Bab 3

Karan tersenyum kecil, lalu menyesap teh hangat yang baru saja dihidangkan pelayan.

Uapnya mengepul pelan, seperti malam yang sejenak berhenti berlari.

"Kerja di mana, Mas?" tanya Puri pelan, matanya menatap gelas teh miliknya, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang belum sepenuhnya reda.

"Di mitra BUMN ," jawab Karan, santai. "Tapi kadang juga ambil kerja sampingan antar barang. Lumayan, buat tambah-tambah."

Puri mengangguk, tampak kagum. "Capek dong, Mas, kerja terus?"

Karan tertawa pelan. "Capek, iya. Tapi aku suka. Soalnya aku ngerjain yang aku ngerti dan suka. Lagian, kalau ada yang harus dikejar, capeknya jadi nggak terlalu kerasa."

"Yang dikejar?" Puri menoleh, sedikit bingung.

Tatapan Karan berpaut sebentar pada matanya.

“Mimpi. Dan kadang... orang yang bikin mimpi itu makin berarti.”

Puri tercekat sejenak. Entah kenapa, kata-kata itu menampar hatinya dengan lembut—seolah ada makna yang lebih dari sekadar obrolan warung malam hari.

Untunglah, makanan datang tepat waktu memecah suasana.

Puri tersenyum canggung saat pelayan meletakkan piring di hadapan mereka.

Karan buru-buru membuka sendok dan menggeser piring mie goreng ke arahnya.

"Makan, biar nggak masuk angin," ucapnya.

"Terima kasih, Mas," gumam Puri.

Malam terus bergulir, ditemani obrolan ringan dan tawa kecil yang perlahan mencairkan kecanggungan.

Di bawah lampu temaram warung tenda, dua hati yang baru bertemu itu mulai menemukan irama yang sama.

Setelah selesai makan, Karan merapikan sisa-sisa makanan di atas meja dan memanggil pelayan untuk membayar.

Puri yang sedari tadi memperhatikan, buru-buru berkata,

“Biar aku aja yang bayar, Mas. Kan aku diajak.”

Karan hanya mengangkat alis dan menatapnya sambil tersenyum.

“Enggak usah, Pur. Anggap aja ini malam traktiran pertama. Nanti kamu bisa balas kalau kita makan bareng lagi,”

Puri hanya bisa tersenyum, tak membalas apa-apa. Tapi hatinya berdesir.

Kalimat itu… "kalau kita makan bareng lagi"—seolah mengisyaratkan bahwa ini bukan pertemuan terakhir mereka.

Setelah membayar, Karan berdiri dan menatap langit malam sejenak.

“Langitnya cerah, ya. Padahal dingin begini, biasanya mendung.”

Puri ikut menatap ke atas. “Iya… kayak tenang banget. Tapi tetap dingin.”

“Kalau dingin, peluk aja yang bikin hangat,” seloroh Karan pelan, lalu menatap Puri yang langsung menunduk malu.

“Ayo, aku antar pulang,” lanjutnya, kali ini dengan nada lebih lembut.

Mereka kembali ke motor. Saat Puri naik ke boncengan, ia merasa tangannya sudah lebih ringan memeluk pinggang Karan.

Tidak seperti tadi, seolah malam itu telah mencairkan jarak yang sebelumnya tak terlihat.

Sepanjang jalan pulang, tak banyak kata yang terucap.

Tapi dalam diam, ada rasa yang tumbuh perlahan. Sebuah kenyamanan yang sulit dijelaskan.

Dan ketika motor akhirnya berhenti di depan rumah Puri, ia hampir tak rela malam itu usai begitu saja.

“Terima kasih, Mas. Untuk semuanya,” ucap Puri sambil turun dari motor.

Karan menatapnya sebentar, lalu berkata, “Kalau butuh sesuatu… atau cuma mau ngobrol, hubungi aku aja, ya?”

Puri mengangguk, lalu melangkah masuk. Tapi sebelum menutup pagar, ia menoleh sekali lagi.

Karan masih berdiri di sana, di atas motor, menatapnya dengan senyum kecil yang sulit dilupakan.

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Puri tidur dengan senyum yang tak bisa ia tahan.

Puri masuk ke rumah perlahan, memastikan tak membuat suara.

Ia melihat sang mama yang sudah tertidur pulas di sofa, televisi masih menyala dengan volume kecil. Senyum tipis menghiasi wajahnya.

Ia segera mematikan televisi, lalu menarik selimut untuk mamanya dengan hati-hati.

Tanpa banyak suara, ia masuk ke kamar. Hatinya masih hangat dengan percakapan tadi bersama Karan.

Namun kantuk tak bisa ditahan lebih lama. Ia merebahkan diri, memeluk bantal, dan perlahan tenggelam dalam tidur yang tenang.

******

Keesokan harinya di kampus, Puri langsung menuju kelas.

Matanya masih sedikit berat dan pagi ini ia memaksa untuk kuliah walaupun tubuhnya sedikit demam.

Begitu ia duduk, Yudha datang menghampiri dengan wajah canggung.

Ia berdiri di samping meja Puri sejenak sebelum akhirnya membuka suara.

“Puri… aku minta maaf soal semalam. Aku harus pulang buru-buru ke rumah."

Puri menoleh sebentar, lalu mengangguk pelan.

“Nggak perlu minta maaf. Aku ngerti kok, Yud.”

Yudha tampak lega, meski ada sesuatu yang belum sempat ia ungkap.

Tapi sebelum sempat melanjutkan pembicaraan, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu.

Om Sasongko, dosen mata kuliah kelistrikan otomotif, masuk ke kelas sambil membawa beberapa kertas dan laptop.

“Selamat pagi semua. Hari ini kita akan mulai materi baru: kelistrikan mobil modern. Siapkan catatan kalian, karena ini akan jadi dasar penting buat proyek akhir nanti.”

Kelas pun segera tenang. Puri membuka bukunya, berusaha fokus meskipun pikirannya masih sedikit melayang—tentang malam tadi, tentang Karan, dan tentang sesuatu yang mulai tumbuh tanpa ia sadari.

Suasana kelas pagi itu terasa padat tapi fokus. Om Sasongko menjelaskan dengan semangat tentang sistem kelistrikan mobil masa kini—dari ECU, relay, hingga sensor-sensor penting yang menentukan efisiensi kendaraan.

Puri mencatat dengan serius, sesekali melirik ke arah Yudha yang duduk satu bangku di sebelahnya.

Meski tadi sudah berdamai, ia masih bisa merasakan sedikit keanehan.

Yudha tampak gelisah, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi belum menemukan waktu yang pas.

“Baik, kelas selesai. Jangan lupa minggu depan bawa komponen sensor kalian masing-masing untuk praktik,” ucap Om Sasongko sambil merapikan barang-barangnya.

Begitu kelas bubar, mahasiswa mulai keluar satu per satu.

Puri mengemasi bukunya pelan-pelan, lalu berjalan menuju ke luar kampus.

Namun langkahnya terhenti saat dari kejauhan ia melihat sosok yang sangat familiar berdiri di dekat motor Yudha.

"M-mas Karan...." gumam Puri.

Puri terkejut sesaat. Ia mengenali jaket hitam dan helm yang digenggam di tangannya.

Yudha yang berjalan di samping Puri juga memanggil cepat,

“Karan! Maaf ya, tadi kelasku lama.”

Karan menoleh dan tersenyum. “Nggak apa-apa. Aku cuma mau ambil kunci motor yang kemarin kamu pinjam.”

Puri berdiri terpaku. Tatapan mereka bertemu, dan Karan tersenyum kecil.

“Eh… Puri?” Karan menyapa santai, seolah tak terkejut sama sekali.

Yudha yang menyadari keterkejutan Puri langsung berkata,

“Eh iya, kalian kenalan juga ya? Ini Karan, sahabatku dari SMA,"

Puri hanya bisa mengangguk, masih berusaha mencerna kenyataan bahwa pria yang semalam mengajaknya makan adalah sahabat dekat dari teman kampusnya sendiri.

“Dunia sempit, ya,” gumam Karan sambil tertawa kecil, lalu menoleh ke Yudha.

“Makasih motornya, Bro. Lain kali kau yang gantian antar aku makan malam.”

Yudha hanya terkekeh. “Siap.”

Karan lalu menatap Puri sebentar. “Senang ketemu kamu lagi, Pur. Jaga diri, ya.”

Puri membalas dengan senyum tipis. “Iya, Mas.”

Karan pun pergi setelah menerima kunci, meninggalkan dua orang yang kini terdiam di tengah parkiran yang perlahan sepi.

Yudha menatap Puri sebentar. “Kamu kenal Karan dari mana?”

Puri menoleh padanya. “Kebetulan... ketemu semalam.” ucap Puri yang tidak mengatakan kalau ia sudah menolong Karan saat mobilnya mogok.

Yudha hanya mengangguk. Ada sesuatu di wajahnya—sedikit bingung, sedikit penasaran.uat tambah-tambah."

"Maaf aku tidak bisa mengantarkan kamu pulang, Masih ada urusan sebentar," ucap Yudha

"Iya tidak apa-apa, " ujar Puri.

Yudha melajukan motornya dan ia meninggalkan Puri yang masih ada di parkiran.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!