Suasana sore hari yang dirasakan Zia sungguh bebeda dengan sore sebelumnya. Dimana suasana yang ia lalui di kampus belajar dan berkumpul dengan teman-teman sungguh menyenangkan saat itu. Tapi hari ini hari pertama bekerja sungguh berbeda baginya. Ia harus menyelesaikan setumpuk berkas dihadapannya.
"Gimana sudah selesai?" tanya Sita menghampirinya dari samping. Zia mendongak sebentar ke arah Sita.
"Belum, bantu aku dong...." balas gadis itu, kembali sibuk menyusun berkas-berkas.
"Baiklah." Sita segera mendekat membantu memisahkan berkas-berkas yang penting yang menumpuk di meja temannya itu hingga tersusun rapi.
"Akhirnya ... terima kasih Sita." Zia menghela napas lega. Akhirnya bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu.
Sita menatap Zia ada yang ingin ia sampaikan. Tetapi ia ragu saat akan mengatakan. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tentang kejadian semalam saat melihat Rio bergandengan dengan seorang Wanita.
"Zia, aku ... mau mengatakan sesuatu, tapi ... kamu jangan marah, ya?" ucapnya ragu.
Zia memutar kedua bola mata melihat kearah Sita, "Apa?" tanyanya meanutkan alis menanti kalimat Sita.
"Tadi malam, sepulang kita dari caffe, aku melihat Rio di hotel mawar ber...." Sita belum melanjutkan kalimatnya. Ziara sudah melanjutkan memotong.
"Iya, semalam Rio menemui cleint Ayahnya di sana," jawab Zia.
Ingin Sita mengatakan semua, tetapi ia tidak mempunyai bukti jika Zia memintanya. Ia memilih bungkam karna belum yakin. Siapa yang bersama Rio semalam.
Oke, aku akan mencari tau, sepertinya ada yang tidak beres dengan Rio. Setelah aku mendapat bukti, akanku ungkap semua di depan Zia.
"Ayo kita pulang!" ajak Zia membuyarkan lamunan Sita. "Aku tidak sabar, supaya cepat sampai di rumah. Hari ini sangat melelahkan sekali," ucapnya meregangkan otot tangannya.
"Jangan langsung pulang. Kita ke taman yuk!" ajak Sita
"Baiklah."
Mereka meninggalkan ruangan yang penuh tumpukan pekerjaan melelahkan itu. Untuk pergi ke taman, untuk mengobrol. Meraka saling menceritakan kehidupannya masing-masing.
"Apa ... kamu mau membantuku, Zia?" tanya Sita penuh harap dengan air muka sedih menatap temannya itu.
"Pasti, selama aku bisa aku bantu," balas Zia mengenggam tangan Sita meyakinkan. "Katakan, apa yang harus aku, bantu?"
"Bantu aku, untuk keluar dari perjodohan yang menyisaku ini. Demi bisnis orang tuaku, Mama tiriku tega akan menikahkan aku dengan orang yang enggak kukenal. Kumohon Zia, selamatkan aku," ucap Sita memohon, pelupuk matanya menggenang air mata.
"Baiklah, aku akan membantumu, kita akan susun rencana supaya mereka membatalkan perjodohan ini." Zia memeluk Sita yang sedang menangis menepuk pelan punggungnya.
"Kalian di sini??" sapa seorang laki-laki.
Membuat mereka melepas pelukan saat mendengar suara tersebut.
"Sayang, aku cari kamu tadi, aku tanya di kantormu, sudah pulang kata pegawai di sana," ucap Rio.
"Rio kamu datang, aku pikir kamu marah,
karna kejadian tadi pagi," balas Zia senang melihat kedatangan Rio.
Sita menyeka sisa air matanya menggunakan tangan. Ia memandang Rio sinis, di hadapannya yang bertampang maskulin itu. Ia tidak suka melihat Rio berpura-pura di depan Ziara. Ia sangat muak meliahat wajah laki-laki seperti itu seperti playboy segera Sita beranjak meninggalkan mereka berdua.
"Kamu mau kemana, Sita?" tanya Zia.melihat Sita beranjak dari tempat duduk.
"Aku mau pulang, nggak enak di sini jadi lalat, lagi pula banyak buaya keliaran," balas ketus Sita menatap Rio sinis, seolah menyimpan dendam yang membara lalu pergi meninggalkan mereka.
Zia belum paham apa yang dikatakan Sita.
Ia melongo seperti orang kebingungan.
Apa maksudnya buaya? Di taman dimana ada buaya? ia menggaruk kepala tidak gatal.
"Gitu dong, kasih waktu buat temannya pacaran," ucap Rio namun tak terdengar. Sita terus saja berjalan hingga menghilang dari hadapan.
"Apaan sih," ucap Zia tersipu.
Hingga tidak terasa suasana sudah memasuki senja hingga langit berubah warna menjadi jingga. Matahari tenggelam telah usai meleksanakan tugas untuk menerangi bumi. Esok ia akan kembali bercahaya membawa keterangan yang hangat.
Di bawah senja Zia dan Rio menikmati.
Betapa indahnya suasana ini. Cewek itu menyandarkan kepala di pundak Rio.
pasangan yang membuat iri siapapun saat
melihat dua anak manusia yang di
mabuk cinta.
"Sayang, sampai kapan orang tuamu akan merestui
hubungan kita? aku sudah tidak sabar ingin tidur denganmu. Eh. "
"Apa!" Mata Zia medilik tajam mendengar kalimat Rio.
"Maksudnya hidup denganmu." Rio menyeringai. "Jadi kapan?"
"Entah ... ayah belum mengatakan apapun.
justru semakin protektif. Beliau selalu mewanti-wanti supaya aku tidak menemui kamu," ucap Zia menunduk sedih.
Rio megusap pucuk kepala, dan memeluk cewek itu. "Kamu tenang, lama-lama juga
mereka memberi restu."
"Kita nonton?"
"Aku capek, pengen cepat-cepat pulang,
maaf ya sayang," ucap Zia.
Sebenarnya capek hanyalah tameng, sebagai
alasan supaya tidak pergi dengan Rio. Ia merasa aneh dengan perubahan sifat cowok itu. Akhir-akhir ini ia meminta hal lebih darinya, sehingga membuat Zia tidak nyaman. Ia selalu ingat kata-kata orang tua. Pesan
yang selalu menjadi pegangan untuknya. Untuk terhindar dari perbuatan tercela. Bisa merugikan diri, kehormatan sebagai seorang wanita.
"Oke, tapi janji lain kali aku tidak mau dengan kata menolak. Dan cepat bujuk orang tuamu, aku sudah tidak sabar ingin menjadi suamimu. Membuat kamu dan calon anak-anak kita bahagia," ucap Rio.
"Kamu terlalu jauh sepertinya, menikah aja belum, sudah membayangkan punya anak," canda Zia memukul pelan dada Rio.
"Secepatnya itu akan terjadi, sayang...." lirih Rio di telinga kekasihnya itu.
"Kamu mencintaiku?"
"Kamu ini bertanya atau mengejek, hah?!" Rio mencubit hidung gemas melihat kekasih polosnya itu.
Zia terdiam sejenak, kembali mengingat Sita entah kenapa? Dia kepikirkan kalimat temanya itu. Seolah ia merasakan penderitaan yang dialami Sita.
Dan tiba-tiba ponsel Zia berdering. Ia melihat tertera nama Sita di sana.
"Siapa?" tanya Rio saat melihat Zia memandang layar ponselnya.
"Sita, aku angkat sebentar." Rio mengangguk.
"Semua sudah terlambat, Zia," ucap Sita sembari menangis tersedu-sedu.
"Apa yang terjadi, Sita?" tanya Zia panik.
"Orang tuaku sudah menentukan hari pernikahanku, Zia. Mereka membawaku ke luar kota untuk menikah di sana. Saat ini aku menelepon di toilet." Sita menutup teleponnya tanpa memberi tahu Zia sebelumnya.
Seketika tubuh Zia lunglai, ia merasa gagal menyelamatkan temannya dari pernikahan paksa yang tidak diinginkan. Ia menyesal kenapa tidak segera membantu justru malah menertawakan saat Sita memberi tahu.
"Aku benci perjodohan, aku benci!!" pekiknya berlutut di tengah-tengah taman.
Rio memeluk tubuh Zia untuk beranjak bangun membawa ke mobil untuk mengantarnya pulang.
"Jangan sedih, lama kelamaan Sita juga akan cinta," ucap Rio sambil mengemudikan mobilnya melihat Zia sedih.
"Bagai mana kamu tahu?"
"Tentu saja aku tahu, aku sering baca cerita teman-temanku. Bahkan orang tuaku dulu mereka menikah karna dijodohkan."
"Itukan dulu, sekarang sudah tidak perlu lagi tradisi semacam itu, hal yang konyol menurutku. Orang tuamu tidak akan menjodohkanmu dengan teman bisnisnya atau semacamya kan, sayang?" tanya Zia menatap Rio.
"Kalau aku dijodohkan aku akan menikahinya, menjadikan istri pertama dan selanjutnya aku akan menjadikanmu istri kedua. Aku akan selalu bersama istri kedua-ku," kelakar Rio.
"Jawaban yang ngacok." Zia.memukul lengan Rio pelan.
Mereka bercanda disepanjang jalan, hingga tiba di halaman rumah Zia. Saat gadis itu akan masuk ke dalam rumah Rio tersenyum dan mereka saling melambai.
"Heemmm!
Seketika Zia menggaruk kepala yang tidak gatal ia gugup saat melihat Ayahnya di depan pintu menatap tajam.
NEXT...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Antoni Purba
lanjutkan ...
2023-03-12
0
Linda pransiska manalu
zia kok kurang peka. gerak gerik Rio.
2022-05-22
0
Nur Afifah
masih takut di sentuh
2022-03-23
0