Beberapa hari telah berlalu. Izara perlahan mulai pulih, baik secara fisik maupun sedikit demi sedikit secara batin. Kai, dengan kesabaran yang nyaris tak masuk akal, merawatnya tanpa banyak tanya. Setiap pagi menyapanya dengan senyum, memastikan makanannya cukup, dan memberinya ruang untuk diam sebanyak yang ia butuhkan.
Kael, di sisi lain, tetap menjaga jarak. Tidak menyapa. Tidak menyentuh. Hanya tatapan tajam yang sesekali menghujam seperti peluru yang tak terdengar bunyinya. Namun ia tidak lagi meledak, tidak lagi mendekati Izara dengan kekerasan. Entah karena rasa enggan bertengkar dengan Kai, atau karena ada sesuatu yang ia simpan rapat-rapat dalam diamnya.
Sore itu, langit mulai menguning. Izara duduk di kursi taman belakang, membiarkan angin sore memainkan rambutnya. Hening. Tenang. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama… ia bisa bernapas tanpa merasa diawasi.
Tapi ketenangan itu hanya bertahan sekejap.
Langkah berat terdengar menghampiri dari arah pintu belakang. Izara menoleh, dan dadanya langsung mengencang.
Kael.
Pria itu berjalan pelan, tangannya di saku, wajahnya datar tapi matanya tajam. Ia berhenti tak jauh dari tempat Izara duduk.
“Tempat ini terlalu tenang untuk orang sepertimu,” katanya dingin.
Izara menelan ludah, mencoba tetap tenang.
“Saya hanya… butuh udara segar.”
“Udara segar tidak akan menghapus dosa,” balas Kael tanpa ragu.
“Saya tidak tahu apa-apa,” sahut Izara pelan, menatap tanah.
“Dan itu yang paling membuatku muak,” suara Kael merendah namun menusuk.
“Kau bahkan tidak tahu apa yang telah ayahmu lakukan, tapi kau tetap hidup di bawah naungannya. Dilindungi. Dibela.”
Izara berdiri perlahan, mencoba menjaga jarak. Dia menunduk, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Semua yang Kael katakan… meski terdengar kejam, terdengar seperti kebencian yang membabi buta—terdengar masuk akal.
“Tapi, saya... tidak tahu,” ucap Izara lirih, “Saya benar-benar tidak tahu apapun.”
Kael melangkah mendekat satu langkah.
“Tapi kau adalah darahnya.”
“Saya bukan dia!” seru Izara, nyaris putus asa.
“Saya tidak memilih untuk lahir dari dia! Dan saya tidak pernah tahu soal senjata, atau Karina, atau siapa pun dalam cerita ini. Saya hanya... anak yang disiksa, lalu ditinggalkan!”
Kael terdiam. Mata mereka bertemu—untuk sesaat, ada luka yang sama dalam tatapan mereka, meski berasal dari dunia berbeda.
“Lalu kenapa setiap kali aku lihat wajahmu…” gumam Kael pelan, “…rasa sakit itu kembali seperti baru kemarin.”
Izara tak bisa menjawab. Dadanya sesak. Kata-kata Kael seperti jaring yang menjebaknya dalam rasa bersalah, meski ia tak pernah menjadi bagian dari dosa itu.
Kael menatapnya sejenak, lalu berbalik.
“Nikmati ketenanganmu. Selama Kai masih di sini, aku tidak akan menyentuhmu. Tapi jangan salah paham… ini belum selesai.”
Lalu ia pergi, meninggalkan jejak dingin seperti bayangan yang tak pernah benar-benar hilang.
Izara hanya bisa berdiri di sana—gemetar, bingung, dan semakin tersesat dalam dunia yang tak pernah ia minta untuk dimasuki.
Izara menatap punggung Kael yang menjauh, napasnya tercekat. Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya, menggema lebih nyaring dari suara angin yang berdesir di antara dedaunan. “Ini belum selesai.”
Ia menggenggam ujung bajunya erat, berusaha menenangkan diri. Tapi kenyataannya, tidak ada yang benar-benar tenang sejak malam itu. Sejak ayahnya mati. Sejak Kael muncul dalam hidupnya.
“Dia bicara sesuatu padamu?” tanya Kai hati-hati.
Izara menunduk. “Tidak banyak…"
Kai mendekat, namun menjaga jarak seperti biasa. “Kael memang keras. Tapi dia tidak sekejam itu… hanya terlalu lama tenggelam dalam luka yang tak pernah sembuh.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments