Happy reading
DARIEL UNTUK DIRA, DIRA UNTUK DARIEL. SELAMANYA ♥️
Dariel menulis kata-kata itu di dinding kelas.
Tepatnya, di pojok ruang. Persis, di belakang tempat duduknya.
Ia menulisnya dengan sepenuh hati, diiringi senyum merekah.
"Dariel." Terdengar suara khas yang sukses mengalihkan atensi dan membuatnya refleks menoleh, mencari sosok pemilik suara khas itu.
Siapa lagi jika bukan Nadhira Farzana. Sahabat sekaligus gadis yang telah membuatnya jatuh hati.
"Dira --" Dariel berucap lirih dan segera menyembunyikan tangannya yang masih memegang pena di saku celana.
"Kamu lagi ngapain, Riel?"
Dira berjalan mendekat. Pandangan netranya tak lepas dari wajah Dariel yang terlihat sedikit pias.
"Eng aku --"
Dariel bingung harus menjawab apa.
Ia malu, sekaligus takut untuk mengaku.
"Riel, itu tulisan siapa?"
Ya Tuhan
Dariel tak bisa berkata-kata.
Ia tidak menyangka pandangan netra Dira yang semula tertuju padanya, tiba-tiba beralih pada dinding yang tergores tulisan tangannya.
"Riel?"
"Eng, i-itu tulisan tanganku, Ra." Dariel mengaku. Ia pasrah jika Dira marah.
Namun di luar dugaan, Dira malah terkikik geli.
"Ya Allah, so sweet banget."
Dariel melongo. Ia tidak percaya dengan respon yang ditunjukkan oleh Dira.
Dira memang berbeda dengan teman sekelasnya yang lain.
Dia gadis ceria, baik hati, tidak mudah marah, tidak juga pendendam, dan merangkul semua teman--tanpa memedulikan perbedaan, tak terkecuali iman yang diyakini.
Itulah alasan yang membuat Dariel jatuh hati dan tidak mudah berpaling pada gadis lain.
Dira bukan hanya permata. Namun, malaikat tak bersayap dan cahaya yang menerangi perjalanan hidup.
Andai Dira tidak hadir sebagai murid baru di SMA Nusa Bangsa, mungkin Dariel akan terus dibully oleh teman-teman sekelasnya karena memiliki keyakinan yang berbeda.
Mereka memang sekedar bercanda. Tapi candaan mereka tidak lucu. Membuat Dariel seperti orang asing dan merasa sendiri.
Namun semenjak Dira hadir, semua itu berubah. Pemikiran negatif tentang iman yang diyakini oleh teman-teman sekelasnya seketika hilang dan malah membuatnya penasaran untuk mengenal.
"Ka-mu nggak marah, Ra?" Dariel bertanya pada Dira.
"Pfttt, ngapain marah? Kita 'kan sahabat. Dariel untuk Dira, Dira untuk Dariel. Tapi emot love nya dihapus, Riel. Diganti gambar dua jemari tangan yang saling berjabat. Atau ... saling merangkul."
"Ra, aku --"
"Riel, kamu ingat janji kita 'kan?"
Pertanyaan yang terucap dari bibir Dira, mengingatkan Dariel pada janji yang pernah mereka kumandangkan dan memaksanya untuk tersadar dari lamun.
'Sahabat selamanya. Saling menyayangi dan menjaga. Nggak boleh saling cinta, apalagi jadian.'
Lebih dari sepuluh tahun janji itu terikrar. Namun masih melekat dalam ingatan.
"Ra, maaf. Aku nggak bisa memegang janji kita dan selalu berharap bisa memilikimu utuh." Dariel bermonolog lirih dan mengusap foto Dira yang terbingkai kaca.
Cantik dan berkharisma.
Diraupnya udara dalam-dalam, lalu dihembuskan perlahan. Mengusir rasa nyeri yang terasa di ulu hati.
Ia sadar, teramat mustahil untuk mengubah status hubungan mereka. Dari sahabat menjadi kekasih.
Apalagi untuk memiliki utuh.
Tembok yang menghalangi mereka berdua terlalu tinggi.
Jika ingin bersatu, harus ada yang mau berkorban untuk meruntuhkan penghalang.
Tentu saja dengan menanggalkan iman yang diyakini.
Itu serasa tidak mungkin, kecuali Sang Penulis Skenario Kehidupan menghendaki.
Di tempat yang berbeda, Dira terlihat melamun sambil menatap foto Aldi yang terpajang di atas meja.
Getar cinta yang dulu terasa hebat, kini melemah. Terkalahkan oleh rasa kecewa dan ragu karena perlakuan Aldi yang sering terlupa memberinya perhatian. Terlebih, jika mengingat ucapannya mengenai kesucian.
Ya, Aldi menuntut kesucian.
Sayang kesucian yang dijaga, kini telah terenggut dan tidak bisa dipersembahkan di malam pertama.
Dira yakin, Aldi tak akan sudi menerima dirinya yang sudah tidak lagi pera-wan.
"Aku harus segera mengakhiri hubungan kita, Al," monolognya lirih disertai raut wajah yang terbingkai sendu dan diikuti helaan nafas dalam.
"Ra, Ayah dan Bunda boleh masuk?"
Dira terhenyak kala mendengar suara sang bunda.
Atensi yang semula terkunci pada foto Aldi, beralih pada pintu kamar yang sedikit terbuka.
"Iya, Bun. Masuk saja," sahutnya.
Nisa dan Firman lantas masuk ke dalam kamar. Mereka berjalan beriringan, menghampiri Dira yang tengah duduk bersila di atas ranjang dengan memeluk guling Pooh kesayangan.
"Simbok bilang, putri kesayangan Ayah dan Bunda sedang sakit. Dari tadi cuma rebahan di dalam kamar dan tidak mau turun untuk makan siang." Nisa membuka obrolan dan mendaratkan bobot tubuhnya di tepi ranjang, tepat di sisi Dira.
Sementara Firman, lebih memilih duduk di sofa yang berada di pojok ruang dan menghadap ke arah ranjang.
"Ra, sebenarnya kamu sakit apa hmm?" Nisa kembali bersuara dan menatap wajah Dira yang terlihat sedikit pucat.
"Dira cuma nggak enak badan, Bun. Semalam kehujanan."
"Sudah minum obat?"
"Sudah."
"Ternyata, Bu Dokter juga bisa sakit ya?" canda Firman, menyela obrolan Nisa dan Dira.
"Dokter 'kan cuma manusia biasa, Yah. Bisa sakit, bisa juga terluka. Butuh obat dan butuh kasih sayang." Ucapan Dira menggelitik telinga, sehingga membuat Firman dan Nisa tak kuasa menahan tawa.
"Hah, iya juga ya. Bu Dokter memang benar." Firman menyahut--membenarkan selorohan Dira.
"Semalam, kamu berada di mana, Ra? Aldi bilang, dia tidak jadi menemui kamu di Sunshine Cafe."
Dira terdiam. Ia ragu untuk menjawab pertanyaan yang terlontar dari bibir sang ayah.
Haruskah berkata jujur pada ayah dan bundanya? Mengaku jika semalam ia dan Dariel menginap di Omah Kenangan.
Melakukan khilaf terlarang dan dosa terbesar yang mungkin akan membuat kedua orang tuanya itu murka.
"Ra --"
🌹🌹🌹
Bersambung
Hai, Kakak terlove
Semangati author dengan meninggalkan jejak like 👍🏻
Subscribe ❤️
Beri komentar ✍🏻
Jangan lupa vote & 🌹
Terima kasih 🙏🏻
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Najwa Aini
ooh jadi Dira itu seorang dokter ya..
wawww
2025-07-12
1