
Ok! Satu hal yang berusaha aku pahami sekarang: apa mungkin aku benar-benar masuk ke dalam buku kosong pemberian Tama, lalu berubah menjadi tokoh cerita dongeng, sesuai deskripsi dari tulisan ajaib yang seketika muncul saat di halaman kosong buku itu?
Tapi bagaimana mungkin? Aku belum pernah dengar ada teknologi seperti ini ditemukan. Paling jauh hanya teknologi virtual reality, yang tidak sehebat penggambaran di game dan komik. Lagi pula semua ini terlalu nyata kalau hanya sekadar VR. Aku bahkan bisa merasakan kasarnya jerami di tangan, gatal menyengat di punggung, dan bau amis yang sejak tadi menusuk hidung.
Sihir kah? Di dunia modern ada sihir? Yah, mungkin saja sih. Soalnya di film "The Flush", dijelaskan teori kalau teknologi yang kelewat maju di jamannya akan dianggap sebagai sihir.
Ya begitulah. Tapi masa bodo! Yang penting sekarang, aku harus mendapatkan kejelasan tentang apa yang terjadi padaku!
Suara berisik rombongan orang di luar, mengagetkanku yang sedang termenung. Teringat ucapan Kord soal prajurit yang akan menarik paksa siapapun untuk hadir di alun-alun. Entah sungguhan atau hanya bualan kosongnya.
Baiklah, aku pergi sekarang dari pada dapat masalah di dunia asing yang entah ada di mana ini. Lagi pula dengan pergi keluar, mungkin saja aku bisa menemukan jalan untuk kembali ke dunia asal.
Tunggu! Aku merasa lebih tinggi saat berdiri dan beranjak dari dipan reyot. Aku tatap kedua tangan yang kasar dipenuhi kapalan. Otot tangan dan perutku pun menonjol dalam enam lipatan otot yang keras. Aku berlari menuju gentong air dan membuka penutupnya untuk bercermin.
Rambut hitam kemerahan yang kaku bagai ijuk, hidung panjang dengan bekas luka patah, wajah berbentuk oval dengan bekas luka gores di dahi, dan mata sayu berwarna hijau tua. Itu yang terlihat dari pantulan air di dalam gentong. Aku Wanara, di dalam tubuh seorang pria bernama Sam Daker!
Suara langkah kaki orang-orang di luar sudah semakin surut. Jika tidak cepat keluar, mungkin benar akan ada prajurit yang datang untuk menyeretku. Aku bergegas menuju pintu, sejenak menyingkirkan perkara ganjil yang tengah kualami, sambil membereskan baju terusan kusut, yang menjulur sampai setengah paha, dengan tali terikat melingkar sebagai penahan celana panjang kebesaran.
Hidungku langsung tergelitik saat membuka pintu. Udara amis yang sebelumnya samar, kini terhirup langsung memuakan di depan rumah, yang bersebelahan dengan pasar ikan. Aku tidak bisa membayangkan, bagaiman jadinya jika harus menghabiskan sisa hidup di dunia ini. Tinggal di sepetak rumah kecil, yang bersebelahan dengan sumber bau busuk. Mungkin setiap hari harus menahan muntah seperti yang tengah aku lakukan sekarang.
"Hei, kau! Cepat pergi ke alun-alun kota!" bentak seorang prajurit membawa tombak, yang menggiring beberapa penduduk dari belakang.
Sepertinya benar apa yang dikatakan orang bernama Kord itu.
Aku bergegas menyusul. Bukan karena mau mengikuti perintahnya, tetapi lebih kepada keinginan untuk segera menjauh dari jangkauan aroma tidak mengenakkan di sekitar pasar ikan.
Aku menyusuri pasar hingga ke bagian yang dipadati rumah berbentuk kubus, keluar dari area berbau busuk, yang dindingnya berwarna coklat alami. Mungkin rumah-rumah itu dibangun dengan bantuan tanah liat sebagai semen perekat, tanpa ada yang berniat mau mengecatnya dengan warna yang lebih cerah. Entahlah. Aku tidak peduli, karena sekarang yang lebih menyita perhatianku adalah celana di balik baju terusan ini. Perlahan mulai melorot, sehingga terpaksa aku pegangi sambil membetulkan ikatan tali yang menahannya, tanpa menghentikan langkah. Perbuatan yang akhirnya membuatku terjatuh karena menabrak sesuatu.
Menabrak seorang pria tua kumal, dengan baju gombel. Menatap pasrah rotinya yang menggelinding sebelum masuk ke dalam selokan.
"Ma-maafkan aku. Aku tidak sengaja." Aku berdiri mendekati si pria tua sambil mengulurkan tangan.
Pria kumal dengan brewok putih dan rambut kusut panjang itu tidak menggubris. Dia terpaku menatap rotinya yang sudah menggenang di dalam selokan dengan mata berkaca-kaca.
"Hei! Cepat bergerak! Tinggalkan saja gembel tidak berguna itu!" Prajurit yang baru saja melewatiku membentak tanpa menghentikan langkahnya.
Aku mau meninggalkannya, tetapi ada rasa bersalah karena telah membuat si pak tua kumal kehilangan makanannya, yang mungkin menjadi satu-satunya santapan untuk hari ini. Berharap bisa menemukan sesuatu, tanganku merogoh ke dalam saku celana dan mendapati lima koin tembaga dan tiga keping koin perak. Tanpa pikir panjang, aku raih tangan si Pria Tua Kumal untuk menyerahkan semua koin di tangan, sebelum berlalu meninggalkannya.
"Terima kasih, Nak! Akan aku balas kebaikanmu nanti."
Aku menoleh karena ucapan lirih si pak tua kumal. Kosong! Jalan di belakang sudah lenggang tanpa keberadaan si pak tua. Pria ringkih itu hilang tanpa jejak begitu saja dalam sekedipan mata. Ya Tuhan, kenapa di dunia ini aku harus bertemu hantu segala!?
Aku berlari kencang dengan bulu kuduk meremang ketakutan. Berharap sosok itu tidak muncul kembali dalam wujud yang menyeramkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
PotatoYubitisfira
Aku masih beradaptasi dengan Mangatoon yang sekarang :*
2020-11-23
0
Jiaznot
dua chapter terbaca dan oke gue suka. tapi aku juga mengatakan kalau aku punya cerita yang lebih baik dari kamu, maaf bukan dari segi alur, karena sendiri emang tidak yakin apa alur ceritaku sanggup diikuti, tapi aku sangat yakin, org yang membaca ceritaku akan belajar banyak tentang kata-kata baik utk digunakan, ya walaupun aku akui kalo aku sangat buruk dalam menggunakan EYD.
ya silahkan kunjungi ceritaku berjudul Penguasa Kegelapan, silahkan periksa sendiri dan kagumilah kata2nya.. haha..
So, cerita anda bagus tapi tidak untuk kata2nya
2020-08-31
0
Suriyana
Hai
2020-06-08
1