"kak, nih, gue beli cokelat kaleng."
Alana menangkap cepat lemparan Raven, dia mengangguk dan bilang makasih.
"Tumben beli coklat."
Raven ikut duduk di samping Alana.
"Kalo kebanyakan kopi, gak bagus. Kafeinnya tinggi." Ujarnya.
Alana tertawa renyah, "jadi pinter banget Lo. Jadi pengingat pribadi gue ya?"
"Siap." Balas Raven.
Mereka berudua sama-sama duduk di atas matras, kelelahan setelah selesai sparing beladiri judo.
Sekarang jam istirahat, waktunya lima belas menit saja.
Hari Sabtu ini, Alana selalu berlatih beladiri di dojo, kebetulan satu perguruan dengan Raven. Mereka bahkan pernah terpilih ikut turnamen sebagai perwakilan club bersama dan sama-sama keluar sebagai pemenang.
"Kak, biasanya setiap pulang sekolah gue sering liat kakak sama si rambut putih, siapa itu?"
"Kenapa tanya tiba-tiba?" Alana bingung.
Raven mengalihkan pandangan, yah, gue juga bukan siapa-siapa bagi kakak.
"Rav, gue udah dapet kerja lagi tau." Ucap Alana dengan raut wajah sumringah. Mengabaikan pertanyaan sebelumnya.
Raven mengangkat alisnya, "cepet banget? Apaan?"
"Gue kerja di rumah temen. Jagain adiknya yang agak kelainan." Jawab Alana.
"Susah gak?"
"Enggak juga, gue suka banget sama dia. Soalnya lucu, dia Albino, sumpah gemes banget. Little angel."
Raven tersenyum tipis.
Baguslah. Gue takut kakak kesulitan sebenarnya. Jadi gue agak lega.
"Semoga tahan lama ya kak. Gue minta maaf banget yang waktu itu."
Alana nyengir lebar, "ah, lupain aja! Sini gue banting lo!!"
BUGH!
Raven mengaduh, sakit. Bantingan Alana kencangnya bukan main, jangan disamakan dengan power cewek biasa.
Alana tertawa.
Pas sekali sensei mengumpulkan semua muridnya dan menyelesaikan jam latihan di pukul lima sore.
Bubar.
"Kak, mau temenin gue bentar ke supermarket depan? Traktir nih, uang jajan gue baru ditransfer." Tiba-tiba Raven mengajak lagi setelah membereskan barangnya.
Alana berpikir sebentar,
"Ho,oh deh. Boleh." Gadis itu menjawab dengan anggukan kepala. Ia berpamitan pada sensei dan senior lain, lanjut menyebrang jalan bersama Raven menuju supermarket.
Di supermarket Raven membeli banyak minuman kaleng, termasuk kopi untuk Alana dan cokelat batang. Mereka ke kasir, dan membayar dengan kode QR.
"Thanks Raven, gue gak enak jujur. Masa Lo beliin gue minuman Mulu tiap hari."
"Gak apa-apa sih, gue seneng aja liat mood kakak naek."
Alana terkekeh, karena itu fakta. Kalau ia sedang kesal wajahnya jelas menunjukkan perasaan itu, dan satu-satunya penawar kalau bukan kopi pasti cokelat.
"Mantan murid gue emang best. Semangka belajarnya ya Rav. Kapan-kapan gantian gue yang traktir deh."
Raven mengacungkan jempol.
"Lama banget."
Alana tersentak kaget, tiba-tiba tubuhnya ditarik mundur seseorang dari belakang.
"Lho, Nathan?"
Wajah Nathan tertutup masker agar tak terlalu mencolok, tapi dari kerutan di alisnya Alana tahu Nathan sedang jengkel.
"Kok kesini? Jauh lho."
"Kan Lo yang bolehin gue kesini. Tapi sekarang Lo malah baru balik dari supermarket sama dia. Lo lupa apa kalo Lo harus ke rumah? Eden nyariin." Ujar Nathan dengan tatapan tajam.
Pertama-tama, Alana memperhatikan penampilannya dari atas sampai bawah.
Turtleneck hitam dibalut jaket parasut berwarna merah putih, celana hitam korduroi dan sepatu merah jord*n. Nathan juga memakai kalung tipis, anting jepit rantai, dan cincin seperti biasa.
Semuanya bermerk dan sudah pasti mahal.
"Siapa kak?" Raven buru-buru menahan Alana.
Oh, ternyata Raven tingginya hampir sama ya kayak Nathan.
Itulah isi pikiran Alana sekarang, di tengah ketegangan antara Nathan dan Raven.
"Al, harusnya Lo bilang." Tukas Nathan lagi.
Raven tetap menghalangi Nathan mendekat.
"Siapa? Abang kenal Kak Alana?"
Alana malah tertawa lebar,
"Rav, masa Lo gak kenal dia?" Gadis itu menjulurkan tangannya dan menurunkan masker yang menutupi bagian bawah wajah Nathan.
"Ini namanya Nathan, tadi Lo nanyain kan? Dia ini temen Deket gue di sekolah, langganan BK lho." Alana menambahkan, tertawa kencang.
Tapi suasana malah tambah panas, merasa ada yang tidak beres, akhirnya Alana membawa Nathan pergi dari sana setelah berterima kasih pada Raven.
"Al, besok-besok Lo gak boleh telat lagi. Atau gue potong gaji."
Padahal Nathan sedang menyetir mobil, tapi dia terus mengomeli Alana yang memilih posisi duduk di kursi belakang.
Perjalanan mereka ke rumahnya jadi terasa canggung. Tumben sekali.
Sebelumnya dia gak pernah begini. Kenapa sih? Bikin orang mikir aja. Baper amat.
Omel Alana dalam hati. Gadis itu hanya menghela nafas berkali-kali.
Hari ini terasa melelahkan seperti kemarin-kemarin, tadi pagi Alana ngebut menyelesaikan naskah novelnya sampai lupa sarapan. Setelah itu langsung berangkat latihan, dan sekarang Nathan marah karena ia telat datang ke rumahnya untuk menjaga Eden.
Dunia ini tidak adil.
***
"Kak Alana, kenapa angka nol harus lonjong? Kan bisa dibuat bulat, lebih gampang."
Memang kedengaran remeh, hanya pertanyaan bocah. Tapi siapa yang tahan kalau berkali-kali ditanya tentang teori angka nol kenapa harus begini, begitu, yang sebenarnya tidak perlu dibahas sama sekali.
Alana tersenyum gemetar menahan diri.
"Kakak gak tahu deh, kan bukan kakak pencipta angkanya."
Jadwal pertama, jam pelajaran Eden. Alana harus tahan ditanyai hal-hal tidak penting seperti ini selama dua jam.
Eden memang tidak bersekolah setelah menginjak usia SD, karena suatu kejadian yang membuat dia paranoid.
Meski begitu, Eden sangat pintar mirip seperti Nathan. Dia penuh rasa ingin tahu semuanya, apa saja.
"Kak, tadi kakak kemana? Kok lama?"
Alana tersenyum sambil menumpuk buku-buku cerita diatas meja.
"Tadi pagi kakak ada latihan beladiri. Eden tahu nggak? Beladiri judo, asalnya dari jepang."
"Judo? Iya tahu! Dulu Eden pernah ikut kak Nathan latihan judo juga di Jepang, tapi hanya sebentar. Soalnya kak Nathan sering digangguin perempuan disana."
Alana tertawa kecil, "iya ya, kenapa ya?" Dia bertanya, pura-pura tidak tahu.
"Kak Nathan sering dikira selebriti atau artis. Jadinya dia kesel, dia marah sendiri." Jawab Eden dengan raut wajah datarnya.
Nathan kan emang gak suka dideketin cewek. Tapi...kenapa kalo gue-
"Kak! Ini udah jadi! Udah selesai tugasnya, berarti Eden boleh istirahat ya?!"
Pikiran Alana terputus, Eden ribut meminta Alana menilai tugas matematikanya sebelum istirahat.
Gadis itu tersenyum mengangguk. Tidak terasa, semua ini sudah ia jalani selama sepekan.
Sampai hari ini pun, Alana masih tidak tahu banyak tentang Eden. Bocah itu juga kelihatan senang dengan Alana, jadi sebaiknya jalani saja sesuai alur.
Pukul empat sore.
Eden meminta Alana ikut makan menemaninya. Mereka berdua di meja makan, tanpa keberadaan Nathan.
"Kakak gak makan?" Eden menatap piring Alana yang belum disentuh.
"Oh, kakak nggak laper, kok." Jawab Alana tanpa menoleh, dia tidak mengalihkan pandangan dari layar handphone nya.
Dari ekor mata Alana, dia bisa melihat raut wajah Eden yang berubah muram lalu makan sambil menunduk.
"Liat apa Lo?"
Lagi-lagi Nathan mendadak muncul dari belakang dan merebut cepat handphone itu, layarnya masih menyala.
"Apa ini? Lo malah kirim pesan ke bocah tadi bukannya merhatiin adek gue?!"
"Apa sih Nat?! Gue cuma bilang semoga berhasil doang ke Raven. Soalnya pekan depan dia mau tes masuk SMA di sekolah kita." Kali ini Alana agak kesal, karena Nathan seenaknya membaca pesan yang dia kirim ke Raven seolah ikut mencampuri urusannya.
"Lagian ini kan waktu istirahat." Sarkas Alana, mengambil kembali handphone di tangan Nathan.
Eden menyaksikan mereka berdua dengan tatapan resah, takut.
"Tapi ini kan tugas Lo. Seenggaknya selesain dulu lah!" Nathan berseru.
"Sumpah nat. Jangan mentang-mentang gue kerja disini Lo jadi bisa seenaknya bentak gue ya!! Gue ini tahu waktu, dan gue gak salah. Kalo Lo gak suka, gue juga bisa berhenti kerja sekarang!!"
"Jangan kirim pesan sama dia di depan gue... gue cem-bu-ru..." Nathan bergumam pelan sambil menutupi wajahnya yang memerah.
Dan sial, ternyata Eden memiliki gangguan mental yang lumayan parah. Mendengar mereka mengangkat suara, tiba-tiba tubuh malaikat kecil itu gemetar hebat kemudian ia jatuh pingsan.
"E-Eden?? EDEN?! EDEN!!!"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments