Mr.Bencong mencurigakan!

***

Aku mendesah panjang, pelan-pelan memutus panggilan sambil menatap langit-langit.

Oke, Brea Simamora. Hari ini kamu: harus serba bisa.

Dengan langkah cepat, aku mendekati kamar mandi. Langsung ngeliat Dimitry masih nyender di dinding, keringat dingin di pelipisnya, bibirnya tremor, bulu matanya nyaris lepas sebelah.

“Tenang, Ben… eh, Dede… maksudnya,” ujarku sambil jongkok di sampingnya.

“Aku bantuin keluar keluar dulu. Tapi habis ini… kita harus ngobrol. SERIUS.”

Aku meraih lengan Dimitry dengan hati-hati, walau sebenernya aku juga gak yakin ini lengan asli atau hasil gym dan suntik vitamin C.

Dia meringis makin dalam saat aku menyentuhnya.

“Sakit banget ya?” tanyaku, setengah simpati, setengah panik.

“Rasanya tuh kayak... tulang ekorku diaduk-aduk blender, Sis,” desah Dimitry dramatis, lengkap dengan ekspresi ala sinetron striping. “Ini pasti karma. Kemarin aku habis nyinyirin pantat SPG minimarket…”

Aku menghela napas berat. “Terserah kamu deh. Ayo pelan-pelan, berdiri dulu.”

Dengan susah payah, aku bantu dia bangkit. Posisi kami… janggal. Tanganku di bawah ketiaknya, sementara badannya nempel di dadaku. Keringatnya udah membasahin daster ungu fantanya, dan baunya… surprisingly harum. Wangi hair mist mahal ketemu bedak bayi.

“Aduh... pelan, pelan, sayang...” Dimitry merintih manja.

“Eh, jangan panggil aku sayang. Fokus dulu, kita harus keluar dari kamar mandi sebelum kepalamu benjol lagi,” sahutku cepat.

Langkahnya terpincang, tapi dia bersikeras gak mau aku gendong.

“Maaf, Princess. Aku memang bencong, tapi bukan beban hidup. Masih bisa jalan sendiri.”

Aku nyaris ketawa, tapi ku tahan. Gak tega juga. Satu tangan derek nempel di pinggangku, satu lagi nyangkut di tembok, gaya kami udah kayak pengantin baru abis nyoba pose yoga patah tulang.

Sampai akhirnya kami berhasil tiba di ranjang. Aku bantu dia duduk perlahan.

“Sebelah kanan, lemarinya,” lirih Dimitry sambil pegang pinggang.

Aku buru-buru buka laci biru kecil itu. Isinya… penuh.

Obat-obatan, balsem, tumpukan tisu basah, sampai notes kecil warna pink bertuliskan: ‘Minum jam 10 pagi atau gue bacok!’

Tanda tangan di bawahnya: Yasmin .

Aku angkat satu botol putih tutup merah.

“Ini, ya?” tanyaku sambil menunjukkan.

Dia mengangguk lemah. “Kamu malaikatku… meski wajah kamu kayak mau nendang aku keluar jendela.”

“Udah minum dulu obatnya, baru kamu bisa ku tendang dengan tenang,” sahutku ketus sambil bantuin dia buka tutup botol.

Setelah telan dua kapsul dengan air putih, Dimitry akhirnya rebahan perlahan. Napasnya masih berat, tapi wajahnya mulai tenang. Bulu matanya nggak bergetar lagi.

Aku duduk di tepi ranjang, masih bengong.

Ini pagi macam apa? Udahlah salah kamar, ketemu bencong, nyelamatin bencong, terus sekarang...

Aku duduk di kamar bencong, sambil nontonin dia istirahat kayak anak ayam jompo habis gladi resik.

Tiba-tiba, suara serak Dimitry terdengar pelan.

“Tadi kamu manggil aku Ben, ya? Maksudnya Bencong, Kan?”

Dia membuka matanya sebelah, senyumnya tipis tapi jahil.

“Cantik-cantik, ternyata mulutmu LEMES juga ya, Sis.”

'Pamp!!!'

Auto ku lempar bantal di tangan ke mukanya dia.

***

Setelah perang bantal selesai, kami kelelahan.

Dimitry lanjut selonjoran di atas ranjang, napasnya udah mulai stabil. Tapi dari sorot matanya, aku tahu: dia belum sepenuhnya tenang.

“Kalau kamu haus, ambil aja minuman di kulkas,” katanya, nada suaranya udah gak se-nyinyir sebelumnya. “Minuman kaleng. Gak ada alkohol, tenang aja. Aku lagi puasa dunia malam.”

Aku berdiri pelan, nyamper ke kulkas kecil di pojok ruangan. Buka pintunya, dan… benar aja. Deretan minuman kaleng manis, ada yang rasa jeruk, anggur, dan satu lagi bertuliskan “Choco Almond Milk for Broken Hearts.”

Aku ambil dua. Kasih satu ke dia, satu buatku. Aku juga melihat beberapa botol air mineral merek impor dengan label beraksen Rusia yang tidak biasa, tapi kuabaikan saja.

Kami duduk berdampingan di ujung ranjang. Dia nyeruput pelan, aku juga.

Lalu, aku nanya.

“Yasmin ... temenku. Sejak kapan kamu kenal dia?”

Dimitry senyum kecil, tapi gak langsung jawab. Dia muter-muter kaleng minumannya dulu, kayak lagi nyari keberanian di balik logo botol.

“Dua tahun lalu. Aku sempat... breakdown. Waktu itu belum tahu apa yang aku alamin tuh namanya panik attack. Aku pikir cuma kebiasaan pick me doang. Tapi suatu hari, aku pingsan pas syuting, literally kayak bencong habis nonton film horor. Yasmin ada di sana. Dia yang bawa aku ke tempat dia, terus... sejak itu dia jadi kayak... pengingat hidup.”

Aku noleh, menatap dia. “Dan kamu... nurut aja disuruh minum obat tiap hari sama dia?”

Dimitry nyengir. “Kamu pikir gampang nolak Yasmin ? Suara dia aja bisa nyilet hati netizen. Aku nurut bukan karena takut, tapi... ya... kadang butuh satu orang yang maksa kita hidup waras, walau kita keras kepala.”

Aku diem.

Rasanya... aneh. Baru kenal, tapi aku duduk di sini, di sebelah banci dasteran yang barusan kepleset, sambil minum susu almond dan ngobrolin trauma hidup.

“Aneh ya,” gumamku lirih. “Biasanya aku langsung kabur kalau ketemu yang... chaotic kayak kamu.”

“Chaotic, ya?” Dia ketawa pelan, tapi suaranya dalam. “Kamu juga gak kalah chaos, Sis. Lihat aja, baru sejam kita kenal, kamu udah ngurusin pinggang aku dan nemu lemari rahasia obat-obatan aku.”

Aku ikut ketawa.

Tapi detik berikutnya, aku di kagetkan dengan nada dering dari ponselku sendiri yang bunyinya 'Tatitut... Tatitut... Aku Butuh Tatih Tayang'

Dan nama Mbak Keke Langsung muncul di layar, bikin kepalaku rasanya kayak di 'tabok Palu'

"Ya ampun,, Mbak Keke?" Suaraku mencicit setengah panik.

"Kenapa Beb?" Tanya Dimitry datar, seperti keberatan karena obrolan kami terganggu. Padahal aku lagi panik, dan nggak punya waktu buat mikirin kenapa dia harus merasa terganggu.

"Benco,,, Egh,,, Dede maksudnya. Maaf ya,,, kayaknya aku harus pergi sekarang deh, ini mbak Keke sudah nelpon pasti nyariin aku. Dan aku kesini juga karena mau bahas kerjaan sama dia."

"Kamu sudah nggak papa kan kalau ku tinggal? Sudah enakkan kan? Apa perlu aku minta Mita datang kesini dulu?" Tanyaku meminta persetujuan setengah tak enak hati.

"Hum... I'm Ok, Sis. Kalau kamu mau pergi, ya pergi aja. Nggak perlu nggak enak gitulah sama aku. Santai aja, Ok?"

Balasannya memang terdengar biasa dan cukup masuk akal, tapi sekali lagi, aku seperti mendengar ada nada Tak rela dari suaranya barusan.

Bikin aku mikir, 'Ini Bencong satu sebenarnya lagi baik-baik aja nggak sih?'

'Takutnya nanti kalau di tinggal sendirian malah berbuat aneh-aneh. Rata-rata bencong kan emang suka aneh ya, tindakannya juga unpredictable.'

'Atau jangan-jangan dia memang lagi down banget ya, dan butuh banget temen buat ngobrol?'

Tapi,,,

"Plak!!"

Refleks ku tampar mukaku sendiri. Dasar aku, suka banget nge-judge duluan sama kaum bencong.

Dimitry langsung kaget. Tapi kagetnya malah lucu—dia remas dadanya sendiri kayak cewek sinetron yang habis ditinggal kawin.

"Kenapa, Sis? Kamu lagi overthinking ya? Jangan suka gitulah… kasihan kerutan di keningmu nanti nongol sebelum waktunya." Ucapnya sambil cemberut. Kali ini cemberutnya tulus, bukan sekadar gaya.

"Eh, enggak kok. Aku nggak lagi… mikir yang aneh-aneh kok." Jawabku gagap, auto ngeles.

Dimitry menatapku lama, lalu meringis tipis, jelas nggak percaya.

“Ya udah, kalau gitu silakan jalan. Takut Mbak Keke ngamuk kalau kamu nggak buru-buru ke sana.”

Aku mengangguk cepat, siap pergi. Tapi sebelum aku sempat melangkah keluar, suara Dimitry menyusul, tenang… sekaligus bikin bulu kudukku meremang.

“Santai aja, Sis… toh cepat atau lambat kita bakal ketemu lagi. Takdir suka iseng kayak gitu.”

'Deg!

Tubuhku mandeg sepersekian detik di depan pintu, tapi nggak berani noleh ke belakang.

Ada sesuatu di balik nada suaranya—entah doa, entah peringatan.

Aku nggak tahu.

Yang jelas, aku malah makin nggak tenang.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!