Pria Menyebalkan

Lagi-lagi, waktu memburuku. Aku harus bergerak cepat agar nggak terlambat sampai di kantor. Sayang, otakku sudah kehilangan fokus. Aku melakukan banyak kesalahan sampai menghambat pergerakan.

Aku duduk di pinggir tempat tidur, lalu memejamkan mata. Kuatur napasku agar lebih stabil. Jempol kakiku berdenyut karena terbentur ujung meja. Rasa sakitnya luar biasa, seolah jempol ini akan lepas.

Sayang, aku nggak punya waktu lebih banyak untuk meredam sakit ini. Aku berdiri untuk merapikan blus dan rok. Aku yakin riasan wajahku sudah cukup membuatku lebih segar, terutama bagian kantung mataku yang jadi nggak terlalu mencolok. Selain jempol kaki kiriku yang ngilu, semua aman. Jadi, aku memutuskan menggunakan sepatu yang bagian depannya nggak tertutup agar jempolku nggak semakin tersiksa.

Aku meraih tas, lalu keluar kamar. Mataku membelalak saat melihat kehadiran Leo di pagi hari ini, padahal semalam dia sudah menghabiskan waktu lama bersama keluargaku. Dengan kemeja dan celana wol, Leo terlihat lebih rapi. Pundaknya ternyata lebar dan tegap. Rambut gondrongnya dia ikat, membuat Leo jadi lebih segar.

"Ngapain lo?" tanyaku. Aku nggak bisa mengendalikan diri sampai pertanyaanku terdengar ketus. Tapi, aku nggak punya niat untuk meminta maaf atau memperbaiki apa pun saat ini.

Leo tersenyum lebar sambil menunjuk Ibu yang sedang membungkuk di depan kulkas terbuka. Entah apa yang sedang Ibu letakkan di sana. "Mami nitipin pesenannya Tante Gina." Leo memberikan pencerahan yang justru membuatku penasaran.

"Pesenan?" tanyaku lagi dan tetap terdengar ketus.

Leo mengangkat kedua bahunya. "Nggak tahu. Urusan emak-emak," sahutnya penuh rahasia.

Aku membuang napas berat. Kuabaikan Leo dan apa pun yang dia antarkan pagi ini. "Bu, berangkat dulu," pamitku sambil berlalu.

"Nggak sarapan dulu, Mbak?" tanya Ibu yang masih berada di depan kulkas.

Aku tetap berjalan keluar. "Nggak, Bu. Nggak sempet. Nanti sarapan di kantor."

"Tante, aku sekalian pamit, mau ke kantor." Leo berpamitan pada Ibu. Lalu, terdengar langkah kakinya yang mendekat dengan cepat. "Mbak Prita," panggilnya.

Aku berhenti di teras. "Kenapa?" Aku sengaja menunjukkan nggak tertarik dengan apa pun yang akan dia katakan. Waktuku terbatas. Aku nggak boleh terlambat.

"Berangkatnya bareng aku aja," ajak Leo sambil tersenyum lagi. Dia memang suka tersenyum, tapi kali ini senyumnya membuatku muak. Tangannya terangkat. Kunci mobilnya berayun tepat di depan wajahku. "Ikut aku nyobain mobil baru."

Aku mengalihkan pandangan ke luar pagar. Di belakang mobil kecilku, ada mobil sedan yang terlihat gagah. Warna hitamnya elegan sekaligus mendominasi, seolah meremehkan mobil lain yang ada di dekatnya. Mobil sedanku jadi terlihat seperti barang rongsokan tak berharga.

Dasar bocah! Kenapa dia pamer begini? Mobil itu pasti dia beli dengan uang warisan papinya.

"Wah! Mobilnya keren, Mas Le." Tama tiba-tiba muncul dengan semangat luar biasa, seolah lupa kalau baru saja membuatku marah besar. "Apa itu? Chevrolet Camaro?" Buru-buru, Tama keluar dan menghampiri mobil baru Leo.

"Iya. Mesinnya V6." Leo melewatiku untuk menghampiri Tama. Dia menjelaskan beberapa bagian mobil yang membuatku pusing karena nggak paham. Ekspresinya menyebalkan dengan rasa bangga berlebihan.

Tama sama saja. Apa pun yang berhubungan dengan mesin kendaraan, pasti membuatnya antusias. Ini juga yang menariknya masuk ke berbagai ajang balapan liar. Tentu saja sikapnya ini selalu membuatku harus berhadapan dengan masalah, terutama polisi.

Sekarang, Tama bertemu dengan rekan yang tepat. Leo nggak ada bedanya dengan Tama. Mereka sama-sama kekanakan walau jarak usianya cukup jauh.

Aku mengabaikan dua pria yang sama-sama kekanakan dan menyebalkan itu. Kulewati mereka begitu saja tanpa merasa perlu berpamitan. Aku nggak ada urusan dengan Leo ataupun Tama lagi. Lagi pula, waktuku semakin tipis untuk sampai kantor.

"Mbak Prita nggak jadi bareng?" tanya Leo begitu aku masuk mobil.

Aku tetap bersikap acuh. Kututup pintu mobil dengan kencang untuk menegaskan penolakan tanpa perlu aku mengatakan apa pun. Baru beberapa menit saja, aku sudah muak melihat tingkah Leo. Aku pasti nggak akan tahan berlama-lama ada di sampingnya, di tengah kemacetan dan waktu yang semakin berlari cepat.

Saat mobilku berjalan, ekspresi kecewa Leo sempat kulihat. Harusnya, aku nggak peduli. Tapi, ada kegelisahan yang mengusik hatiku. Aku nggak suka meninggalkannya dengan ekspresi kecewa itu. Tapi, aku nggak bisa berhenti atau mengubah keputusan.

Untungnya, aku masih sempat mengejar waktu. Aku tiba di kantor satu menit sebelum kata terlambat resmi disematkan. Tubuhku lemas begitu aku berhasil duduk di kursiku. Ruangan HRD sudah penuh dan sibuk.

Aku duduk tegak sambil memejamkan mata. Pangkal mataku terasa kencang dan pegal, pasti gara-gara aku kurang tidur. Kupijat pangkal mataku sambil mencoba lebih relaks.

"Mbak Prita," panggil Elita yang sudah berdiri di samping mejaku. Blus biru muda yang dia pakai membuatnya lebih ramping.

"Gimana, El?" tanyaku yang bingung dengan kehadirannya.

Elita tersenyum. Di tangannya ada tumpukan berkas yang nggak terlalu tebal. "Karyawan-karyawan barunya udah pada dateng," jawab Elita sambil memberikan kode untuk segera mengikutinya.

Aku mengangguk, lalu mulai berjalan bersama Elita keluar ruangan. "Id card mereka udah jadi, kan?"

"Udah, Mbak."

"Yang Manajer QC mana? Biar saya yang pegang dia. Kamu nanti urus sisanya, ya." Aku menyodorkan tangan meminta Id card milik salah satu orang baru yang mulai masuk hari ini. Jabatannya setara denganku. Lebih baik, aku yang mengurusnya sendiri, sementara Elita memegang karyawan baru lainnya. "Siapa namanya?"

Elita mengecek id card dalam genggamannya. "Raditya Wirawan," jawabnya sambil menyerahkan benda pipih dengan tali berwarna merah, khas Hantex.

Aku melihat id card yang sekarang dalam genggamanku. Ada foto setengah badan terpampang di sana. Senyum pria bernama Raditya Wirawan ini terlalu kaku. Pandangannya juga nggak meyakinkan, seolah dia ini nggak punya kepercayaan diri yang cukup untuk menyandang jabatan Manajer.

Elita membuka pintu ruang training. Di dalam, sudah ada lima pria yang duduk menyebar. Mereka kompak berdiri begitu aku dan Elita masuk. Mataku tertuju pada pria yang aku yakin bernama Raditya Wirawan. Melihat secara langsung, aku punya penilaian berbeda terhadapnya. Mbak Chiki dan jajaran direksi nggak mungkin salah menerima orang untuk jabatan penting.

Raditya Wirawan punya tubuh tinggi di atas rata-rata. Di ruangan ini saja, dia jadi yang paling menonjol. Rambutnya tertata rapi dengan minyak rambut. Mata kecilnya terlihat lebih berani daripada yang ada di id card.

Pasti dia bukan perokok karena bibir tebalnya terlihat cerah tanpa bantuan pewarna apa pun. Gestur tubuhnya punya level berbeda dengan karyawan-karyawan baru dalam ruangan ini. Dia lebih mendominasi dengan aura hangat yang menyenangkan.

"Selamat pagi," sapaku. "Saya Prita, wakil presiden HRD. Saya ucapkan selamat datang di Hantex. Mulai hari ini, kalian resmi menjadi bagian dari Hantex. Untuk hari ini, akan ada beberapa berkas yang harus kalian lengkapi. Elita yang akan membantu kalian. Setelah makan siang, training pertama akan dimulai sesuai dengan jabatan dan departemen masing-masing."

Aku memandang Elita, lalu mengangguk. Dengan mudah, Elita memahami maksudku. Dia bergerak lincah membagikan lembaran formulir pada semua karyawan baru, lalu id card dan kelengkapan lain.

Aku menghampiri Raditya yang duduk di bagian paling belakang. Dia menyambutku dengan senyuman hangat. "Pak Raditya Wirawan," kataku memastikan.

"Benar," sahut Raditya tegas.

Aku mengulurkan tangan. "Salam kenal. Ini id card Pak Raditya. Khusus Pak Raditya, bisa ikuti saya. Kita langsung ke bagian QC." Aku membalikkan badan ke arah Elita. "El, berkasnya Pak Radit."

Elita menyerahkan beberapa lembar formulir padaku. Dia tersipu saat Raditya memandangnya sambil tersenyum.

"Hus!" tegurku sambil melotot pada Elita.

Elita meringis, lalu berbisik, "ganteng, Mbak." Sebelum aku menyentil dahinya, Elita sudah kabur dan kembali serius pada empat pria lain dalam ruangan.

"Formulir ini silakan diisi. Nanti, Bapak bisa kembalikan ke saya atau Elita. Secepatnya, ya, Pak." Aku menunjuk pintu. "Silakan. Kita ke ruangan QC sekarang."

Raditya mengayunkan tangan untuk memintaku berjalan lebih dulu. Senyum tipisnya terasa ramah dan bersahabat.

Aku mendahului keluar ruangan. Tapi, begitu sampai di luar, Raditya berjalan di sampingku. Tubuh jangkungnya menjulang. Aku merasa seperti berjalan bersama tiang bendera.

"Bu Prita," panggil Raditya.

"Ya," sahutku. "Training untuk manajer QC dijadwalkan di jam yang sama, setelah makan siang. Nanti, saya ajan beritahu di mana ruangannya."

"Bajunya bagus." Raditya mengatakan hal yang terlalu nggak masuk akal untuk obrolan tentang pekerjaan di hari pertama kami bertemu.

Aku menghentikan langkah, lalu mendongak untuk bisa memandang wajah Raditya. Dia tersenyum lebar sampai kedua matanya menyipit. Wajahnya terlihat tanpa dosa, padahal baru saja mengucapkan sesuatu yang nggak kupahami.

Aku memandang penampilanku karena merasa Raditya cuma sedang menyindirku. Kemeja biru mudaku memang bukan baju baru. Aku sudah membelinya sejak tahun lalu saat ada diskon besar. Tapi, kemeja ini masih bagus dan nggak ada lubang yang mengganggu. Rok yang gunakan juga sopan di bawah lutut. Warna beige yang lembut ini aku suka banget karena membuat kulitku terlihat cerah.

Harusnya, nggak ada yang salah dengan penampilanku. Tapi, apa maksud Raditya?

"Bu Prita cantik dengan warna ini." Seperti memahami keresahanku, Raditya menjelaskan lebih lanjut.

Aku tertawa. "Maksudnya gimana, ya, Pak?" tanyaku dengan nada tinggi. Aku sama sekali nggak paham maksud pria ini. Kenapa dia tiba-tiba menyebutku cantik?

Kedua alis Raditya terangkat. "Ada yang salah dengan pujian saya?" tanyanya bingung. "Saya cuma mengatakannya dengan jujur."

Aku ingin mendebat niat Raditya. Tapi, aku merasa ini bukan waktu yang tepat untuk bersikap buruk pada karyawan baru. "Saya rasa itu terlalu berlebihan." Aku lanjut berjalan dengan langkah lebih cepat.

Dengan mudah, Raditya menyamai langkahku. "Saya rasa nggak ada yang berlebihan. Bu Prita memang cantik. Wajah, penampilan, aura, segalanya punya porsi yang pas untuk Bu Prita."

Aku harus segera menjauh dari pria bernama Raditya Wirawan ini. Aku rasa kali ini Mbak Chiki dan direksi melakukan kesalahan besar dengan menerima dia sebagai pemegang kekuasaan kedua di departemen QC.

Terpopuler

Comments

kalea rizuky

kalea rizuky

leo suka Prita kayaknya

2025-07-29

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!