Seminggu berlalu. Dokter keluarga Claudia datang hampir setiap hari, menyuntik hormon, memantau kesehatan Violet, memastikan rahimnya siap. Tubuhnya melemah, mual, dan emosinya naik turun.
Namun, semakin lama tatapan Claudia semakin penuh kecurigaan. Ia mulai merasa posisi Violet bukan hanya sebagai pengganti rahim. Tapi ancaman. Claudia bukan perempuan bodoh. Ia tidak akan membiarkan rumah tangganya berantakan. Ia akan memastikan Violet akan keluar dari rumahnya begitu bayi mereka lahir.
Claudia menatap pantulan wajahnya di cermin, sambil menyisir rambutnya perlahan. Matanya dingin, pikirannya berputar cepat. Ia sudah menyiapkan semuanya—dokumen, kontrak, bahkan perjanjian rahasia yang akan memaksa Violet pergi tanpa suara begitu bayi itu lahir. Tidak akan ada drama. Tidak akan ada simpati.
Malam itu selepas makan malam, Claudia kembali meminta Adrian untuk tidur di kamar Violet.
"Sayang... ayolah. Aku mohon padamu. Bagaimana dia bisa hamil jika kau terus-terusan menolak untuk tidur dengannya?" rengek Claudia.
Adrian memandang Claudia dengan mata yang tak bisa diselami. Ia lelah berdebat, tapi lebih dari itu… ia muak menjadi pion dalam rencana istrinya yang makin hari makin dingin.
“Claudia, apakah harus sekarang? Aku masih sibuk.” ucap Adrian tegas, menekankan kata ‘cara lain’ dengan nada tak suka.
Claudia mendekat, menggenggam tangan suaminya dengan paksa.
“Adrian… kita butuh hasil. Jika kau terus menundanya, apa kau rela menunggu lagi bertahun-tahun? Aku sudah terlalu lelah, aku... hanya ingin anak darimu. Aku tidak sanggup lagi,” bisiknya dengan suara bergetar, seolah-olah ingin menunjukkan luka yang tak ada.
Namun Adrian tahu, air mata Claudia kini tak murni seperti dulu. Ia terlalu sering melihat wanita itu berakting demi mendapatkan apa yang ia mau.
Tapi malam itu, entah karena desakan batin atau hanya demi menghindari pertengkaran lebih panjang, Adrian akhirnya mengangguk pelan.
“Aku akan menemaninya... hanya untuk malam ini,” ucapnya dingin, lalu berjalan ke arah kamar Violet.
Pintu kamar diketuk perlahan sebelum terbuka. Violet yang baru saja selesai mengenakan gaun tidur langsung menoleh panik.
“Tuan... Anda?” gumamnya gugup.
Adrian berdiri di ambang pintu. Diam sejenak, sebelum akhirnya masuk dan menutup pintu di belakangnya. Matanya kelam, rahangnya mengeras. Namun ada perasaan berbeda saat melihat gadis polos itu menatap nya .
“Aku... hanya akan tidur di sofa. Kau tak perlu takut,” ujarnya, lalu menarik selimut di sofa panjang di sudut kamar.
Namun Violet merasa janggal. Ada ketegangan aneh di udara malam itu. Bukan karena rasa malu, tapi karena firasat buruk yang pelan-pelan merayap di benaknya.
“Ada apa Tuan ? Kenapa Anda... di sini?” tanyanya lirih.
Adrian menoleh, menatapnya dari balik bahu.
“Claudia memintaku. Dia... ingin hasil cepat.”
Violet menunduk. Rasa malu, amarah, dan kepedihan bercampur di dadanya. Ia bukan perempuan murahan. Tapi di mata Claudia, ia tak lebih dari wadah yang bisa diatur sesuka hati.
“Aku tidak akan menyentuhmu. Tidak tanpa persetujuan mu,” tambah Adrian, dengan suara yang lebih lembut.
Violet mengangguk pelan. Matanya berkaca-kaca, tapi ia berusaha kuat. Ia tahu dirinya tak punya hak lebih.
Malam itu berlalu dalam sunyi. Namun di balik pintu kamar, Claudia berdiri dengan segelas wine, menatap jam tangan emasnya dengan senyum penuh rencana.
***.
Keesokan paginya, Adrian berangkat ke kantor lebih cepat dari biasanya. Tanpa berpamitan dengan Claudia sebelumnya. Namun Claudia merasa jika Adrian marah kepadanya atas tindakan malam tadi yang memintanya untuk tidur dengan Violet. Sesampainya di kantor, Adrian meminta asistennya untuk mencaritahu latar belakang Violet yang sebenarnya.
"Cari tahu tentang gadis ini" titah Adrian tegas .
Mark langsung mengambil sebuah poto ukuran pas poto yang menampilkan wajah polos Violet disana. Mark menyipitkan kedua matanya,samar-samar ia memperhatikan wajah itu dengan teliti.
"Maaf, Tuan... Apakah gadis itu kenalan Anda?" tanya Mark pelan.
Adrian memutar kursi kerjanya pelan, menatap keluar jendela sambil menyilangkan tangan. Suaranya tenang namun penuh tekanan saat menjawab.
“Bukan. Aku hanya membutuhkan informasi tentangnya. Seluruh latar belakangnya, Aku minta kau segera melakukannya secepat mungkin."
Mark pun mengangguk patuh. Ia langsung membawa gambar itu ke ruangannya. Mark termenung menatap poto itu. Wajahnya tidak asing tapi Mark tidak tahu dimana dia pernah melihatnya.
"Baiklah gadis kecil, sesuai perintah... aku akan segera mencari tahu siapa dirimu."
Mark mulai membuka laptopnya dan mencari tahu dengan menggunakan poto yang ada.Mark mulai menjalankan perangkat lunak pengenal wajah milik perusahaan—program yang biasanya digunakan untuk menyaring mitra bisnis dari latar belakang kriminal atau koneksi mencurigakan. Ia menempelkan foto Violet di sistem, mengetik cepat beberapa perintah, dan menunggu layar menampilkan hasil.
Beberapa detik kemudian, muncul sederet file. Mark menyipitkan mata. Salah satu data langsung menarik perhatiannya.
Nama: Violet Madison
Tempat lahir: Crestville.
Nama ibu: Emma garden.
Nama ayah: David Madison.
"I got it"
Mark mencatat data itu lalu mengirimkannya pada Adrian. Adrian menatap layar ponselnya begitu mendengar notifikasi masuk ke ponselnya. Ia membuka pesan itu menatapnya lama. Lalu menutup pesan itu dan memasukkan kembali ponsel itu ke saku celananya.
Adrian duduk kembali dibalik meja kerjanya. Ia menatap lama bingkai poto pernikahannya.
"Apa yang kau inginkan Claudia?" bisiknya dalam hati.
Adrian merasa jika belakangan ini Claudia bersikap aneh. Tak seperti biasanya ia bertindak diluar nalar seperti ini. Dari awal pernikahan mereka,Adrian sudah tahu jika Claudia mandul. Namun tanpa Adrian sadari jika semua itu adalah kebohongan yang sengaja dibuat oleh Claudia sendiri.
Claudia sengaja meminum pil penunda kehamilan setiap kali berhubungan dengannya. Hal itu ia lakukan karena Claudia tidak ingin merubah bentuk tubuhnya. Ya,Claudia dulunya seorang model terkenal. Namun setelah menikahi Adrian, ia terpaksa berhenti. Lamunan Adrian berhenti ketika Claudia masuk ke ruangannya.
"Apa yang kau pikirkan?" ucap Claudia ,mendekati Adrian di mejanya
Adrian menatap Claudia tanpa senyum di bibirnya.
"Kau? Apa yang kau lakukan di sini. Sudah ku katakan padamu... jangan pernah menemui ku di kantor." ketusnya.
Claudia tersenyum tipis, ia tahu Adrian marah kepadanya. Namun ia tetap berusaha tersenyum manis di depannya.
" Maafkan aku soal malam tadi. Kau masih marah padaku?" ucapnya seraya merangkul Adrian dari belakang.
Adrian melepas tangan Claudia. Bukan lagi marah. Adrian sudah tidak bisa menahan kegilaan Claudia.
"Sudah berulang kali aku katakan padamu... jika kita tidak bisa memiliki anak, kita bisa mengadopsi saja, bukan?"
Claudia tak bergeming walau ia tahu Adrian sangat kesal padanya. Tapi, ia tak akan mengurungkan niatnya itu. Sedikit cerita bahwa Claudia mendengar pembicaraan kedua mertuanya ,jika Adrian tidak bisa memberikan keturunan maka harta mereka akan di serahkan ke yayasan yang dipimpin oleh ibu mertuanya.
"Sayang... kenapa kau tak mengerti? Aku hanya melakukan kewajibanku yang tak bisa aku berikan kepadamu." ucapnya,nada bicaranya seolah ia bersedih padahal nyatanya tidak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Al Fatih
Jadi sedih membayangkan nasib violet. Apakah akan seperti biasanya kisah2 rahim pengganti,, aq berharap semoga yg ini berbeda. Qta para kaum perempuan harus kuat mentalnya,, jiwanya,, jangan hanya kuat nangisnya.
Karna modelan Claudia ini,, karakter jahat yg manipulatif,, jadi violet juga harus kuat dan tangguh supaya tidak d jahatin terus.
2025-06-27
3
amatiran
lanjut
2025-06-27
1
Soraya
lanjut thor
2025-06-27
2