LOVE STORY FROM ROAD
Alarm berbunyi setiap pagi membangunkan Raisa yang masih tertidur pulas, seakan lantunan pengantar tidur baginya.
" Kring...Kring"
Kebisingan itu membuat ayahnya kesal dan mengetuk pintu berkali-kali. Keringat mengalir di pipinya, celemek nya berwarna pink masih menggantung di tubuhnya, tangannya menggenggam alat penggorengan hingga minyak menetes di lantai.
" Raisa..a..a,"
Ketukan semakin keras hingga Raisa terpaksa menyaut dengan rambut berantakan, matanya masih terpejam, menunduk terdiam menahan kantuk.
" Iya.."
" Cepat bangun, nanti terlambat. Ayah udah nyiapin sarapan nih."
Ayahnya kembali ke dapur, tergesa-gesa mengingat sesuatu. Mematikan kompor dan asap mengepul di udara, telur ceplok yang ia masak berubah menjadi hitam. Hanya tersisa nasi goreng yang kering kerontang karena terlalu lama dimasaknya, wajahnya menoleh sepiring nasi. Wajahnya tersenyum mengusap keringat di dahinya.
" Astaga, baju..."
Kepanikan mulai terjadi sementara Raisa tetap belum terbangun dari tidurnya. Ayahnya berlari menuju kamar belakang dan mendapati seragam sekolah yang sedang ia setrika, mengangkat terburu-buru dan seragam itu sudah tak terselamatkan. Entah berapa baju yang berlubang akibat ulah ayahnya.
Helaan napas terasa berat, wajahnya pasrah menunduk tak berdaya. Ayahnya bekerja keras melakukan semuanya, tapi Raisa tidak pernah protes, bahkan membalasnya dengan senyuman seperti sudah terbiasa.
Teriakan tiba-tiba terdengar memecah keheningan di balik kamar Raisa, wajahnya terkejut terperanjat seakan ada sesuatu bahaya yang terjadi pada ayahnya. Raisa bergegas terbangun menyingkirkan selimutnya yang berkali-kali tersangkut di kaki, matanya setengah terbuka dan rambutnya masih mengembang. Meraih sepasang sandal kelinci yang sulit untuk digapai.
Ia membuka pintu terburu-buru menghiraukan bercak minyak di lantai yang berceceran tepat di depan pintu. Suara tubuh terjatuh bersaut dengan teriakan. Raisa terpelanting dengan posisi telentang menghadap langit dinding.
"Aaa...pinggangku sepertinya remuk nih," Raisa masih dengan posisi yang sama, meringis kesakitan dan menghela napas berat.
"Aah..posisi kayak gini, kok mirip ikan goreng yang lagi lepas dari panci penggorengan. Miris banget nih hidup.." Raisa terdiam sebentar seakan kejadian ini sering ia alami.
Raisa mengusap pinggangnya dan mencium aroma minyak goreng yang menempel di tangannya. Mendengar teriakan itu, Ayahnya bergegas menemui sumber suara. Matanya membelalak terkejut saat ia melihat putrinya terduduk merintih kesakitan.
" Kamu kenapa sayang?" Ayahnya menjulurkan tangan sambil memegang seragam yang berlubang.
"Kenapa banyak minyak di lantai ayah? Kenapa ayah tadi berteriak?" cecarnya pelan.
"Ayah tidak papa kan? Aku sangat terkejut yah, terus jatuh mana posisi nya kayak gini lagi," ujarnya khawatir.
"Aduh pinggangku sakit banget yah, Harus ke nyi iroh deh buat diurut."
Raisa memegang pinggangnya, menggeleng pelan seperti terbiasa dengan suasana ini. Menoleh ke seragam sekolah yang dipegang ayahnya. Raisa tidak terkejut melihat hal itu, hanya menghela napas panjang berusaha melepaskan kekesalannya. Memandang sang ayah dengan penuh kasih sayang, menarik seragamnya dan membuang ke keranjang yang berisi tumpukan baju berlubang lainnya.
"Ayah, hari ini adalah hari minggu. Kenapa ayah menyuruhku bangun pagi dan menyiapkan seragam ku?" Raisa memandang dengan raut wajah sedih.
"Ayah lupa hari lagi? Istirahatlah! Aku akan membereskan semuanya,"
Raisa mengambil pel membersihkan bercak minyak yang berceceran, wajahnya mengartikan bahwa kejadian ini seperti Dejavu. Rambutnya masih berantakan. Ayahnya terdiam menatap sedih penuh kegagalan, semangatnya luruh begitu saja, menunduk lesu dan bernapas panjang. Melepas celemek nya dan menaruhnya di meja dapur.
" Maafkan ayah Raisa, ayah nggak bermaksud untuk..."
Kalimatnya terhenti seakan menahan tangis yang tak terbendung, matanya berair, tenggorokannya terasa sakit, memalingkan wajah terduduk di sofa. Memainkan kuku tangan dan menggigitnya.
Sosok ayah yang dulunya kuat, bahkan seratus orang pun bisa ia tumbangkan dengan hanya satu pukulan. Sorot matanya tajam seperti ancaman yang membuat orang lain tidak berani bertatap mata dengannya. Karena suatu kejadian, mengharuskannya pensiun dari dunia taekwondo, meninggalkan impian yang ia banggakan. Memilih mengurus rumah tangga sendiri, menurunkan harga dirinya hanya karena penyesalan yang takut terulang kembali.
Luka yang ia rasakan bertahun-tahun, berusaha ia sembuhkan sendiri. Namun tetap saja ada bekas yang masih menempel di ingatan masa lalu yang penuh kepedihan, menyayat hatinya hingga melupakan hal-hal yang kecil sekalipun.
Sejak hilangnya adikku 10 tahun yang lalu, masih berbekas dihatinya. Kenangan indah saat bersama, penyesalan yang tak berujung membawa trauma yang mendalam. Bukan bagi ayahnya saja tapi Raisa pun merasakan hal itu, namun ia harus berusaha tegar menutupi lukanya demi menyembuhkan luka sang ayah. Ditambah lagi, sang ibu yang jarang sekali pulang karena pekerjaannya. Semua menanggung luka sendiri, berusaha tegar walau terasa berat.
"Ayah jangan bicara seperti itu, tidak papa yah," ujarnya pelan.
"Ayah udah baikan?" Raisa mengusap pundak ayahnya mencoba menenangkan, memandangnya penuh kehangatan, bersandar di bahunya seraya berkata bahwa ini baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Ayahnya mencium kepala Raisa, namun bukannya haru tapi ledekan sang ayah yang mencium bau rambut Raisa, menandakan dia sudah lebih baik.
" Mandi sana! Rambutmu bau gosong tuh,"
Ayahnya mengacak-acak rambut Raisa, senyuman terpancar di wajahnya nanum tipis. Raisa merengek dengan manja beranjak pergi untuk mandi.
Di kamar, Raisa menutup pintu dengan pelan bersandar di balik pintu, menyeka air mata yang mengalir di pipinya, menghela napas panjang hanya untuk menenangkan hati yang mulai goyah.
" Syukurlah,"
Beberapa jam kemudian,
Raisa sudah siap dengan jaket kulitnya, menenteng sepasang sepatu hitam berjalan keluar kamar. Ayahnya terduduk menunggunya di meja sarapan dengan raut muka yang penuh pertanyaan sambil melihat Raisa dari ujung kaki sampai ujung rambut.
"Ayah udah siapin sarapan yang spesial,"
"Ini dia...nasi goreng ala chef Juna,"
Menunjuk bangga ke sebuah piring putih yang penuh dengan nasi berwarna coklat kehitaman. Raisa terharu, menarik kursi dan segera mencicipi masakan ayahnya. Walau dia tahu bahwa dari penampilan nya saja kurang meyakinkan, tapi tak ingin membuat ayahnya kecewa.
"Baunya sih sepertinya enak,"
Wajah Raisa berubah saat mencium bau masakan sang ayah, tangannya ragu untuk menarik sendok, Raisa menahan ludahnya, matanya terpejam saat sesendok nasi bersarang di mulutnya.
Rasa asin meledak seketika seperti bom waktu dan menempel di lidah, batinnya ingin menjerit. Tapi melihat ayah yang menatap dengan penuh harap, membuat Raisa untuk bertahan.Ia mencari air minum yang belum tersedia sambil menunjukkan jari jempol ke ayahnya, menandakan masakannya terasa enak. Ia meminum air dari tekonya karena tak kuat menahan rasa yang semakin masuk ke tenggorokan.
Raisa harus berbohong karena tak ingin menyakiti perasaan ayahnya. Setiap hari dia dihidangkan dengan makanan yang berbagai rasa yang aneh. Dari terlalu asin, manis, pedas, atau pun pahit pernah ia rasakan.
Raisa berbicara pelan mendorong makanannya menjauh dari hadapan, memandang dengan rasa takut.
"Ayah yang baik hati dan tidak sombong, bolehkah aku pergi keluar?"
"Kemana? Sama siapa? Ini kan hari minggu."
Raisa menggaruk kepalanya " Aku hanya pergi ke rumah Bobby, naik angkot yah. Aman."
"Bener?" Tatapan tajam mengarah ke Raisa hingga ia menelan ludahnya.
"Iya, boleh kan yah, please ,"
Tangannya memohon, senyumnya lebar dan kedipan mata manja menjadi peluru keberhasilannya.
"Baiklah,"
"Tapi jangan pulang lebih dari jam 7 malam, dan..."
"Siap komandan," celanya.
"Jangan keluyuran kemana-mana! Dan..."
"Siap komandan," Raisa mengangkat tangannya seraya memberikan hormat.
"Dan habisin nasi gorengnya! Katanya enak?"
Raisa menoleh ke piring, dan segera berlari menuju pintu keluar sambil melambaikan tangan mengucap perpisahan. Ayahnya berdiri dan memanggilnya namun, tak di gubris.
Ayahnya heran mengapa nasi goreng buatannya tidak dihabiskan. Ia menarik sepiring nasi dan mencoba untuk menyicipi makanannya. Semburan nasi dimana-mana, lidahnya menjulur keasinan, mencari segelas air yang habis diminum Raisa seteko. Ayah raisa berlari ke dapur.
Di ujung gang, dua orang pria sedang menunggu.
" Mana helm nya?"
" Ini bos,"
Bersambung...
Siapa yang dipanggil bos ya?
Raisa mau kemana di hari Minggu?
Cerita ini dibuat sendiri oleh saya, minta suport dan kritik sarannya ya agar saya bisa terus belajar dan berkembang. Terimakasih. Kawal terus kelanjutannya ya...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
sjulerjn29
Halo semuanya aku author baru, minya suport dan dukungannya ya. Maaf jika masih banyak tulisan yang salah, saya masih pemula dan banyak belajar. terimakasih.
2025-07-02
3
@dadan_kusuma89
Lebih enak ala Robert davis chaniago Ayah....daripada chef juna keasinan paling
2025-07-24
1
☕︎⃝❥⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘƳ𝐀Ў𝔞 ℘ℯ𝓃𝓪 🩷
Salah masukin bumbu kali nih, dikira gambar ternyata gula /Joyful/
2025-09-08
1