Tiap gerakannya, setiap senyumnya, lesung dipipinya, membuat waktuku seakan berhenti begitu saja. Aku buta, karena duniaku telah berpusat padanya. Hanya padanya.
_________________________________
Detik demi detik terasa begitu sangat lama sekali, sedangkan aku tidak tahu lagi apa yang sedang dibicarakan oleh Profesor Duchen Calahan, sesuatu tentang Prosa? Entahlah, aku terus sibuk memandangi jam di dinding 8.30 saat ini. Sial, jantungku berdebar lebih cepat jika aku gugup. Pertandingan Nathan hanya 30 menit lagi, apa aku bisa tepat waktu sampai disana? Aku tidak ingin terlambat menyaksikan pertandingan itu, lebih tepatnya aku tidak ingin terlambat untuk memberikan dukungan sebelum dia bermain.
"Baiklah, sekian pertemuan hari ini, jangan lupa tugas minggu depan adalah mereview jurnal." Prof.Calahan mengingatkan kembali.
Karena aku benar-benar tidak sanggup menunggu lagi meski hanya satu menit, aku langsung berlari keluar dari kelas. Aku yakin, Profesor Calahan heran dengan tingkahku. Tapi, siapa yang peduli? Aku selalu mengerjakan tugasnya dengan sangat baik!
Aku tergesa-gesa sehingga berlari sekencang ke gedung pusat olahraga. Keluar dari gedung tempat kelasku berada, aku harus melewati satu blok lagi, aku terus berlari tapi rasanya begitu lamban meski aku sudah menambah kecepatanku. Mungkin setelah ini aku harus diet. Demi Tuhan, kenapa gedung itu begitu jauh. Kenapa Manchester University sangat luas?
Setelah berlari begitu jauh, akhirnya aku berhasil masuk kedalam gedung ini. Banyak orang yang sudah duduk di tribun, bersorak untuk tim yang mereka dukung. Aku menoleh ke kanan, lalu ke kiri, menyusuri seluruh isi gedung hanya untuk mencari rambut gelap ikal milik Nathan.
"Dimana dia?" Gerutuku, lalu kulihat lagi jamku, 8.55. Seharusnya tiap tim sudah bersiap di tempatnya masing-masing. Aku mencarinya lagi, ketika semua orang bersorak karena tim pandu sorak sudah mulai menari.
"Mencariku?" Suara Nathan mengejutkanku, hingga aku terperanjat. Aku langsung berbalik, dan mendapatinya berdiri di belakangku, ia begitu tinggi sekali jika dibanding denganku yang tidak lebih tinggi dari bahunya.
"Kufikir aku terlambat," ujarku dengan nafas yang ngos-ngosan, "kenapa kau baru masuk?" Tanyaku.
"Aku baru saja ke toilet, apa kau berlari kemari?" dia berbalik tanya saat menangkap wajahku yang mungkin penuh dengan keringat. Merengkuhnya dan dia menunduk sedikit agar wajah kami mendekat.
"Yeah, aku tidak ingin melewatkan satu menitpun!" Jawabku sambil mengangkat bahu. Sesaat kemudian, dengan telapak tangannya Nathan mengusap keningku yang penuh dengan peluh.
"Jangan membuat dirimu sendiri kepayahan, lihatlah wajahmu yang jelek jadi lebih jelek," ujarnya yang masih mengusap dahiku.
Berdiri begitu dekat dengan Nathan, aku bisa mencium aroma tubuhnya, ia beraroma Mint yang sangat segar sekali. Membuatku ingin memeluknya!
Sadarlah, Mary!!!
Aku menggelengkan kepalaku perlahan, membuang fikiran aneh itu dari kepalaku. Lalu kutatap Nathan, ia mundur satu langkah, memiringkan kepalanya untuk menatapku dengan lembut.
"Aku akan memenangkan pertandingan ini, Mary!" Janjinya, lalu ia berlari sembari mrlambaikan tangan kearahku kemudian bergabung dengan timnya yang menggunakan pakaian berwarna biru dan kuning.
Tunggu. Nathan berlari dengan aneh, seperti kakinya terluka. Aku tidak salah, kakinya terluka. Kenapa? Kemarin baik-baik saja..
Kemarin.
Sial. Aku teringat sesuatu.
Ini pasti karena dia menangkapku saat aku terjatuh kemarin. Dia menyembunyikan lukanya dariku agar aku tidak merasa bersalah? Kenapa dia begitu bodoh sekali, dan kenapa aku begitu bodoh untuk tidak menyadarinya?
Aku menghela nafas, jika Nathan tidak bisa bertanding dengan baik hari ini. Itu adalah kesalahanku. Andai saja aku tidak terjatuh, dan dia tidak menangkapku maka semua ini tidak akan terjadi.
Aku berjalan ke tribun untuk mencari tempat duduk. Menembus kerumunan, akhirnya aku menemukan bangku kosong, di tengah-tengah, tapi cukup untuk melihat Nathan dari atas sini.
Pertandingan sudah dimulai, kedua tim sudah memasuki lapangan. Pandanganku hanya terarah pada Nathan. Berharap dia baik-baik saja. Dia harus baik-baik saja.
Tim lawan menggiring bola, ia cukup lincah untuk melewati beberapa orang, tapi terhalang oleh Nathan, dan dia berhasil untuk merebut bola itu. Nathan berlari dengan kakinya yang terpincang, aku yakin dia menahan rasa sakitnya. Melihatnya begitu bersusah payah membuat hatiku serasa seperti mencelos.
Semoga dia baik-baik saja. Itulah mantra yang kuucapkan terus menerus secara berulang.
"Nathannn! Kau bisa!" Teriakku.
Nathan melompat, ia melemparkan bola itu dan masuk ke ranjang. Saat Nathan mendarat, ia terhuyung dan hampir jatuh namun ia masih sanggup menahannya. Aku bernafas lega, dan berharap pertandingan ini segera berakhir.
Pertandingan ini berlanjut dengan jantungku yang berpacu lebih cepat saat Nathan berlari menggirin bola atau saat ia melompat untuk memasukkan bola, dan aku kesal apabila orang-orang didepanku bersorak sambil berdiri dan menghalangi penglihatanku.
Di akhir pertandingan, nilai penentuan di menit terakhir, Nathan kembali bisa merebut bola. Ia berlari menggiring bola, namun kali ini ia tak berlari jauh, ia berada diluar garis. Dia akan butuh usaha lebih jika ingin memasukan bola ke dalam ranjang. Rasanya seperti slow motion, aku bisa melihat bagaimana Nathan menekuk lututnya dengan bola di tangannya, ia kemudian melompat dan bola itu melayang jauh dan masuk kedalam ranjang dengan sempurna.
"YEEEAAAAAHHHH!!!" teriakku sambil berdiri, lalu aku memeluk orang disampingku, entah siapa dia.
Kemudian aku berlari menembus orang-orang yang tengah bersorak karena tim Nathan menang. Aku menuruni tribun langsung pergi ke tempat tim Nathan berada. Langkahku terhenti, saat aku melihat tim medis berlari melewatiku. Jantungku serasa berhenti. Pandanganku mengikuti mereka, kemudian mereka berlari ketengah lapangan dan mengangkat tubuh, tubuh Nathan!!
Kembali aku berlari, aku menuju ke arah tim medis itu. Benar saja, Nathan yang berbaring di tandu. Ia menutup wajahnya dengan tangannya.
"Kami harus membawanya ke Rumah Sakit segera." Ujar Salah seorang tim medis yang mencegahku, Nathan menyingkirkan tangannya dan melihatku. Ia tersenyum padaku.
"Aku menang, Mary!" Serunya dengan seringaian konyol terpasang diwajahnya yang dipenuhi oleh keringat itu.
"Yeah, kau menang, aku tahu." Balasku. "Bolehkah aku ikut?" Tanyaku pada petugas medis itu.
"Dia akan menemaniku." Kata Nathan pada petugas medis.
Aku mengikutinya dan masuk ke dalam ambulance. Pandangan mataku tak beralih dari kaki Nathan yang terluka. Ini salahku, dia terluka karena aku dan menutupinya karena aku. Bagaimana jika hal buruk terjadi padanya? Bagaimana jika ia tidak mendapatkan posisi kapten tim basket karena aku?
"Berhenti khawatir, Mary, aku tidak akan mati." ujarnya bercanda, "wajah cemasmu itu sangat tidak cocok denganmu." Katanya lagi.
"Tidak lucu, Natty" Aku memukul dadanya dan Nathan hanya tertawa kecil. "Bagaimana jika kau-"
"Aku baik-baik saja" Selanya sambil menepuk pundakku. "Kau tau aku ini kan kuat,"
Sesaat kemudian kami sampai di rumah sakit dan Nathan langsung dibawa ke ruang unit gawat darurat. Sedangkan aku menunggu di lorong. Rasa khawatirku tak membantuku sama sekali, aku hanya takut jika kakinya terluka sangat parah, dan membuat karirnya berakhir. Apa yang akan kulakukan jika itu terjadi padanya?
Setelah menunggu sekitar 30 menit akhirnya seorang perawat menemuiku.
"Apa kau yang bernama Mary?"Tanya Perawat itu.
"Yeah?"
"Pacarmu memintamu untuk menemuinya"
Pacar?? Nathan?
"Ya, dimana aku bisa menemuinya? Apa semua baik-baik saja?" Tanyaku.
"Semuanya baik-baik saja, hanya mengalami dislokasi sendi saja, dia akan sembuh dalam 1 bulan." Tutu perawat itu sembari menunjukkanku dimana tempat Nathan dirawat.
Saat perawat menyibakkan tirai putih, Nathan duduk di ranjang dengan kaki menggantung. Aku bisa melihat kakinya di pasang gips. Aku menghela nafas lega, sedangkan anak bodoh itu tersenyum seperti orang konyol padaku.
"Hei." Ucapku dengan canggung yang bercampur khawatir.
"Hei." Balasnya
"Bagaimana, apakah buruk??" Aku masih menatap kakinya yang digantung itu.
"Tidak, hanya dislokasi saja" Balasnya sambil mengangkat bahu. Aku kemudian duduk disampingnya.
"Kau tidak akan memberitahuku kan?" Tanyaku.
"Dan membuatmu menyalahkan dirimu sendiri? Tentu saja tidak!" Balasnya.
Aku hanya bisa menghela nafas dengan kasar. Aku tidak pernah berhasil jika berdebat dengannya, dia lebih keras kepala daripada yang bisa dibayangkan.
"Aku minta maaf." Aku benar-benar menyesal karena membuatnya terluka seperti ini.
"Hentikan itu Mary Poppins, atau aku tidak akan bicara lagi padamu!" Ancamnya.
"Seandainya kau bisa" Aku tertawa dan dia ikut tertawa denganku
Tiba-tiba Nathan berhenti tertawa sembari memandangiku. Lalu ia meletakkan telapak tangannya yang besar itu diatas kepalaku dan mengusap rambutku perlahan.
"Selama kau ada di sisiku, semuanya akan baik-baik saja." Ujarnya, aku tidak menyetujuinya. Karena dia terluka karena diriku, namun untuk menyenangkan hatinya aku pun mengangguk sembari tersenyum padanya.
"Nah, begitu. Senyum itu lebih cocok padamu daripada wajah cemberutmu." Katanya lagi, "sudah jelek lalu cemberut, hanya menyakiti mata saja." Imbuhnya lagi.
"Kau juga jelek,"
To be continued,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Anonymous
brarti natham dbw ke st mary's hospital yg deket UM...oxford road y..
2022-09-14
0
Tuti Hamisyah
next
2021-07-29
0
Bibit Iriati
marry atuh cinta pada sahabat sendiri...
lanjut
2021-01-12
0