Bab 2 – “Rumah yang Tak Pernah Jadi Rumah”

Matahari baru saja naik dari ufuk timur, namun langit masih kelabu. Hujan semalam menyisakan embun di jendela dan aroma tanah basah yang menguar di halaman belakang vila mewah keluarga Hartawan.

Di dalam kamar utama, Vira duduk memeluk lutut di tepi ranjang. Malam tadi adalah malam pertamanya sebagai istri sah seorang Vito Hartawan. Namun bukan malam yang penuh kehangatan dan cinta seperti yang dibayangkannya, melainkan malam yang dingin dan membisu. Ia tidur membelakangi suaminya yang duduk di sofa, tertidur tanpa menyentuh ranjang.

Tak ada ucapan selamat malam. Tak ada kecupan dahi. Tak ada pelukan. Yang ada hanya jarak yang lebih terasa daripada tembok vila ini.

---

Pagi itu, Vira bangun lebih dulu. Ia mengganti bajunya dengan dress sederhana warna biru muda, lalu berjalan pelan ke dapur. Tak ada pembantu di rumah ini, hanya satu pengurus rumah tangga paruh waktu yang datang sore hari. Vira memutuskan memasak sarapan sendiri.

Ia menyiapkan roti panggang, telur mata sapi, dan segelas jus jeruk.

Ia tahu kesukaan Vito. Ia masih ingat saat SMA, pria itu selalu memesan menu yang sama di kantin sekolah: telur setengah matang, dan jus jeruk tanpa gula.

Saat Vito turun dengan pakaian kerja rapi, Vira berdiri kikuk di samping meja makan.

“Selamat pagi…” sapanya pelan.

Vito melirik meja. “Apa ini?”

“Sarapan. Aku… masak sendiri.”

Tanpa menjawab, Vito duduk dan mulai makan. Tidak mengucapkan terima kasih, tidak menatap Vira, bahkan tidak menunjukkan ketertarikan. Vira duduk perlahan di seberang meja, mencicipi sedikit roti. Diam.

---

Suara sendok dan garpu menjadi satu-satunya suara yang terdengar.

“Jika kamu ingin sesuatu, jangan sungkan bilang padaku, ya…” ucap Vira akhirnya, mencoba memecah keheningan.

“Aku hanya ingin kamu tidak terlalu ikut campur dalam hidupku.”

Perkataan itu seperti pisau tumpul yang menusuk lambat-lambat.

Vira menunduk. “Maaf…”

---

Hari-hari selanjutnya berjalan hampir serupa.

Vira bangun pagi, menyiapkan makan, membersihkan rumah. Sore hari ia menyulam atau membaca. Malam hari, ia tidur lebih dulu. Vito sering pulang larut malam, terkadang tanpa menyentuh makanan yang disiapkan. Beberapa kali ia bahkan tidak pulang.

Vira tidak bertanya. Ia tidak ingin membuat suaminya makin membenci dirinya.

Namun ia tetap mencoba. Setiap hari, ia berusaha mencintai dengan tenang. Menjaga perasaan. Ia menaruh bunga segar di ruang makan. Menyulam taplak meja. Memasak menu berbeda tiap minggu. Ia tetap menaruh harapan kecil dalam hati.

“Mungkin suatu hari, Vito akan melihat usahaku…”

---

Pada suatu sore, Vira keluar dari rumah dan pergi ke supermarket terdekat. Ia membeli beberapa bahan makanan dan kebetulan melihat seorang wanita muda cantik sedang memilih anggur merah. Wajahnya familiar.

“Oh… Sonia?” sapa Vira dengan ramah.

Sonia menoleh. Sejenak ia terlihat terkejut, tapi kemudian tersenyum manis.

“Vira! Wah, sudah lama sekali. Selamat ya, aku dengar kamu menikah dengan Vito Hartawan!”

Vira tersenyum kecil, mengangguk malu-malu. “Iya, terima kasih… kita jadi tidak sempat ketemu, ya.”

Sonia meraih tangan Vira dan menggenggamnya erat. “Kita harus ngopi bareng. Nostalgia zaman SMA. Aku senang banget lihat kamu.”

Vira mengangguk polos. “Tentu. Aku kangen ngobrol sama kamu.”

Yang tidak ia tahu, saat mereka berpelukan singkat, mata Sonia menatap ke arah lain dengan ekspresi dingin yang nyaris tak terlihat.

---

Di rumah, malam itu, Vira memasak makanan favorit Vito: nasi goreng sapi lada hitam. Ia menata meja dengan rapi, menyalakan lilin kecil di tengah meja. Ia bahkan menyemprotkan sedikit parfum mawar kesukaannya ke rambut.

Ia menunggu.

Jam 7. Tak pulang.

Jam 9. Belum ada kabar.

Jam 11 lewat… baru suara pintu depan terdengar.

Vito masuk dalam keadaan sedikit mabuk, masih mengenakan jas kerja. Ia melirik Vira yang berdiri di dekat meja makan.

“Kamu nungguin aku makan?”

“Iya… aku masak spesial. Mau cicip—”

“Aku sudah makan di luar. Jangan ganggu aku.”

Vira diam. Ia melihat makanan yang masih hangat itu perlahan kehilangan uapnya.

Hatinya menghangatkan air mata, tapi ia memilih menyimpannya sendiri.

“Baik… selamat istirahat.”

---

Vira berjalan ke kamar tidur. Tapi malam itu ia tidak bisa tidur. Ia berdiri lama di balkon, memandangi langit kota yang kosong. Tangan kirinya mengelus perut, walau belum ada kehidupan di sana.

“Apa aku terlalu berharap? Atau aku memang tidak pantas dicintai…”

---

Beberapa minggu kemudian, keluarga Hartawan mengadakan makan malam keluarga untuk menghormati pernikahan mereka. Keluarga besar Vito datang—beberapa dari luar kota. Sepupu-sepupu, bibi, bahkan nenek dari pihak ibunya.

Vira berdandan rapi. Ia memakai kebaya pastel lembut dengan rambut disanggul manis. Ia berdiri di sisi Vito sepanjang acara.

Di depan semua orang, Vito bersikap manis. Merangkul pundaknya, memanggil “Sayang” dengan senyum tipis, menyuapinya kecil saat makan malam.

Semua orang memuji mereka. “Pasangan yang serasi!” “Vira cantik dan sopan sekali.” “Vito beruntung mendapatkan istri seperti dia.”

Tapi semua itu hanyalah sandiwara.

Begitu pintu kamar tertutup dan lampu mati, Vito kembali menjadi asing. Ia tak bicara sepatah kata pun. Ia bahkan tidur di sofa dengan posisi membelakangi.

Vira menangis malam itu. Tapi seperti biasa… tanpa suara.

---

Suatu pagi, Vira melihat Vito meninggalkan rumah lebih awal dari biasanya. Ia curiga dan diam-diam mengikuti dengan taksi sewaan.

Ia melihat Vito bertemu dengan seorang wanita… dan wanita itu adalah Sonia.

Mereka duduk di kafe, tertawa-tawa, berbagi makanan, dan—yang paling menyakitkan—Sonia mencium pipi Vito dengan mesra saat mereka berpisah.

Vira berdiri kaku di balik dinding kaca kafe, tak sanggup bergerak. Tubuhnya gemetar, dan untuk pertama kalinya, hatinya terasa benar-benar… patah.

---

Malam itu, Vira tidak menyambut Vito dengan makanan atau senyum. Ia hanya diam, duduk di ruang tamu dengan wajah lelah.

Vito menatapnya datar. “Kenapa menatapku seperti itu?”

Vira ingin bertanya. Ingin memaki. Tapi ia tahu semua itu tidak akan mengubah apa pun.

“Aku cuma ingin tahu…” ucapnya pelan, “apa kamu pernah benar-benar ingin menikah denganku?”

Vito terdiam sejenak. Lalu tersenyum miring.

“Tidak. Tapi kamu sudah jadi istriku. Jadi diam dan jalani saja peranmu.”

Vira mengangguk pelan.

“Baik. Aku akan jalani. Tapi suatu hari… kamu akan menyesal telah menyia-nyiakan hatiku.”

bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!