Episode 5

Fly berdiri dengan senyuman lebar ke arah seorang wanita paruh baya yang beberapa hari lalu memarahinya karena telah menghilangkan selembar kertas.

“Kenapa?” tanya dosen itu, sedikit ketus.

“Barang-barang ibu kayaknya berat banget. Boleh saya bantu bawakan, Bu.” Fly menawarkan diri, setelah beberapa hari lalu diomelin habis-habisan.

Wanita bernama Bu Nindy itu mengernyitkan dahi. Lantas menatap Fly dari ujung kepala sampai ujung kaki, “Kuat juga mentalmu setelah saya bentak di hadapan banyak orang.”

“Justru saya merasa harus melakukan ini, Bu. Sebagai cara saya untuk meminta maaf dan memperbaiki kesalahan yang saya perbuat tempo hari.”

Di kelas, Fly memang terkenal sangat aktif dan rajin. Ia selalu mengerjakan tugas tepat waktu. Banyak teman kelasnya yang sering bertanya tentang materi yang tidak dipahami. Sehingga, sebenarnya bu Nindy menjadikan Fly mahasiswi kesayangannya. Hanya saja pembawaannya yang senantiasa galak itu tidak mampu membuatnya menampakkan rasa sayang itu. ia melakukannya dengan caranya.

Walaupun demikian, sebenarnya memiliki niat terselubung ketika menawarkan diri untuk membawakan barang bu Nindy. Ialah untuk melihat Gen. satu hal yang ia ketahui. Ternyata Gen juga suka pulang terlambat. Mereka berdua sama-sama sengaja menunggu teman-temannya pulang dan kelas-kelas sudah sepi. Itulah yang membuat Fly yakin bahwa saat ini Gen pasti masih ada di kelasnya.

“Ya, sudah. Ini, bawakan saya laptop sama buku besar itu,” pinta bu Nindy.

“Siap, Bu,” ucap Fly sambil hormat.

Bu Nindy tersenyum tipis. Teramat tipis hingga Fly tidak mampu menyadarinya.

“Ayo, kok masih diam di situ?” tanya bu Nindy heran, karena Fly masih mematung melihat bu Nindy yang sudah sampai bingkai pintu.

“Duluan aja, Bu. Sebentar lagi saya nyusul. Barang-barang saya masih berserakan di meja. Mau saya masukin dulu.”

Bu Nindy mengangkat bahu. Baiklah.

Padahal, Fly sengaja meminta bu Nindy duluan karena ia tidak ingin ketahuan sedang mencari Gen.

Setelah beberapa menit wujud bu Nindy berlalu, Fly segera keluar dari kelas di lantai dua itu. lantas berjalan cepat menyusuri tangga sambil memantau koridor di lantai bawah. Tempat yang biasa dilintasi Gen ketik datang dan pulang.

Perempuan itu terus berjalan, sampai pada akhirnya ia sampai di depan kelas Gen. Ia melirik lewat jendela. Ada!

Gen tampak sedang membaca buku. Bukan buku tempo hari tentunya. Benar. Buku khutbah jumat milik Gen masih ada pada Fly. Itulah mengapa ia meminta bu Nindy untuk pergi duluan.

“Assalamu’alaikum,” ucap Fly sambil berdiri dengan sedikit gemetar pada depan pintu yang terbuka.

Gen menoleh. Tatapan yang membuat Fly menari-nari dalam keheningan yang tidak seorang pun mengetahuinya. Kawanan kupu-kupu menemani sanubarinya. Jantungnya berdegup semakin kencang ketika lelaki itu semakin meretas jarak setelah beranjak dari kursinya.

“Wa’alaikumussalam.” Gen menjawab, tetap tanpa ekspresi.

“Maaf, aku lupa mengembalikan bukumu,” ucap Fly sambil menyerahkan sebuah buku bersampul putih.

“Oh, astaga. Aku kira ada di mana. Terima kasih, ya,” ucap Gen, hanya terfokus ke arah buku itu.

Lagi-lagi ia melihat Gen dari jarak dekat. Tinggi mereka berbeda sekitar sepuluh sentimeter.

Barang-barang bu Nindy diletakkan Fly di bangku panjang, tempat di mana ia pernah melihat Gen membaca buku. Ia langsung beranjak untuk mengambilnya dan hendak pergi dari tempat itu. walaupun hatinya meronta ingin terkurung di sana selama-lamanya. Asalkan tetap ada Gen.

“Mari,” ujar Fly sebelum akhirnya berlalu.

Ia bahkan tidak melihat bagaimana reaksi Gen saat ia mengucapkan itu karena ia langsung melangkah.

“Maaf!” ucap Gen di sela langkah cepat Fly.

Tentu saja mampu membuat rem kaki Fly bekerja seketika, “Iya?” tanyanya sembari menoleh perlahan.

“Namamu, siapa?”

“Panggil saja, Fly.”

“Fly? Baiklah. Terima kasih, Fly.”

Fly mengangguk cepat. Dilanjutkan dengan langkah cepat. Bersamaan jantungnya yang berdegup cepat. Ya, hanya saja pembicaraan dengan Gen terlalu cepat selesai. Hanya itu bagian cepat yang tidak menyenangkan.

___ ___ ___

“Fly!” panggil Vio.

“Hm?”

“Besok mau ke pengajian lagi, nggak?”

“Aduh, kayaknya nggak bisa deh.”

“Kenapa?”

“Yui mau ke sini.”

“Mau ke sini, mulu. Tapi nggak jadi-jadi.”

“Kalau besok jadi, kok. Soalnya waktu itu harusnya bisanya sore. Tapi karena kita pengajian, aku suruh malam. Tapi ternyata, dia malam-malam malah dikunjungin adiknya.”

Vio mengembuskan napas panjang. Ia tahu betul alasan Fly menolak. Sebab saat keluar dari masjid setelah pengajian tempo hari, ia melihat jadwal pengajian beserta penceramahnya yang tertempel di dinding teras. Pada esok hari, bukan Gen penceramahnya. Vio juga melihat Fly memfoto jadwal itu. Pasti untuk melihat pada hari apa saja Gen menjadi penceramah. Sebenarnya, Vio merasa khawatir dengan Fly. Ia takut Fly akan melakukan hal yang lebih konyol hanya untuk bertemu Gen.

“Memangnya nggak bisa suruh malam aja? Besok temanya bagus, loh. Tentang nasihat untuk remaja yang sedang jatuh cinta sebelum menikah.”

“Iya, sih. Tapi mau gimana lagi, ya. Aku nggak enak sama Yui.”

“Ajak aja Yui ke pengajian,” ujar Vio, bergurau.

“Yang bener, aja.”

Vio tertawa. Walaupun hatinya risau.

Benar saja. Minggu-minggu berlalu tanpa terasa. Fly hanya datang ke pengajian ketika Gen yang mengisi. Di luar itu, ia selalu beralasan ini dan itu. Padahal, pada hari pertama mereka mengikuti pengajian tersebut, Fly mau-mau saja diajak sekalipun ia tidak mengetahui siapa yang mengisi pengajian. Namun, seiring berjalannya waktu, ia justru terlena dengan itu. Ia benar-benar menjadi konyol sekarang. Hanya karena merasakan cinta sepihak. Sebab Gen sama sekali tidak pernah menunjukkan perasaannya terhadap Fly. Bahkan terhadap siapapun.

“Vio, ayo ke pengajian,” ajak Fly suatu hari.

“Tapi kamu lagi flu berat.”

“’Kan ada masker.” Fly menjawab mantap, sambil menahan ingusnya agar tidak keluar.

Sebuah jawaban yang membuat Vio menepuk kening. Perempuan itu lantas mengambil sebuah gelas dan mengisinya dengan air panas dicampur sedikit air putih biasa di dispenser. Lalu menyerahkannya pada Fly.

“Sembuh dulu, ya. Takutnya nanti demam. Di luar hujan. Kamu keseringan hujan-hujanan.” Vio berkata lembut.

“Lagian, udah aku ajak sebelum hujan kamu lama banget.” Fly protes.

“Namanya juga lagi panggilan alam,” jawab Vio sambil cengengesan.

Mendengar jawaban itu, Fly cemberut sembari mengambil gelas berisi air hangat yang diberikan Vio. Lalu meminumnya perlahan.

Raut wajah Fly tampak gelisah. Ia benar-benar tidak sabar ingin meihat Gen. Ujung-ujung kakinya terus bergerak. Tangan kirinya diremas kuat sekali. Entah apa yang sedang ia alami.

“Kenapa, Fly? Kedinginan?”

Fly menggeleng.

“Terus?”

“Pengen ke pengajian, Vio. Ayo.” Fly merengek seperti seorang anak kecil.

“Mau ngapain ke pengajian, hah?” tanya Vio tegas.

“Mau lihat… mau menambah ilmu agama, lah,” jawab Fly hampir keceplosan.

Sesaat, Vio berjalan menuju jendela. Ia membuka jendela itu lebar-lebar, “Sini, Fly.”

“Mau ngapain?”

“Sini aja, cepet.”

Baru beberapa langkah menuju tempat Vio berada, Fly sudah bersin berkali-kali. Vio segera menutup jendela yang dimasuki angin kencang itu.

“Paham, ‘kan. Aku kenal kamu bukan setahun dua tahun. Tapi udah dari pertama kali aku mengenal dunia. Wujudmu sudah muncul di hadapanku,” ucap Vio.

“Apaan, sih.”

“Kamu yang apaan, sih. Memangnya buat siapa kamu bela-belain menerjang hujan? Gentala?”

Lengang sejenak. Menyisakan suara hujan dan angin. Fly menyadari betapa konyolnya dirinya. Dia bahkan tidak menyadari bahwa tingkahnya terlalu gampang ditebak. Siapapun akan menyadari itu ketika ia berada di posisi yang sama dengan Vio.

“Salah, ya? Nggak pantes, ya? Kalau aku diem-diem suka sama cowok perfect kayak Gen?”

Vio menelan ludah. Lantas menarik napas panjang. Langkahnya berhenti di depan Fly.

“Nggak salah. Tapi harus bijak. Padahal, waktu pertama kali aku mengajakmu ke pengajian kamu mau-mau aja. Padahal nggak tahu siapa yang mengisi. Tapi, setelah tahu bahwa ada orang lain yang mengisi, kamu malah mulai kehilangan semangat dan mengandalkan jadwal Gentala untuk mengisi semangat itu. Coba sekarang kamu renungkan, apakah niat kamu benar atau tidak?” tegas Vio ke arah Fly.

Fly menunduk. Membayangkan kebodohan yang selama ini ia lakukan.

“Sejak kapan kamu tahu?”

“Sejak lembaran Al-Qur’an yang kamu baca kian berkurang.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!