Episode 4 – Luka yang Tak Ada Jawabannya

"Cinta tak seharusnya meninggalkan lebam. Tapi aku belajar, bahwa dalam hubungan seperti ini... cinta selalu datang bersama luka."

Aku menatap bayanganku di kaca kamar mandi.

Ada sembab yang belum sempat hilang. Ada bekas merah yang belum pudar.

Kemarin, hanya karena aku salah menjawab, tangannya mendarat ke pipiku.

Tidak sekali. Tidak dengan pelan. Dan tidak dengan penyesalan yang tulus.

Yang lebih menyakitkan bukan pukulannya. Tapi... cara dia berkata seolah semua itu salahku.

Gibran:

"Kamu tuh bikin aku kehilangan kontrol! Kalau kamu jawab benar, semua ini nggak bakal terjadi!"

Aku tertunduk waktu itu. Berharap dinding bisa menelanku.

Beberapa jam setelahnya, dia datang membawa es batu dan pelukan.

Dan seperti biasa, aku memaafkannya. Bukan karena ikhlas, tapi karena aku tidak tahu ke mana harus pergi.

Malam harinya, tubuhku menggigil. Bukan karena demam. Tapi karena jiwaku mulai menolak semua ini.

Aku tidak tidur. Aku hanya berbaring sambil mengingat: kapan terakhir kali aku tertawa karena merasa aman?

Keesokan paginya, aku menemukan sebuah cermin kecil di antara tumpukan pakaian.

Dan saat aku melihat wajahku sendiri—aku nyaris tak mengenalinya.

Wajah itu bukan lagi aku.

Wajah itu milik seseorang yang takut bersuara, takut salah, dan takut mencintai dirinya sendiri.

“Aku hidup… tapi rasanya seperti mati perlahan.”

Beberapa hari kemudian...

Tubuhku mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan.

Nafsu makan hilang. Dada sesak. Dan malam-malamku selalu dihantui mimpi buruk.

Aku sempat berpikir untuk kabur. Tapi ke mana?

Keluarga tidak tahu aku ada di mana. Teman sudah tidak bisa kuhubungi.

Dan saat aku memberanikan diri untuk bertanya:

Aira:

“Mas, aku boleh kontrol lagi ke psikiater? Aku ngerasa makin drop…”

Gibran: (dingin)

"Ngapain? Psikiater tuh cuma nyuruh kamu mikirin hal yang nggak penting. Lagian kamu tuh udah sembuh. Yang bikin kamu makin kacau itu pikiran kamu sendiri."

Saat itu aku tahu… aku tidak sedang sembuh. Aku sedang ditahan. Oleh orang yang selalu bilang sayang, tapi menutup jalanku untuk pulih.

Aku mulai menulis lagi. Tapi kali ini, bukan sekadar curhat.

Aku mulai menyusun rencana kecil. Pelan-pelan. Diam-diam.

“Kalau aku terus di sini… bukan cuma tubuhku yang hancur. Tapi aku akan benar-benar hilang.”

Hari-hariku mulai terasa seperti pengulangan luka.

Bangun pagi dengan kepala berat, hati kosong, dan ketakutan yang sulit dijelaskan.

Setiap suara langkah kaki Gibran di lantai rumah membuat tubuhku refleks menegang.

Aku merasa seperti bayangan dari diriku sendiri.

Aku tidak lagi bisa mengenali siapa Aira yang dulu.

Yang dulu punya mimpi.

Yang dulu punya suara.

Yang dulu bisa tertawa tanpa takut disebut berlebihan.

Pernah satu malam, aku terbangun karena mimpi buruk.

Tubuhku penuh keringat, napasku tercekat.

Gibran di sebelahku hanya menoleh sekilas, lalu kembali tidur.

Tanpa tanya, tanpa peluk.

Seolah... kehadiranku tak penting lagi, kecuali saat dia butuh sesuatu dariku.

Hari itu, saat menyapu halaman belakang, aku menemukan ponsel lamaku yang disimpan dalam laci gudang.

Baterainya sudah mati. Tapi aku menggenggamnya erat seperti menemukan sisa diriku yang pernah bebas.

“Aku butuh suara. Aku butuh panggilan untuk kembali menjadi aku.”

Malamnya, saat Gibran keluar rumah sebentar, aku mengisi daya ponsel itu diam-diam.

Layarnya menyala pelan.

Aku menahan napas saat melihat wallpaper-nya: aku dan sahabatku — tertawa di tepi danau, sebelum semua ini dimulai.

Air mataku menetes begitu saja.

Aku membuka galeri, membaca ulang chat lama dari sahabatku:

Sahabat:

“Kalau kamu butuh aku, kabari ya. Aku tahu kamu gak baik-baik aja. Aku di sini.”

Tanganku gemetar.

Bukan karena takut ketahuan. Tapi karena... aku takut sudah terlalu lama hilang.

“Jika ada cinta yang membuatmu kehilangan akses ke dunia luar, mungkin itu bukan cinta. Itu jerat.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan...

Aku mulai menulis satu pesan:

“Maaf baru bisa kabari. Aku masih hidup. Tapi aku tidak baik-baik saja.”

[To be continued...]

Episodes
1 Bab 1 – Janji yang Terbungkus Manis
2 Bab 2 – Cinta yang Mengontrol
3 – Bab 3 "Sayang" yang Mengikat
4 Episode 4 – Luka yang Tak Ada Jawabannya
5 Episode 5 – Diam-Diam Aku Ingin Pergi
6 Bab 6 - Ketika Rencana Tak Lagi Hanya Dalam Hati
7 Bab 7 - LUKA LAMA YANG MEMBUNGKAM
8 Bab 8 - Pelarian yang Tak Pernah Jadi
9 Bab - 9 Sunyi yang Paling Bising
10 Bab - 10 Aira yang Tertinggal di Masa Kecil
11 Bab - 11 Aku Tidak Gila
12 Bab - 12 Bukan Aku yang Salah
13 Bab - 14 Rumah yang Tidak Pernah Menjadi Rumah
14 Bab - 14 Aku Masih Bernapas
15 Bab - 15 Pelan Tapi Bergerak
16 Bab - 16 Sandi Pelarian
17 Bab - 17 Detik yang Menentukan
18 Bab - 18 Nafas Pertama Dalam Kebebasan
19 Bab - 19 Menulis Luka Merawat Diri
20 Bab - 20 Ketika Bayangan Itu Kembali
21 Bab - 21 Kebenaran yang Menyakitkan Tapi Membebaskan
22 Bab - 22 Suara yang Tak Lagi di Bungkam
23 Bab - 23 Tak Semua Mendukung Cahaya
24 Bab - 24 Wajahku, Suaraku, Pilihanku
25 Bab - 25 Luka yang Dibela, Luka yang Diakui
26 Hadiah dari Langit di Hari Aku Lahir Kembali
27 Bab - 27 Rumah Cahaya Aira
28 Bab - 28 Saat Luka Menjadi Kekuatan
29 Bab - 29 Aku Adalah Bukti yang Masih Bertahan
30 Bab - 30 Pengadilan Luka
31 Bab-31 Bayangan yang Masih Mengintai
32 Bab - 32 Rumah Ini Tak Akan Runtuh
33 Bab - 33 Menyalakan Lilin Di tengah Luka
34 Bab - 34 Lilin yang Tak Pernah Padam
35 Bab - 35 Cahaya yang Di Pertaruhkan
36 Bab - 36 Api di Balik Tirai
37 Bab - 37 Semua Belum Berakhir
38 Bab - 38 Mereka Ingin Kami Hilang
39 Bab - 39 Kami Tak Akan Diam
40 Bab - 40 Bayang-Bayang yang Mengintai
Episodes

Updated 40 Episodes

1
Bab 1 – Janji yang Terbungkus Manis
2
Bab 2 – Cinta yang Mengontrol
3
– Bab 3 "Sayang" yang Mengikat
4
Episode 4 – Luka yang Tak Ada Jawabannya
5
Episode 5 – Diam-Diam Aku Ingin Pergi
6
Bab 6 - Ketika Rencana Tak Lagi Hanya Dalam Hati
7
Bab 7 - LUKA LAMA YANG MEMBUNGKAM
8
Bab 8 - Pelarian yang Tak Pernah Jadi
9
Bab - 9 Sunyi yang Paling Bising
10
Bab - 10 Aira yang Tertinggal di Masa Kecil
11
Bab - 11 Aku Tidak Gila
12
Bab - 12 Bukan Aku yang Salah
13
Bab - 14 Rumah yang Tidak Pernah Menjadi Rumah
14
Bab - 14 Aku Masih Bernapas
15
Bab - 15 Pelan Tapi Bergerak
16
Bab - 16 Sandi Pelarian
17
Bab - 17 Detik yang Menentukan
18
Bab - 18 Nafas Pertama Dalam Kebebasan
19
Bab - 19 Menulis Luka Merawat Diri
20
Bab - 20 Ketika Bayangan Itu Kembali
21
Bab - 21 Kebenaran yang Menyakitkan Tapi Membebaskan
22
Bab - 22 Suara yang Tak Lagi di Bungkam
23
Bab - 23 Tak Semua Mendukung Cahaya
24
Bab - 24 Wajahku, Suaraku, Pilihanku
25
Bab - 25 Luka yang Dibela, Luka yang Diakui
26
Hadiah dari Langit di Hari Aku Lahir Kembali
27
Bab - 27 Rumah Cahaya Aira
28
Bab - 28 Saat Luka Menjadi Kekuatan
29
Bab - 29 Aku Adalah Bukti yang Masih Bertahan
30
Bab - 30 Pengadilan Luka
31
Bab-31 Bayangan yang Masih Mengintai
32
Bab - 32 Rumah Ini Tak Akan Runtuh
33
Bab - 33 Menyalakan Lilin Di tengah Luka
34
Bab - 34 Lilin yang Tak Pernah Padam
35
Bab - 35 Cahaya yang Di Pertaruhkan
36
Bab - 36 Api di Balik Tirai
37
Bab - 37 Semua Belum Berakhir
38
Bab - 38 Mereka Ingin Kami Hilang
39
Bab - 39 Kami Tak Akan Diam
40
Bab - 40 Bayang-Bayang yang Mengintai

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!