Artha mengembuskan napas kasar, belum sepenuhnya menerima hukuman dari papanya. Dia merengut. Merengek pada mamanya tentu malah kena amukan. Mamanya itu klop banget sama papanya. Demen menghukum Alka.
Ketika Artha berjalan melewati ruang tamu, terdengar suara motor berhenti tepat di depan rumahnya. Segera Artha berlari melihat siapa yang datang. Saat itu juga senyum mengembang melihat motor Julian terparkir dengan pengendaranya baru melepas helm. Tuh, kan, bener! Julian tadi izin sakit saat sekolah, tapi sore ini malah sudah nongol di rumah Artha. Bener-bener perkataan anggota Geng Mahattan enggak ada yang bisa dipercaya.
"Pa, Kak Artha mau kabur!" Suara Nova adik perempuan Artha satu-satunya melengking, membuat Artha membulatkan mata. Demi apa memiliki adik tukang ngadu.
Namun, belum sempat Artha memarahi Nova, derap langkah kaki Ravindra terdengar tegas membuatnya lebih memilih kabur seperti apa yang Nova katakan.
"Arthaaaa!" teriak Ravindra yang sudah hampir
menyerah menyikapi sikap putranya.
"Keluar bentar, Pa! Cari angin!" kata Artha
dengan suara meninggi seraya mengenakan helm.
Ravindra hanya menggeleng menatap motor sport milik Julian sudah menjauh membawa putra sulungnya pergi.
Sementara di sisi lain, kehidupan yang sangat jauh berbeda dari seorang Artha, yaitu pada sebuah rumah kontrakan sempit yang terletak di ujung gang. Ada sebuah keluarga yang hanya terdiri dari ibu dan seorang anak perempuan.
"Ma, samponya habis!" Teriakan itu terdengar dari arah kamar mandi, membuat wanita paruh baya yang tengah menyiapkan bekal untuk dirinya bekerja sif malam menghentikan kegiatan.
"Masih bisa kasih air, Nai. Nanti juga keluar busanya." Astaga, ini sudah kali kedua botol sampo itu dicampur air supaya bisa dipergunakan lagi.
"Tapi ini sudah pernah diisi ulang pake air, Ma!"
"Enggak apa kali, Nai. Diisi lagi, terus kocok
kocok yang kenceng. Nanti juga masih bisa keluar busa." Sudah kepalang tanggung, rambut sudah basah, tetapi sampo tidak ada. Terpaksa gadis itu mengikuti arah mamanya.
"Ah, aku benci kemiskinan!" Selalu aja itu yang Naira ucapkan.
"Makanya kerja keras, Nai. Jangan malas
malasan! Rajin belajar, biar bisa banggain Mama."
Walaupun ibu dan anak itu berada di tempat yang berbeda, yaitu satu di kamar mandi dan satunya berada di dapur, tetapi mereka masih bisa bercengkerama. Ya, sesempit itu kontrakan yang dihuni.
"Tapi Mama tiap hari kerja keras, kenapa kita enggak kaya-kaya?"
Wanita itu mengembuskan napas kasar. "Ya, kan uangnya buat makan, Nai. Sama buat bayar uang sekolah kamu. Kerja keras itu kewajiban, kalau kaya itu bonus."
"Kenapa Tuhan enggak ngasih kita bonus kaya, ya, Ma?" Suara Naira terdengar bersamaan guyuran air yang disiram menggunakan gayung lope-lope. Namun, tetap saja masih bisa didengar oleh mamanya.
Sejak kematian sang papa, Naira Ayudhia hanya tinggal berdua dengan Mamanya. Rumah mewah yang menjadi tempat tinggal mereka harus raib disita bank karena hutang yang menumpuk. Usaha papanya bangkrut dan meninggalkan banyak hutang. Terpaksa mama Naira, Maya menjual segala aset yang ditinggalkan sang suami untuk melunasinya.
"Ngeluh mulu kamu, Nai. Buruan mandinya! Udah telat Mama!"
Seperti biasa, Naira mengantar mamanya untuk bekerja sif malam di sebuah pabrik rokok. Dia sebenarnya tidak tega melihat mamanya yang dulu hanya sebagai ibu rumah tangga, kini harus bekerja banting tulang demi kelangsungan hidup mereka berdua.
Apalagi saat sif malam, ketika semua orang sedang menikmati tidur nyenyak, Maya justru harus menjelikan mata demi mengerjakan tuntutan pekerjaan agar tidak melakukan kesalahan.
"Jemput Mama sebelum berangkat sekolah!"
kata Maya setelah turun dari motor.
Naira mencium punggung tangan Maya sebelum berpamitan. Dia segera menyalakan mesin motor, meninggalkan area pabrik rokok menuju jalan raya.
Langit mulai menggelap. Sinar rembulan tertutup awan hitam pekat. Udara dingin terasa menusuk kulit. Naira menatap ke atas sesekali guna memeriksa cuaca yang mendadak berubah.
Rintik hujan tiba-tiba turun membasahi wajahnya. Belum terlalu jauh dari pabrik, tetes-tetes hujan berubah lebat dan deras mengguyur kota. Naira mempercepat laju roda duanya agar segera sampai. Namun, keputusannya itu justru membuat jaketnya basah kuyup karena tidak mengenakan jas hujan.
Udara semakin dingin diiringi angin berembus kencang, Naira memilih menghentikan motornya di dekat kompleks perumahan warga. Tampak pohon berdaun rimbun yang di bawahnya terdapat tempat untuk berteduh dengan lembaran aluminum yang ditopang empat pilar besi membuat Naira segera menepikan roda duanya.
Setelah berhasil memarkirkan motor, Naira melepas jaket hoodie yang sudah basah. Beruntung kaus yang dia kenakan masih bisa terselamatkan sehingga hawa dingin itu tidak terlalu menyiksa tubuh.
Baru beberapa menit berteduh, pengendara motor lain turut menepikan kendaraannya. Helm full face dilepaskan dan diletakkan pada stang motor, membiarkan benda bulat itu kehujanan, sementara si pengendara motor menepi dan berdiri di samping Naira.
Pengendara itu adalah Artha. Dia membawa motor Julian untuk membeli sesuatu. Namun, saat diperjalanan pulang, dia malah terjebak hujan.
Sungguh hari yang sangat apes.
"Anjir!" umpat Artha ketika sebuah truk lewat mencipratkan genangan air sehingga membuat bajunya kotor penuh lumpur. Dia mengibas ngibaskan tangan pada pakaiannya yang basah dan kotor.
Naira mengernyit saat matanya melirik ke samping di mana cowok yang berusia sepantaran dengannya tampak melepaskan kaus tanpa tahu malu. Tubuh putih bersih dengan otot liat terpampang di depan mata membuat Naira memilih membuang muka.
"Ngapain lo lepas baju segala! Gosah macam macam, ya?" ucap Naira sembari menutupi sebelah wajahnya dengan telapak tangan.
"Macam-macam? Sama lo? Idih, najis!"
"Lo yang najis." Naira mendengkus, tak terima dengan perkataan Artha. Dia cantik, punya harga diri tinggi.
"Sok ganteng!"
Artha sedang memeras kausnya yang baru saja dibasuh menggunakan air hujan, berharap dengan begitu lebih cepat kering, seketika menoleh ke arah Naira.
"Apa lo bilang?"
"Enggak. Gue enggak bilang apa-apa."
Artha menggeleng pelan, kembali melanjutkan memeras pakaian hingga airnya tersisa sedikit.
"Cewek aneh!"
Memutar bola mata, Naira lebih memilih menatap ke bawah di mana tanah basah tergenang oleh air hingga naik pada sendal jepitnya. Hujan tak lagi sederas tadi, tetapi kondisi tanah dan jalan sudah penuh genangan air kotor. Mungkin sebentar lagi dia bisa pulang dan mengistirahatkan diri.
Cukup menunggu beberapa menit lagi, gadis itu
yakin jika bisa pulang tanpa harus basah-basahan.
Syukurlah! Naira tidak perlu berlama-lama dengan cowok sok kecakepan di sampingnya. Namun, ada yang aneh ketika kakinya merasakan
sesuatu menggelitik.
Naira menggerakkan kaki, mengangkat betis untuk melihat benda apa yang sejak tadi bergerak gerak pada kakinya. Saat itu juga matanya membulat penuh, terlonjak dengan menghentakkan kaki ke tanah yang tergenang air sehingga terciprat pada celana Artha.
Belum sempat Artha membentak, Naira berteriak lantang terlebih dulu.
"Aaah, kecoa!" Terlalu terburu-buru dan panik, Naira justru terpeleset tanah becek membuat
tubuhnya jatuh menabrak dada bidang Artha.
Tentu saja di luar kendali karena belum sempat membuat ancang-ancang sehingga ketika tubuh mereka bertabrakan, keduanya terjatuh ke belakang di mana semak-semak tumbuh liar di sana.
Mata Artha dan Naira saling mengatup. Tubuh mereka tumpang tindih dengan Naira berada di atas tubuh Artha. Sesaat kemudian mata mereka terbuka hampir bersamaan, bertemu pandang dalam beberapa waktu. Belum sempat keduanya
berpindah posisi, dua orang ibu-ibu yang baru saja turun dari angkot memergoki mereka.
"Hei, apa yang kalian berdua lakukan?"
Detik itu juga Naira berguling menyamping, membebaskan Artha yang sejak tadi berada di bawahnya. Melihat Artha bertelanjang dada dan Naira yang basah kuyup dengan kaus putih polos
menerawang, membuat ibu-ibu itu histeris.
"Astagfirullah! Kalian mesum ternyata!"
Artha dan Naira menggeleng. Namun, keduanya tak bisa menjelaskan apa-apa karena detik itu juga suara melengking ibu-ibu membuat banyak orang berkerumun mengerubungi mereka.
Suasana menjadi tegang. Naira hanya bisa menunduk saat semua orang menatapnya dengan pandangan menuntut. Berbeda dengan Artha, dia bersikap santai seolah tiada suatu hal besar yang akan terjadi. Dia yakin jika papanya datang, semua masalah akan beres.
"Tidak ada tapi-tapian. Anak muda zaman sekarang pacarannya kelewat batas. Ayo, kita bawa mereka ke balai pertemuan," ucap salah seorang warga yang ikut terprovokasi oleh kesaksian ibu-ibu tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments