Cemburu

Dalam perjalanan menuju rumah Alfin, aku tidak henti-hentinya memikirkan kak Dimas apa lagi sampai pagi ini, kak Dimas belum menghubungi aku lagi, ponselnya juga masih tidak aktif.

Banyak pertanyaan yang berputar diotakku. Jika ada yang bertanya bagaimana perasaanku saat ini, jawabannya adalah kacau dan entah mengapa tiba-tiba saja air mataku menetes dan membasahi pipiku namun sama sekali tidak aku sadari hingga suara Alfin membuyarkan lamunanku.

"Cinta, lo nangis?" tanya Alfin.

"Eeeh, siapa yang nangis?" bukannya menjawab aku justru membalikkan pertanyaan pada Alfin.

"Itu pipi lo basah. Lo kenapa nangis? Gue gak ngapa-ngapain lo, ya!" ucapnya yang masih merasa bingung karena melihatku menangis tanpa sebab.

"Sorry, kelilipan doang." jawabku dengan suara bergetar.

"Gue udah hafal kali sama tingkah cewek. Lo nangis kenapa coba? Apa lo takut pulang? Lo takut mama lo marahin lo?" Alfin mencecarku dengan beberapa pertanyaan.

"Lo tuh ya, bawel banget tau gak! Baru tau gue lo ternyata cowok yang bawel. Kalo gue bilang gue baik-baik aja ya berarti baik-baik aja. Gue udah bilang cuma kelilipan doang!" ucapku ketus.

"Lo pikir gue bego gak bisa bedain mana kelilipan dan nangis? Mending lo jujur deh, ada apaan?" tanya Alfin seolah dia peduli pada kesedihan yang tengah aku rasakan saat ini.

"Lo peduli sama gue?" tanyaku sambil memicingkan mata pada Alfin.

"Huh, gue peduli sama lo? Gak lah! Gue cuma gak mau entar orang ngiranya lo nangis gara-gara gue. Padahal gue gak ngapa-ngapain lo." jawabnya dengan terbata diawal. Alasan yang masih masuk akal menurutku namun, melihat ekspresi wajahnya yang seperti salah tingkah, aku merasa gemas dan geli dibuatnya. Ingin sekali aku menertawai tingkahnya saat ini.

"Lo kenapa senyum-senyum gitu lihatin gue? Terpesona lo sama kegantengan gue?" tanyanya yang kini sukses membuatku juga salah tingkah seperti maling yang tertangkap basah.

"Gu-gue. Ck, iih lo tuh ya, gue nangis salah, gue senyum salah! Terus lo mau gue gimana?" tanyaku dengan nada ketus untuk menutupi kegugupanku. Ya! Saat ini aku benar-benar gugup. Aku tidak tau apa yang terjadi padaku saat ini, yang jelas kekacauan hatiku karena kak Dimas tadi sejenak terlupakan karena ocehan-ocehan Alfin.

"Ya gue takut aja lo senyum-senyum gitu karena gila. Kalo senyum karena terpesona sama gue sih gak masalah ya, masih wajar!" ucapnya santai membuatku langsung memberikan tatapan tajam padanya.

"Mending gue gila dari pada harus terpesona sama buaya darat kayak lo!" ucapku sambil memalingkan wajah.

"Ck, awas entar lo tergila-gila sama gue, dan mohon-mohon untuk jadi pacar gue." ucapnya sambil tertawa.

"Najis, kepedean banget sih lo! Perlu lo tau, gue udah punya pacar jadi gak mungkin gue tergila-gila sama lo apa lagi sampek harus ngemis cinta sama lo seperti cewek-cewek bodoh lo itu." ucapku dan membuatku kembali teringat akan kak Dimas.

"Dan gue pastiin suatu saat lo yang akan jadi cewek bodoh itu." ucap Alfin dengan masih tetap fokus pada jalanan.

"Coba aja kalo lo bisa!" seruku.

"Lo nantangin gue?" tanya Alfin aku hanya mengerdikkan bahuku.

"Gak juga. Tapi kalo lo merasa tertantang, ya itu masalah lo!" jawabku.

"Kalo gue bisa buat lo jatuh cinta sama gue, lo harus jadi milik gue dan tinggalin pacar lo! Tapi kalo gue gak bisa buat lo jatuh cinta sama gue, gue akan jadi sahabat lo dan akan lindungin lo dari cowok brengsek manapun yang berani gangguin lo. Gimana?" ucapnya dengan nada serius.

"Lo gila!" ucapku.

"Gue gak gila. Gue cuma merespon tantangan lo. Gue akan berjuang untuk tiga bulan ke depan. Deal?" ucapnya tegas sambil mengulurkan tangannya.

"Gak." ucapku ketus sambil menepis tangan Alfin.

"Fokus nyetir aja sih! Entar nabrak lagi." lanjutku.

Alfin tak membalas ucapanku, aku yang penasaran kenapa dia tak membalas ucapanku menoleh dan menatap wajahnya yang kini seperti tak bersemangat.

Karena tak ingin membuat moodnya semakin buruk dan berakhir dengan perdebatan, aku memilih untuk diam sampai akhirnya kini mobil Alfin sudah terparkir di halaman rumah mewah yang bisa ku tebak rumah itu adalah milik keluarganya.

Dengan tetap membisu, dia turun lalu kemudian membukakan pintu untukku.

"Al-..."

"Ayo masuk, papa pasti udah nungguin lo." ucapnya dan langsung masuk ke rumahnya tanpa menungguku.

"Bi, tolong panggilin papa, bilang kalau Cinta sudah datang! Terus buatin minum buat dia." ucap Alfin memerintah seorang art nya.

"Siap den." Ucap art tersebut dan langsung melaksanakan apa yang Alfin perintahkan.

Tidak begitu lama aku menunggu di ruang tamu, om Danu pun menghampiriku, "Cinta, kamu sudah lama?"

"Eh om, gak kok om, Cinta baru aja datang sama Alfin." ucapku sambil menyalimi om Danu.

"Kamu sama Alfin semalem?" tanya om Danu, membuatku bingung harus menjawab apa karena aku takut jika om Danu akan berpikir yang tidak-tidak tentangku.

"I-iya om. Ta-tapi kita..."

"Kita gak ngapa-ngapain pa. Kemarin ada masalah dikit, dan Cinta gak berani pulang. Dari pada Alfin bawa Cinta ke hotel dan jadi skandal, jadi Alfin bawa Cinta ke apartemen. Tapi kita gak sekamar kok. Alfin tidur di ruang tamu, dan Cinta di kamar." ucap Alfin menjelaskan tentang aku yang bisa bersamanya semalaman.

"Baguslah, karena kalau sampai kamu ngapa-ngapain Cinta, papa akan nikahin kalian sekarang juga." ucap om Danu sambil tertawa tapi tidak denganku yang semakin canggung dan salah tingkah dibuatnya.

"Kalau Alfin sih oke-oke aja mau dinikahin sama Cinta. Tapi Cinta udah punya pacar, pa." ucapnya dengan nada lesu.

"Kalaupun Cinta belum punya pacar, mana mau Cinta sama cowok nakal seperti kamu, Al. Iya kan, Cinta?" tanya om Danu dan aku hanya tersenyum. Jujur saja aku bingung bagaimana harus menanggapi celotehan anak dan ayah ini.

"Udah ah, pa jangan digodain mulu, nanti dia marah sama Alfin. Dia kalau marah lebih nyeremin dari singa." ucap Alfin dan aku hanya mendelikkan mataku padanya. Ingin sekali aku mengumpat pada laki-laki playboy ini, tapi karena adanya om Danu, tidak mungkin untukku berkata kasar pada Alfin.

"Maaf Cinta, om dan Alfin memang seperti ini. Kami di sini hanya berdua di temani dua art, satu satpam dan satu supir, jadi maklum lah kalau begitu ada perempuan cantik, kami akan langsung menggodanya." ucap om Danu jujur dan jelas terlihat kesedihan di matanya walau bibir om Danu tertawa lepas.

"Iya om, gak papa kok. Oh iya om, kira-kira kerjaan apa ya yang mau om kasih untuk Cinta?" tanya ku.

"Oh iya, masalah kerjaan ya, gini Cinta, om mau kamu jadi asistennya Alfin." Ucap om Danu.

"Asisten untuk aku?" tanya Alfin bingung, yang juga mewakili pertanyaanku.

"Iya, papa mau kamu bantu papa ngurus hotel baru kita." jawab om Danu.

"Kita masih kuliah, pa." Ucap Alfin.

"Papa tau. Kalian bisa kerja paruh waktu." balas om Danu.

"Terserah kalian mau atau tidak." lanjut om Danu.

Sejenak aku berpikir tentang tawaran om Danu dan mengingat hutang-hutangku pada papa dan jalangnya itu, akupun. menyetujui tawaran dari om Danu. Toh om Danu juga berjanji tidak akan membatasi ku untuk tetap berkuliah.

"Lo yakin?" tanya Alfin memastikan.

"Gue yakin. Seenggaknya dengan ini, gue bisa bantu mama." ucapku dengan penuh keyakinan.

"Ya udah, kalo Cinta mau, Alfin juga setuju untuk mulai bantu papa ngurus bisnis papa." Ucap Alfin membuat om Danu tersenyum bahagia.

DIMAS POV

Aku begitu senang mendengar suara Cinta diseberang telfon, namun aku juga takut kehilangan Cinta jika dia tau tentang apa yang aku lakukan pada Karin. Suara ku mulai bergemetar, aku tidak tau apa yang harus aku katakan padanya. Pikiranku mulai tenang, namun tidak dengan hatiku yang semakin bergemuruh saat tiba-tiba saja mendengar suara Karin.

"Kak." ucap Karin yang baru saja terbangun.

"Siapa itu kak?" tanya Cinta saat mendengar suara Karin memanggilku.

Aku sangat gugup mendengar pertanyaan Cinta, bahkan untuk menjawabnya saja sepertinya aku sudah tidak memiliki keberanian. Namun, untuk tidak membuatnya semakin mencurigai keberadaan Karin yang sedang bersamaku, aku mengumpulkan keberanian untuk menjawab pertanyaan Cinta dan menjelaskan sebisaku walaupun harus ada yang aku tutupi lalu kemudian dengan cepat aku memutus panggilanku pada Cinta.

Aku sadar betul sikapku ini akan sangat menyakiti Cinta, bahkan bisa saja akan membuatnya semakin mencurigaiku. Tapi saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk memikirkan itu. Bukan karena Cinta tidak penting, tapi urusanku dengan Karin saat ini justru lebih penting demi hubunganku dengan Cinta kedepannya.

"Kak, habis telfonan sama siapa?" tanya Karin.

"Cinta." jawabku dengan nada datar.

"Karin, kita harus bicara sekarang juga!" seruku pada Karin.

"Ada apa kak?" tanya Karin.

"Kamu jujur sama aku! Apa yang kamu campurin ke dalam minuman atau makanan aku?" tanyaku dengan penuh penegasan.

"Maksud kakak apa?" tanya Karin entah itu pura-pura tidak tahu atau memang sengaja berbohong agar aku tidak marah padanya.

"Jangan pura-pura lagi, Rin! Kita ngelakuin itu karena aku dalam pengaruh obat." ucapku yang masih dengan penuh ketegasan pada Karin.

"Kita ngelakuin itu karena suka sama suka, kak!" ucap Karin.

"Kamu pikir aku bodoh? Kamu pikir bedain mana hasrat yang timbul karena cinta dan obat?" ucapku yang mulai meninggikan suaraku.

"Mulai sekarang aku minta tolong jauhi aku dan lupain semua yg terjadi malam ini. Aku minta maaf, mungkin ucapanku terlalu kejam tapi, aku juga tidak bisa memberikan apa yang kamu inginkan dariku. Malam ini adalah sebuah kesalahan, maka dari itu, aku minta maaf. Tolong lupakan semuanya. Kamu pasti akan mendapatkan yang lebih baik dari ku." lanjutku sambil menutupi tubuh polos Karin dengan selimut.

Plak...

Satu tamparan Karin layangkan pada pipiku. Namun aku tidak marah, aku berhak mendapatkannya atas apa yg sudah aku lakukan pada Karin asal setelah ini Karin tidak lagi mengganggu hidupku dan juga hubunganku dengan Cinta.

"Gampang banget ya kakak bilang seperti itu setelah kakak dapatkan hal yang paling berharga dari aku! Gak, kakak harus tanggung jawab!" ucapnya dengan berlinang air mata yang kini sudah membasahi pipinya.

"Maaf Karin! Aku tidak bisa. Aku tidaj mencintai kamu. Dan aku juga tidak akan melakukan itu jika kamu tidak mencampurkan apapun pada makanan atau minuman ku." ucapku.

"Besok aku akan mengundurkan diri dari perusahaan papamu. Dan setelah itu aku mohon jangan mengganggu ku lagi. Kamu pasti akan mendapatkan laki-laki yang benar-benar mencintaimu. Tapi, maaf orang itu bukab aku. Aku permisi dulu." lanjutku yang kemudian berlalu pergi dari kamar hotel terkutuk itu, membiarkan Karin seorang diri di dalam sana.

Keesokan harinya sesuai ucapanku pada Karin semalam, aku benar-benar mengundurkan diri dari perusahaan tersebut dan memutuskan untuk kembali ke Jakarta dan mencari pekerjaan di Jakarta agar aku bisa lebih dekat dengan Cinta dan tidak ada lagi yang menggangguku.

Awalnya surat resignku baru bisa berlaku setelah satu bulan kemudian, namun dengan berbagai alasan, akhirnya aku bisa keluar dari perusahaan tepat hari itu juga. Dan hari itu juga aku langsung kembali ke Jakarta dan menemui Cinta di rumahnya.

"Loh nak Dimas, lagi liburan ya?" tanya mama Cinta yang memang telah mengenalku bahkan sebelum aku berpacaran dengan Cinta.

"Oh enggak, tan. Dimas mau pindah kerja di Jakarta aja biar lebih dekat dengan Cinta." jawabku sambil tertawa.

"Oh iya, tan, Cinta dimana?" tanyaku yang memang tidak melihat Cinta berada di rumah.

"Cinta semalem nginap di rumah temennya. Sebentar lagi Cin-..."

"Ma, Cinta pul-.... Loh kak Dimas? Kak Dimas kok sudah ada di sini? Bukannya kak Dimas bilang pulang weekend ini?" tanya Cinta yang baru saja pulang. Namun ada pemandangan yang membuatku tidak tenang, Cinta pulang dengan seorang laki-laki.

"Oh iya, aku lupa mau kasih tau kamu, aku mau pindah cari kerja di sini aja biar bisa lebih dekat sama kamu. LDR terus gak enak juga." Ucapku.

"Syukur deh kalau kak Dimas pindah ke Jakarta lagi. Oh ya, kak kenalin ini Alfin, temen kampus sekaligus calon bos aku. Dan Alfin, kenalin dia kak Dimas, pacar gue." ucap Cinta seraya mengenalkanku pada laki-laki itu.

♥️♥️♥️

ALFIN POV

Setelah papa menjelaskan pekerjaan apa yang harus aku dan Cinta kerjakan, papa mengajak kami ke hotel untuk sekedar mengecek kondisi hotel dan kinerja karyawan agar memudahkan tugas kami nantinya serta agar kami tau apa yang bisa kami lakukan nantinya.

Kami berkeliling hotel dan melihat ruang kerja yang sudah papa siapkan untukku dan juga Cinta nanti hingga masuk waktu makan siang.

Selesai makan siang, aku mengantar Cinta ke kampus terlebih dulu karena Aldo sedang membutuhkan bantuan Cinta. Setelah itu, baru aku mengantar Cinta pulang karena sudah hampir malam, khawatir jika mama Cinta mencemaskannya.

Sesampainya di rumah Cinta, kami langsung disambut oleh pacar Cinta yang bernama Dimas.

Sejujurnya aku sangat tidak nyaman berada di sini karena keberadaan Dimas, aku merasa tidak terima atas sikap Cinta yang terlalu manis padanya. Ingin sekali aku menjauhkan Cinta dari laki-laki itu. Aku sungguh tidak tahan melihat kemesraan yang mereka tunjukkan dihadapanku, terlebih saat mereka berpelukan, benar-benar membuatku segera ingin memberinya pelajaran agar tidak menyentuh Cinta ku lagi. Apa tadi ku bilang? Cinta ku? Ya mungkin saja aku mulai menyukai gadis itu. Dan amarahku, apakah aku cemburu? Entahlah yang jelas aku tidak tahan melihat mereka berdua bermesraan seperti itu, dan jika itu yang dinamakan cemburu, anggap saja begitu, aku cemburu melihat Cinta bermesraan dengan kekasihnya.

Mungkin terdengar konyol karena aku cemburu pada orang yang jelas memiliki hak untuk bermesraan dengan Cinta, tapi tak dapat dipungkiri memang aku benar-benar tidak menyukai kedekatan mereka.

"Nak Alfin, duduk dulu, biar tante buatkan minum. Maaf ya, rumahnya kecil." Ucap lembur wanita yang bisa ku tebak itu adalah mamanya Cinta. Usianya memang tidak lagi muda, namun wajahnya tetap terlihat cantik dan segar, pantas saja jika Cinta memiliki paras yang juga cantik.

"Gak usah tante, Alfin pamit saja." ucapku yang memang lebih ingin pergi dari pada harus melihat Cinta bermesraan dengan pacarnya itu.

Sebelum kewarasanku hilang dan akhirnya aku bisa saja menghajar Dimas, aku memutuskan untuk meninggalkan rumah Cinta sebelum akhirnya kalimat Cinta mampu menahanku agar tidak pergi.

"Al, lo udah bantu gue kalemarin, papa lo juga udah kasih gue kerjaan, setidaknya lo mau terima gue kasih lo minum sebagai tanda terimakasih gue." ucap Cinta.

"Atau lo emang gak nyaman di sini karena rumah gue gak sebesar rumah lo!" lanjut Cinta dengan suara lirih.

"Bukan gitu, Cinta! Gue cuma gak mau ngerusak suasana aja." ucapku jujur.

"Udah gak papa lo di sini aja sekalian kita bisa ngobrol. Soalnya bentar lagi Cinta pasti sibuk banget karena harus bantuin tante Santi." Ucap Dimas.

.

.

.

.

.

Terpopuler

Comments

vikacu

vikacu

kpan up nya ini thor...?


tiap hri d cek

gak up up 😂😂

2020-01-14

0

Akira

Akira

yg my stupidity gk lue up jg?

2020-01-14

0

Akira

Akira

kapan up?

2020-01-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!