“Silahkan dinikmati,” tutur Davin santai. Namun ada sorot tegas di matanya. Ia menatap Ara yang masih kebingungan melihat aneka makanan yang tersaji di atas meja restoran sederhana.
Sebelumnya, Davin lah yang menghubungi Ara dan mengajak bertemu terkait biaya ganti rugi mobil sang tuan.
Ara pun setuju untuk bertemu Davin di sebuah restoran, yang kebetulan jaraknya cukup dekat dari rumah sang ibu.
“Ngh—apa ada orang lain selain kita yang akan makan? Ini ... banyak sekali.” Ara masih ragu-ragu untuk mencicipi aneka menu yang terhidang.
Davin menggeleng, “special for you ....”
Setelah berkata demikian, Davin pun lekas mencicipi makanan terlebih dahulu. Sengaja, agar Ara hilang sungkan nya.
Dan, benar saja, Ara pun turut mencicipi aneka menu yang sangat menggugah selera.
Ayam goreng bumbu lengkuas, telur dadar padang, ikan asin goreng, daun ubi masak lemak, sambal belacan bilis—di tambah lagi air jeruk peras dingin, serta beberapa dessert tradisional pun disantap nikmat.
‘Apa cuma kebetulan aja? Kok, yang tersaji ... makanan kesukaanku semua, ya?’ Ara membatin sambil terus mengunyah.
Melihat Ara makan dengan lahap, sudut bibir Davin terangkat sebelah. ‘Dasar pria gila! Lo benar-benar nyusahin gue, El!’
Semuanya akal-akalan Elan. Melihat tubuh Ara yang kurus layaknya orang malnutrisi, Elan pun memerintahkan Davin untuk menjamu Ara di restoran dengan alasan pembahasan biaya ganti rugi mobilnya. Tentu saja, Elan juga sudah menyiapkan satu rencana tertentu.
“Apa Anda menikmati makan siang kita, Bu Ara?” tanya Davin begitu Ara selesai dengan makanannya.
Nyaris Ara tersedak, ia buru-buru mengangguk sambil menepuk-nepuk pelan dadanya. “Terimakasih banyak atas jamuannya, Pak Davin. Emmh ... tentang terkait biaya ganti rugi mobil yang—”
“Satu minggu,” potong Davin cepat.
“Ya?” Bibir Ara menganga, kedua alisnya berjingkat. Ia berdoa, semoga barusan ia hanya salah dengar.
“Kami memberikan waktu satu minggu untuk pelunasan terkait ganti rugi tersebut.”
BRAK!
“APA?!” Ara menggebrak meja sangking kagetnya.
Dan Davin mencubit kakinya yang bergetar di bawah meja, sangking takutnya. ‘Sialan lo, El!’
Ekspresi Ara terlihat seperti monster yang siap-siap hendak menyerang target.
Dada Ara berkecamuk, tubuhnya bergetar. Ia kembali teringat dengan perkataan Davin saat tragedi itu terjadi.
‘Jangan di pikirkan dulu. Jelas semalam dia bilang begitu. Bukannya kata-kata itu tidak cocok, jika disandingkan dengan tempo satu minggu yang ia berikan saat ini? WUAAAH, AKU UDAH NGERASA KAYAK SAPI YANG SENGAJA DIBERI MAKAN BANYAK-BANYAK SAMPAI GEMUK, LALU SECEPATNYA JUGA LANGSUNG DISEMBELIH!’ raung Ara dalam hati. Lalu, tanpa sadar ia menatap tajam Davin.
Yang ditatap pun tersentak sambil merapalkan doa di dalam hati. Tentu ia pun menyempatkan terlebih dahulu untuk mengumpat. ‘BEDEBAH KAU, ELAN!’
“Bu Ara? Are you okay?” tanya Davin berusaha basa basi. Padahal ia masih ciut.
‘Okay gundulmu!’ gerutu Ara di dalam hati. Lalu secepatnya ia menjawab. “Saya, hanya kaget saja, Pak Davin. Apa ... waktu yang diberikan tidak terlalu cepat?”
Ara menarik napas sebelum lanjut bicara. “Begini, saya bukannya mau lari dari tanggung jawab. Hal itu, sedikitpun tidak terpikirkan oleh saya. Hanya saja—kondisi keuangan saya memang sedang tidak kondusif saat ini. Niatnya, saya akan ... membayarnya ... jika sudah mendapatkan pekerjaan. Dan, itupun, saya hanya sanggup dengan mencicil—jika mengingat besarnya nominal ganti rugi tersebut.”
Davin menarik napas panjang, kedua bahunya tertunduk seolah berat hati hendak menjawab. Padahal, ia senang setengah mati—Ara mulai masuk ke dalam lingkaran rencana yang dibuat Elan.
“Hmm, tentu saja itu tidak mungkin, Bu Ara,” jawab Davin akhirnya. “Dan, mohon maaf sebelumnya, saya pun hanya menjalankan perintah saja. Bu Ara pasti paham, kan? Posisi kita sama-sama sulit saat ini.”
Ara mengangguk lemah. “Iya, tentu saya paham.” Kepalanya nyaris pecah sangking pusingnya.
Sorot mata penuh putus asa itu membuat Davin iba—sekaligus tersenyum. “Sebenarnya perkara cicil—mencicil, itu bisa-bisa saja, Bu Ara. Namun, hal itu hanya berlaku untuk karyawan di perusahaan kami saja. Sementara, Bu Ara kan —” Davin sengaja menggantungkan kalimatnya.
Ara menunduk lemah, namun sedetik kemudian, kepalanya langsung kembali tegak. “Apa di perusahaan SW Grup ... sedang membutuhkan karyawan, Pak Davin?” tanya Ara cepat.
Davin menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, menatap Ara serius. “Kebetulan, ada. Tapi ... untuk pendidikan—”
“Saya lulusan S1—pernah punya pengalaman di kantoran selama satu tahun,” sahut Ara secepat kilat. “Meskipun gelar akademik dari wanita yang sudah menikah hanya menjadi debu di setiap perusahaan, tetapi, saya siap untuk kembali menunjukkan kesungguhan saya dalam dunia kerja!” jelasnya mantap.
“Kesungguhan karena benar-benar ingin bekerja, atau bekerja hanya karena sekedar ingin cepat-cepat melunasi biaya ganti rugi, kemudian berhenti?” tebak Davin. Ucapan pria itu layaknya peluru yang menembus tepat di dada musuh. Seketika, Ara pun tersedak ludahnya sendiri.
Kalimat itu sangat menohok, mengingat persyaratan yang dilontarkan Harry tadi malam. Ia harus segera berhenti jika masalah ganti rugi tersebut sudah terselesaikan.
Tiba-tiba, Ara teringat akan satu hal. Ia harus memastikan terlebih dahulu akan apa yang sudah mengganggu benaknya sejak semalam siang.
“Saya benar-benar serius ingin bekerja.” Ara menatap Davin penuh keyakinan. “Namun jika berkenan, apa bisa saya diberikan waktu sampai besok pagi? Saya akan memberi kepastiannya besok.”
“Baiklah. Saya hanya bisa menunggu sampai jam makan siang,” jawab Davin.
...****************...
Pagi itu, langit amat cerah. Akan tetapi, tidak dengan perasaan Ara. Dirinya sangat gelisah, sedari ia berdiri di dapur sejak azan Subuh berkumandang. Menyiapkan bekal Harry. Menata dengan hati-hati, seperti biasanya. Nasi, serta lauk-pauk yang sederhana, ia pastikan semuanya rapi, harum, dan hangat. Ini rutinitas yang tak pernah berubah sejak mereka menikah.
Tapi entah kenapa, hari ini ada yang mengganjal. Perkataan Bu Syam tempo hari masih terngiang—“Mana mungkin aku membiarkan Harry mengisi perutnya dengan lauk pauk murahan buatan mu, Ara. Setiap hari, aku memasak menu lezat untuk putra ku. Aku menyiapkan bekal dengan lauk-pauk yang jauh lebih bergizi. Sedangkan bekal yang kau siapkan setiap hari—kami berikan untuk anjing-anjing liar di komplek sini.”
Waktu itu Ara memilih diam. Selain terkejut, Ara masih menganggap itu hanya bualan Bu Syam yang memang tidak pernah menyukainya sejak awal ia resmi menjadi menantu di keluarga itu. Tapi sekarang ... Ara benar-benar ingin tahu kebenarannya.
“Mas berangkat dulu.” Harry mengulurkan punggung tangannya. Ara lekas mencium dengan takzim. “Coba lamar-lamar di swalayan aja, jangan di kantor-kantor. Zaman sekarang, perusahaan nggak ada yang mau menerima karyawan baru dengan status sudah menikah. Kamu tau itu, ‘kan?”
Ara diam saja, enggan menanggapi. Dan, setelah Harry melaju dengan motornya, Ara pun buru-buru menyusul Harry—melewati jalan pintas, menuju kediaman Bu Syam. Ara ingin memastikan semuanya. Apa benar, setiap pagi Harry bertandang ke rumah sang ibu dan menukar bekal buatannya.
Setibanya di sana, Ara bersembunyi di balik pohon kecil, mengintai tak jauh dari pagar rumah itu. Degup jantungnya mengalahkan bunyi burung di pepohonan manakala ia melihat motor Harry terparkir di sana.
Dan benar saja ... suaminya itu tengah menikmati sarapan di teras rumah sang ibu. Tak lama, Bu Syam muncul dari dalam rumah, mengenakan daster bunga-bunga yang sama seperti kemarin. Senyumnya sumringah, matanya menatap Harry dengan kebanggaan. Di tangannya, ada kotak bekal. Tentu kotak bekal yang berbeda.
Namun yang membuat dada Ara bak tertusuk belati adalah, Harry menyerahkan bekal yang ia buat—lalu menerima bekal baru dari tangan ibunya. Hancur sudah perasaan Ara.
“Di habisin ya. Jangan sentuh makanan yang dibuat sama istrimu itu. Udah nggak enak, nggak bergizi pula.” Ucap Bu Syam sambil menunjuk kotak bekal yang disiapkan Ara.
Harry tersenyum. “Iya, Bu, iya. Ibu jam berapa berangkat kerja?”
“Setengah jam lagi lah, biar bareng Ayah mu,” jawab Bu Syam.
Harry mengangguk-angguk, lalu ia menoleh pada sang adik yang bersandar di sisi pintu.
“Mas, bagi uang jajan dong.” Dwi mengulurkan tangannya.
“Duit mulu kamu ini.” Harry mengeluarkan dompetnya, dan memberikan Dwi selembar uang merah.
“Dikit amat, Mas. Ini mah cuma cukup buat beli cilok. Ogah banget makan—makanan orang susah kayak begitu.”
“Hussh, itu makanan kesukaan kakak ipar mu lho,” Bu Syam tergelak.
“Najis banget punya kakak ipar kayak dia, Bu. Aku ya, kalau Mas Harry cerai sama tuh mandul, bakal syukuran tujuh hari tujuh malem!” sembur Dwi. Sang ibu semakin tertawa terbahak-bahak.
“Kamu ini ngerempongin urusan rumah tangga orang aja ya,” omel Harry.
“Ya iyalah, wajib—biar hidup nggak jenuh-jenuh amat. Eh Mas, buruan ngantor sana. Ada kejutan yang udah nunggu,” celetuk Dwi.
“Kejutan? Kejutan apaan?” Harry mengernyit.
“Ada deh. Buruan sana pergi. Empettt aku liat muka mu, Mas,” cibir Dwi.
“Asem!” sembur Harry. “Bu, Harry berangkat dulu ya. Itu bekalnya Ara, bantu diurus ya, Bu. Kayak biasa.”
Harry mencium punggung tangan sang ibu dengan takzim.
“Gampang itu. Anjing-anjing komplek pasti udah pada nungguin,” kata Bu Syam dengan senyum khasnya.
Tak lama, setelah Harry benar-benar berangkat. Ara melihat dengan mata kepalanya sendiri saat Bu Syam menghamburkan bekal buatannya ke beberapa ekor anjing liar di pojok taman komplek. Anjing itu menggonggong, menggoyang ekor, menyambut makanan itu seolah itu rejeki yang luar biasa.
Ara terhenyak, ia tidak tau—siapa yang lebih menyedihkan sekarang. Anjing liar yang hampir setiap hari menunggu makanan sisa ... atau dirinya?
“Tega kamu, Mas!” Air matanya pun menetes.
Ara menunduk. Sesak mulai menyelinap masuk ke relung dada, ia lekas berbalik badan. Ara tak mampu menahan laju air mata yang menitik. Langit masih cerah, tapi Ara? Ia tenggelam dalam badainya sendiri.
Dengan tangan bergetar, Ara merogoh ponsel dari saku jaket. Mencari satu nama yang ia harap, ini lah langkah pertama untuk ia kembali berdiri.
“Hallo … apa saya boleh langsung bekerja hari ini?”
*
*
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
istianah istianah
semoga kudo'akan akan terwujud ara jdi cerai sama si haryy...
biar adiknya syukuran 7 hari 7 malam ,😅😂😂
2025-05-14
1
Saadah
Harry, emak, dan adik nya satu frekuensi. Otak mereka di telapak kaki!
2025-05-12
2
Saadah
Bantuin kagak, jatuhin mental nomor satu. Dasar Gilak.
2025-05-12
2