Ch : Tiga

Setelah seharian bekerja, alih-alih pulang ke kediaman Arka seperti yang seharusnya, Raya justru memilih kembali ke rumah orang tuanya. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sesuatu yang harus ia pastikan langsung.

Saat membuka pintu rumah, aroma kayu manis dan kopi hangat menyambutnya — aroma yang selalu membuatnya merasa nyaman, tapi kali ini justru membuat hatinya semakin sesak.

Di ruang tamu, Sarah, ibunya, duduk dengan santai sambil membaca majalah.

Melihat kehadiran Raya, wanita itu hanya mengangkat alis. "Tumben pulang."

Raya langsung mendekat, tanpa basa-basi.

"Mama," katanya, menahan nada suaranya agar tidak terdengar terlalu bergetar. "Aku ingin tanya sesuatu."

Sarah menutup majalahnya, menatap anak gadisnya dengan ekspresi datar.

"Apa?"

"Apakah Mama yang meminta Arka menempatkanku di proyek baru?" sergah Raya, suaranya lebih nyaring dari yang ia maksudkan.

Sarah tidak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berdiri, berjalan pelan ke arah jendela, menatap ke luar.

"Apa yang salah dengan itu, Raya?" balasnya, tenang namun penuh tekanan. "Sudah seharusnya kau mendapatkan sesuatu dari semua pengorbananmu."

Raya menggeleng cepat. "Tapi sudah cukup hanya dengan magang di sana, Ma! Dengan kemampuanku, bukankah sudah sangat bersyukur aku bisa diterima magang di perusahaan sebesar Xander Corp?"

Sarah menoleh, menatap putrinya dengan tatapan tajam yang belum pernah Raya lihat sebelumnya.

"Kenapa kau bodoh sekali, Raya," gumam Sarah, suara getirnya menggema di ruangan. "Kau pikir cukup dengan magang? Dengan kerja keras? Dunia tidak seadil itu, Raya. Kau harus memanfaatkan kesempatan ini sebelum Amara kembali."

Amara. Nama itu membuat dada Raya terasa sesak.

"Kau harus menjadi karyawan tetap di sana," lanjut Sarah, penuh ambisi. "Memiliki jabatan tinggi, menikmati kehidupan yang layak, hidup mewah seperti yang seharusnya kau dapatkan. Kau berhak mendapatkan itu semua, Raya!"

"Tapi bukan dengan cara ini!" bentak Raya, air mata mulai memenuhi pelupuk matanya. "Bukan dengan cara mengemis pada mereka!"

Sarah mendekat, meraih bahu Raya dengan genggaman yang erat.

"Dengar, Raya," bisiknya tajam. "Kau sudah terikat. Tidak ada jalan mundur. Lakukan ini untuk masa depanmu. Untuk kita."

Raya menarik napas gemetar, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman ibunya. "Aku menikah bukan untuk jadi alat, Ma. Aku—"

Kalimat Raya terputus ketika suara tapak kaki ringan terdengar, disusul Hendra yang melangkah masuk ke ruangan.

Raya buru-buru menyeka air matanya dengan punggung tangan.

"Raya, kenapa tidak memberi kabar kalau mau pulang?" ujar Hendra, suaranya penuh kehangatan. "Kalau Papa tahu, Papa pasti sudah minta Mbak menyiapkan semua makanan kesukaanmu."

Ucapan itu membuat dada Raya terasa sesak.

Inilah yang membuat Amara begitu membencinya sejak dulu. Amara merasa kehilangan sosok ayahnya ketika Raya hadir dalam kehidupan mereka. Dan Raya sangat menyadari luka itu, betul-betul paham.

Karena itulah, selama bertahun-tahun, Raya memilih menjaga jarak. Ia menahan diri untuk tidak terlalu dekat dengan Hendra, bahkan ketika hatinya sendiri merindukan sosok seorang ayah. Ia menahan keinginannya untuk bercerita, untuk sekadar berbagi tawa atau keluh kesah. Semuanya demi menjaga perasaan Amara.

Dan kebiasaan itu tetap ia pertahankan sampai sekarang, meski Amara tidak ada di rumah.

Raya segera berdiri, tersenyum kecil seolah tidak terjadi apa-apa.

"Maaf, Pa. Tadi Raya hanya sebentar. Tidak sempat kasih kabar," katanya sopan, menjaga nada bicaranya tetap formal, seolah ada tembok yang tak kasat mata di antara mereka.

Hendra menatap putrinya itu dengan ekspresi yang sulit dibaca, ada sedikit kekecewaan di matanya. Namun ia hanya mengangguk, memilih untuk tidak memaksakan kehangatan yang sepertinya memang sengaja dijaga jaraknya oleh Raya.

"Kamu mau Papa antarkan pulang?" tawarnya.

Raya menggeleng cepat. "Tidak usah, Pa. Raya bisa sendiri."

Sarah yang sedari tadi diam, melirik ke arah Raya dengan tatapan tajam namun tersamar. Ia tahu, Raya sedang berusaha menghindar.

"Kalau begitu, makan malam dulu sebelum pergi," ujar Hendra dengan nada memaksa yang lembut.

Raya kembali tersenyum, namun hatinya terasa berat. Ia tidak ingin membuat ayah tirinya kecewa, tetapi ia juga tidak ingin melanggar batas yang sudah ia tetapkan sendiri.

"Maaf, Pa. Lain kali saja. Besok ada tugas yang harus diselesaikan," katanya pelan, kemudian membungkukkan sedikit badannya sebagai bentuk penghormatan.

Tanpa menunggu jawaban, Raya berpamitan dan melangkah keluar, meninggalkan aroma makan malam yang menggoda dari dapur, serta tatapan kecewa dari Hendra yang tak mampu ia lihat.

Di dalam taksi, saat ia menyandarkan kepala ke sandaran kursi, Raya menghela napas panjang.

Entah sampai kapan ia harus terus menjadi orang yang menahan dirinya sendiri.

*

Raya meminta sopir taksi berhenti di depan sebuah supermarket kecil, tak jauh dari apartemen.

Ia turun, membawa tas kecilnya, dan menarik napas panjang sebelum melangkah masuk ke dalam. Lampu supermarket yang hangat menyambutnya, seolah menjadi pelarian sejenak dari segala beban yang memenuhi pikirannya malam ini.

Di antara lorong-lorong rak yang berjajar rapi, Raya memilih roti kesukaannya — roti gandum lembut dengan lapisan cokelat tipis di dalamnya. Ia memeluk bungkus roti itu seperti menemukan sedikit penghiburan.

Setidaknya aku butuh asupan untuk bertahan hidup, batinnya getir, mencoba menertawakan kepahitan yang dirasakannya.

Tak hanya roti, ia mengambil beberapa bahan makanan instan dan sebotol susu cokelat. Ia tahu dirinya mungkin akan terlalu lelah untuk memasak, dan ini cukup untuk membuatnya bertahan beberapa hari ke depan.

Setelah membayar di kasir, Raya keluar dari supermarket dengan langkah ringan, kantong belanjaan bergoyang di tangannya. Udara malam terasa dingin, membuatnya menggulung blazer lebih rapat ke tubuhnya.

Sesampainya di apartemen, suasana sunyi seperti biasa. Apartemen itu terasa terlalu luas dan hening, membuat setiap langkah Raya terdengar jelas.

Arka memang jarang pulang lebih awal. Biasanya, baru lewat tengah malam ia akan muncul, terkadang bahkan lebih pagi, dengan wajah letih dan aura lelah yang sulit disembunyikan.

Raya melemparkan blazernya ke sofa dan berjalan menuju meja makan. Ia membuka satu bungkus roti yang tadi dibelinya di supermarket. Duduk di kursi tinggi, ia menikmati gigitan pertama, rasa manis tipis dari cokelat yang tersembunyi di dalam roti membuat matanya sedikit berbinar.

Namun, rasa kantuk mulai menyerangnya. Ia menguap beberapa kali, matanya semakin berat. Setelah memakan setengah dari rotinya, Raya menyerah. Ia bangkit dari kursi, meninggalkan beberapa potong roti yang belum tersentuh begitu saja di atas meja.

Besok saja dibereskan, pikirnya, terlalu malas untuk kembali ke dapur.

Raya masuk ke kamar dan langsung menjatuhkan diri ke atas ranjang, terlelap tanpa sempat berganti pakaian.

Beberapa jam kemudian, suara pintu apartemen yang terbuka pelan membelah kesunyian.

Arka masuk, membanting kunci ke atas meja dekat pintu. Dasi sudah longgar di lehernya, wajahnya kusut, dan matanya terlihat berat karena kelelahan.

Perutnya keroncongan. Ia melepas jas dan berjalan ke meja makan, berharap menemukan sesuatu untuk mengganjal perut.

Matanya menangkap beberapa potong roti yang dibiarkan begitu saja di atas meja.

Tanpa pikir panjang, Arka meraih salah satu roti tanpa topping — yang tampak sederhana dibandingkan yang lain — dan langsung menggigitnya besar-besar.

To Be Continued >>>

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!