Chapter 4

Hujan deras mengguyur atap rumah, menciptakan irama alami yang menenangkan. Di dalam rumah mungil mereka, ya, setelah beberapa hari menikah, Devan mengajak Nina pindah, keduanya menempati rumah sederhana yang Devan beli.

Dan Nina sama sekali tidak mempermasalahkannya.

Nina duduk sendirian di ruang tamu, membenamkan diri dalam selimut, secangkir teh hangat di tangannya. Di luar, suara rintik hujan membalut dunia. Tapi di dalam hatinya, ada suara lain—suara yang pelan tapi terus bergema: keraguan, rasa takut, dan... harapan kecil yang perlahan tumbuh.

Sudah hampir tiga minggu sejak akad itu. Devan tetap menjadi Devan. Laki-laki yang tidak banyak bicara tapi tahu bagaimana menenangkan. Ia tidak pernah menyentuh Nina tanpa izin, bahkan tak pernah duduk terlalu dekat tanpa memastikan Nina merasa nyaman.

Tapi perhatian-perhatiannya kecilnya tak pernah absen.

Ia selalu mengecek apakah air hangat sudah tersedia di kamar mandi, memasang sandal di sisi tempat tidur, atau memastikan makanan Nina tidak terlalu pedas karena lambungnya yang sensitif. Semua itu dilakukan diam-diam, tanpa pamer.

Nina sering memperhatikan itu dalam diam. Dan diam-diam pula, hatinya mulai bertanya: kenapa perhatian Devan selalu terasa tulus? Kenapa bukan Arvin yang pernah melakukan hal seperti ini?

Suatu sore, listrik padam karena hujan lebat. Nina yang sedang mencuci sayur di dapur mendadak melompat kecil karena kaget. “Astaga!”

Lampu mati. Ruangan jadi gelap.

Beberapa detik kemudian, cahaya kuning dari senter ponsel menerangi wajah Devan yang masuk ke dapur dengan senyum tenang.

“Elo nggak papa?”

Nina mengangguk gugup. “Kaget aja...”

“Biar gue bantu, ya.” Devan mengambil sayur dari tangannya, lalu mulai memotong dengan tenang.

Nina hanya bisa menatapnya. Dulu, saat masih bersahabat, mereka sering memasak bersama saat piknik sekolah atau bakti sosial. Tapi suasana sekarang berbeda. Ada kecanggungan yang samar, tapi juga kehangatan yang pelan-pelan mengisi ruang kosong.

“Elo masih ingat nggak waktu kita masak mie instan di tenda waktu SMA?” tanya Devan tiba-tiba, memecah keheningan.

Nina tersenyum tipis. “Ingat. Lo bahkan lupa masukin bumbunya dan kita makan mie hambar malam-malam.”

Mereka tertawa bersama. Tawa yang sederhana, tapi terasa menyembuhkan.

Dan dalam gelap itu, Nina melihat sesuatu di mata Devan –ketulusan yang tidak berubah. Bahkan lebih dalam dari sebelumnya.

Hari berikutnya, Nina mulai membalas perhatian-perhatian kecil itu. Ia mulai membangunkan Devan di pagi hari dengan secangkir kopi hangat. Ia juga menyetrika bajunya sebelum kerja, meskipun ia belum terbiasa menyentuh pakaian pria.

Devan menyadari perubahan itu, tapi tak pernah mengomentarinya. Ia hanya menunjukkan senyum lembut yang membuat Nina bingung—bahagia atau justru merasa bersalah karena tak bisa memberi lebih.

Suatu malam, saat mereka sedang duduk di teras rumah dengan jaket masing-masing dan secangkir jahe hangat, Nina akhirnya berkata pelan, “Lo nggak capek, Van?”

“Capek apa?”

“Capek memperlakukan gue dengan baik, padahal gue belum bisa membalas.”

Devan menoleh. Matanya menatap Nina dalam, tapi tetap lembut. “Gue nggak pernah niat ngasih perhatian buat dibalas. Gue ngelakuin itu karena gue peduli. Dan karena gue... senang bisa ada di dekat lo.”

Nina menunduk. Pipinya memerah.

“Mungkin elo belum bisa balas sekarang. Tapi gue percaya, semua orang bisa belajar cinta. Kalau hatinya nggak ditutup rapat.”

Kalimat itu menampar pelan. Bukan karena sakit, tapi karena menyentuh bagian terdalam dalam hati Nina yang selama ini ia tutup rapat—karena trauma, karena takut, karena luka.

Suatu hari, saat membereskan lemari kamar, Nina menemukan sebuah kotak kayu kecil. Ia sempat ragu membukanya, tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya.

Isinya membuat napasnya tercekat.

Di dalamnya ada benda-benda kecil yang ternyata sudah disimpan Devan sejak dulu: kertas hasil coret-coretan mereka saat belajar bareng di SMA, pin bulat bertuliskan "Sahabat Sejati 2008", dan sebuah foto polaroid mereka saat duduk di ayunan taman, di bawah pohon besar.

Di balik foto itu, tertulis tangan Devan dengan tulisan khasnya yang sedikit miring:

“Kalau suatu hari kamu sedih, aku pengen jadi tempat kamu pulang. – Devan”

Nina menutup mata, air matanya menetes perlahan.

Bukan karena sedih. Tapi karena ia merasa baru menyadari sesuatu yang selama ini sudah ada di depan matanya—Devan tidak datang untuk menjadi pangeran. Tapi ia selalu ada sebagai penjaga yang setia.

Malam itu, saat mereka duduk di ruang tamu sambil menonton film lama di laptop, Nina tiba-tiba menyandarkan kepalanya ke bahu Devan. Gerakannya pelan, ragu-ragu. Tapi ia tak menariknya kembali.

Deva sempat kaku, lalu menghela napas, dan melingkarkan satu tangan pelan ke pundak Nina.

Tidak ada kata-kata. Tidak ada deklarasi cinta. Hanya keheningan yang hangat.

Dan dari situ, untuk pertama kalinya, Nina merasa... ia bukan lagi istri karena keadaan, tapi karena pilihan yang mulai ia yakini perlahan.

Terpopuler

Comments

Herman Lim

Herman Lim

selalu berjuang devan buat dptkan hati nana

2025-06-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!