Saat mengecup pipi Dante, Pram
merasakan aura dingin yang hambar. Ada sesuatu yang lain dalam diri Dante yang
terselubung selimut. Prameswari tak mengerti apa itu, hanya saja ia merasakan
sebuah selimut tebal menutupi tubuhnya, dan selimut itulah yang membuat hati
Dante dingin dan hambar. Pram pun seperti mencari-cari sesuatu di balik Seragam
Kerja Dante.
“Hei, apa yang kau cari?” Dante protes
begitu kerah-kerah bajunya dibuka oleh Prameswari.
“Entahlah, seperti ada sesuatu yang
mengganjal. Rasanya seperti sesuatu yang menghalangi. Aku risih, ingin
kulepaskan saja.”
“Lha iya, apa?” Dante mulai kesal
karena kelakuan Prameswari terlalu vulgar di depan umum.
“Ah… entahlah. Rasanya mengganggu
sekali. Tapi apa ya. Aku sendiri juga bingung.”
Prameswari
kemudian menyerah dan menggandeng Dante berjalan cepat menuju Taman Kota. Dia
masih merasa risih dengan sesuatu yang mennutupi tubuh Dante. Tapi dia toh tak
tahu juga itu apa, dan bagaimana, dan mengapa dia tak nyaman dengan sesuatu
yang tak diketahuinya itu.
Di
tengah perasaan risihnya itu, Pram melihat ada seorang gelandangan, seorang Pria.
Pria itu tengah mengawasinya sejak tadi. Ia berulang kali melemparkan senyum
ramah kepada Prameswari dan memberi isyarat pada Prameswari untuk mendekatinya.
Pram berpikir sejenak, ia takut jika
kedatangan gelandangan itu akan menimbulkan kesialan pada dirinya mengingat
jatah kesialannya yang cukup tinggi dan belum ditebus menggunakan saldo pahala.
“Tenang, Cah Ayu… Kedatanganku bukan untuk membawa kesialan. Aku datang karena
kau memanggilku dalam mimpi. Kau meminta tolong, dan kemarilah, kukira aku bisa
menolongmu.” Gelandangan itu hanya tersenyum saja bibirnya, tapi telinga
Prameswari menangkap percakapan yang berasal dari diri gelandangan itu.
“Kau tidak sedang salah dengar, Kau
juga tidak sedang melamun, Cah Ayu… Baiklah, sepertinya Kau sedang sibuk kali
ini, jika tak sedang sibuk, silakan menemuiku di ujung taman kota di bawah semak
bambu kuning. Aku biasa tidur di bawah bambu kuning itu.” Lagi, gelandangan
tersebut hanya tersenyum tapi ucapannya didengar oleh Prameswari.
Pram
terheran, apakah itu sejenis keanehan yang biasa terjadi di Cato? Pram pun
menoleh ke arah Dante yang terlihat begitu fokus melihat ke depan.
“Dante, coba lihat gelandangan itu!”
Prameswari menarik lengan baju Dante dan menunjuk kea rah kirinya, ternyata
kosong.
Dante mengernyitkan kening dan
bertanya pada Prameswari, apa yang ada di samping kiri? Tak ada apa pun, begitu
ucap Dante, membuat Prameswari semakin kebingungan.
“Dante, apakah manusia di sini bisa
berbicara tanpa menggunakan mulut, dan mendengar ucapan yang tak disampaikan
oleh bibir?”
“Tentu saja. Semua orang di sini
bisa berkomunikasi menggunakan gadget, dan saling bisa mengirim dan menerima
pesan tanpa harus mengatakannya menggunakan mulut. Bukankah di Bumi juga ada
gadget?”
“Ya ampuuun… Bukan begitu maksudku. Aduh,
bagaimana ya, tadi kau tak dengar ya, ada gelandangan yang berbicara kepadaku, tapi
dia kok sudah menghilang ya?”
“Bicara apa, gelandangan mana, kamu
ini.”
Insting Prameswari mengajaknya untuk
berhenti membicarakan gelandangan tersebut di hadapan Dante. Pram pun
mencari-cari topik lain guna mengalihkan pembicaraan.
“Eh, ngomong-ngomong tadi pas aku
cium kamu, kamu kok diam mematung gitu sih? Pria dewasa harusnya responnya gak
begitu.” Pram langsung mengalihkan pembicaraan agar Dante tak lagi bertanya
soal gelandangan misterius tersebut.
“Oh, eh… Iya, entahlah… Memangnya
respon pria dewasa bagaimana seharusnya?”
“Ya, paling tidak, senang. Atau,
membalas mencium balik, atau, paling tidak merespon apalah… Tidak seperti
tingkahmu tadi. Diam membisu, dan tak ada respon. Untung aku orang yang tak
tahu malu. Kalau wanita di Bumi kau perlakukan demikian, pasti bakal bunuh diri
mereka. Haha…”
“Mengapa harus bunuh diri?” Dante
bertanya sangat serius sambil menghentikan langkah kakinya, tak mengerti jika Pram
bicara setengah bercanda.
“Ya, yang namanya perempuan itu notabene
mereka selalu menuntut untuk disayangi. Kalau mereka menunjukkan kasih sayang
mereka di tempat umum, itu artinya mereka juga menuntut untuk dibalas kasih
sayangnya dengan balasan yang lebih.”
“Jadi, seharusnya apa yang
kulakukan? Jawab, dan mari kita ulangi lagi. Aku yakin tidak akan membuat
kesalahan jika kamu mengajariku terlebih dahulu.”
Prameswari menepuk keningnya
sendiri. Sepertinya Dante memang kehilangan saraf jatuh cintanya.
***
Setelah mengobrol lama di kursi
taman, Dante mengajak Prameswari kembali ke Camp Kelas Pasca Kematian. Pram
menolak dan berkata masih ingin sendirian di taman kota, ia akan pulang sendiri
jika sudah ingin pulang. Dalam hati Prameswari, dia ingin menemui gelandangan
tadi di bawah semak bamboo kuning di ujung taman kota.
“Aku tidak akan membiarkan dirimu pulang
sendirian. Kesialanmu belum kau tebus, bisa saja kau tertembak lagi, atau
tertabrak kereta, atau keruntuhan bangunan, atau yang lainnya. Lagipula luka
lamamu kan belum sembuh total.”
“Memangnya dengan adanya dirimu di
sampingku akan dapat mengurangi jatah kesialanku?”
“Tidak juga. Setidaknya jika aku
berada di dekatmu dan kau mengalami musibah, Kau tak perlu menunggu pertolongan
terlalu lama.”
“Baiklah… Kalau begitu tunggu aku di
sini. Aku ingin memetik bunga sebentar untuk kutaruh di kamarku nanti.” Prameswari
berbohong, dan pria selugu Dante tak pernah menyadari bahwa mereka dibohongi.
Setelah Dante mengangguk dan memberi pesan
kepada Prameswari untuk berhati-hati, Pram setengah berlari menuju ke arah semak
bamboo kuning. Ia mulai dapat mencium aroma gelandangan tadi, baunya khas,
seperti aroma kayu gaharu. Semakin dekat dengan semak bamboo, semakin aroma
gaharu itu menusuk hidung prameswari. Pram merasa sedikit ngeri dengan alasan yang
tak jelas. Langkah kakinya mulai terdengar jelas karena hari sudah semakin
malam, semak bamboo juga sangat sepi dan seolah tak memiliki aroma manusia. Ada
hawa yang tak biasa yang dirasakan oleh Prameswari, hawa yang sepertinya sedang
berseliweran di sekitar rambut dan tubuhnya. Bulu kuduknya berdiri tapi dia
tetap maju karena instingnya memaksanya untuk terus maju.
“Halo.. Cah Ayu…” Sesosok hitam
muncul dari semak bamboo kuning, ia berwujud seperti genderuwo yang diketahui
Prameswari sebagai hantu iconic di dunianya yang dulu. Matanya merah menyala
dan suaranya memberat, ia bertaring dan memiliki rambut-rambut panjang di
alisnya, sehingga sebagian matanya tertutup rambut.
Prameswari mundur beberapa langkah
dan mulai berpikir bahwa instingnya salah total. Ia yakin saat ini sedang
menerima jatah kesialan, ia yakin genderuwo itu akan segera menerkamnya dan mencabik-cabik
dagingnya dengan taring dan cakarnya yang tajam. Kemudian, keesokan paginya
Pram akan terbangun di ruang Registrasi Kematian.
Pram teringat bagaimana rasanya
mati, dia sudah muak untuk mengulanginya lagi. Maka, sekuat tenaga ia berbalik
dan bersiap lari sekuat yang dia bisa.
“Tunggu dulu…” Genderuwo itu
memanjangkan tangannya dan menarik Prameswari ke dalam semak. Pram dihimpit di
sela lengan dan badannya yang berbulu. Pram mencoba berteriak tapi mulutnya
dibekap tangan yang penuh bulu. Dingin.
“Aku perlu berbicara denganmu, Cah
Ayu… tenanglah dulu…” Genderuwo itu berbicara dengan suara yang berat dan
napasnya menyerupai dengkuran sapi jantan. Ia mendudukkan Prameswari di bilik semak
bamboo kuning. Dari luar semak bamboo itu hanya sepanjang tiga sampai empat
meter saja, tetapi begitu masuk ke dalamnya, ternyata semak bamboo itu adalah
hutan bamboo yang suram dan berkabut.
“Aku datang kemari untuk membantumu
bertemu dengan Arimbi, ibumu. Jangan takut dengan wujudku, tenanglah dulu…” Genderuwo
itu mengelus-elus kepala Prameswari dengan lembut, seperti seekor induk kucing
yang memanjakan anaknya. Prameswari memberanikan dirinya untuk perlahan
mendongak dan memandang wajah menyeramkan itu. Sesaat sebelum mata Pram dan
Genderuwo itu bertemu, seseorang berteriak
“Jangan tatap wajahnya!!!!”
Pram
menoleh…. Dia si gelandangan tadi, dan mendadak Genderuwo itu lenyap dari
pandangan Prameswari. Pria berpakaian gelandangan tersebut menarik tangan
Prameswari dengan kasar sebelum Prameswari masuk ke sebuah pusaran angin.
Bug…..
Prameswari
dan gelandangan itu terjungkal ke tanah. Pram kembali ke semak bamboo di ujung
taman. Sementara Prameswari masih terengah-engah ketakutan dan kebingungan, gelandangan
itu mengecek siku dan kaki Prameswari, adakah yang terluka, atau adakah sebuah jimat
yang dipasangkan ke tubuh Prameswari.
“Kau tidak papa, Cah Ayu?”
“Siapa dia, siapa Anda?” Prameswari berbicara
dengan setengah terbata-bata.
“Seperti yang Kau tahu, dia
Genderuwo. Hanya bandit kecil. Untung dia bukan mata-mata Bemius. Kurasa dia tak
sengaja membuntutiku ke sini dan merasa beruntung telah menemukanmu. Kau tahu,
ruhmu dihargai sangat tinggi di Negeri Shaman.”
“Aku? Mengapa?”
“Panjang ceritanya. Sambil jalan,
nanti kuceritakan. Oh ya, jangan pernah sepelekan insting dan inderamu. Meski
di bumi usiamu 17 tahun, tapi kau 25 tahun di sini, itu artinya tubuhmu sudah
siap mengembangkan kekuatan supranaturalmu. Pesanku, pelajarilah teknik Lucid
Dream untuk berjaga-jaga jika ada yang ingin menculikmu lewat alam mimpi.”
“Sungguh, aku tak mengerti semua
ucapanmu.”
“Maaf, tapi memang aku sedang sangat
terburu-buru. Ini bukan alamku, kau juga lihat tadi bandit kecil yang bersamamu
itu, dia sudah ngos-ngosan menahan sesak. Aku harus segera kembali. Bawa ini
bersamamu. Dan ingat, jangan dibuka sebelum aku memerintahkannya!”
“Mengapa aku harus menurutimu. Aku
tak mengenalmu.”
“Jangan membantah! Aku belum bisa
percaya sepenuhnya padamu, tapi aku percaya pada instingmu. Sudah, pulanglah. Dan
hati-hati. Tetaplah bersama Dante. Aku
harus pergi sebelum kehabisan napas di sini.”
Gelandangan itu berlari masuk ke
semak bamboo kuning dan lenyap dari pandangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 182 Episodes
Comments
👑Bry|ᵇᵒˢˢ࿐💣
di dunia setan bs juga ya ada yg ga bs lihat setan kyk dante
2020-07-19
0
👑Bry|ᵇᵒˢˢ࿐💣
Pram mulai menunjukkan kekuatannya..
2020-07-19
1
👑Bry|ᵇᵒˢˢ࿐💣
aku baca tengah malam lagi. gelap2an lagi.
2020-07-19
1