Pagi itu langit Jakarta muram. Awan kelabu menggantung berat di atas markas besar kepolisian kota. Kapten Merlin berdiri tegap di ruang sidang internal, berhadapan langsung dengan Komandan zen—atasan tertinggi di divisi kriminal khusus.
Di belakang Komandan Heru, duduk tiga perwira senior lain sebagai panel. Wajah mereka tegang, sebagian terlihat enggan menatap Merlin langsung.
Komandan zen(nada tajam):
"Kapten Merlin, Anda bertanggung jawab penuh atas gagalnya pengamanan bukti kasus Chen. Semua bukti menghilang dalam pengawasan Anda!"
Merlin (tenang namun tegas):
"Saya tidak sendiri dalam kasus ini. Dan saya yakin—sangat yakin—ada orang dalam yang membersihkan semua jejak."
Perwira 1:
"Itu hanya dugaan. Tanpa bukti, Anda sedang menyalahkan institusi."
Merlin (menatap panel):
"Bukan institusi yang saya salahkan. Tapi individu yang menggunakan institusi sebagai tameng."
Komandan Zen menggebrak meja.
Komandan zen:
"Cukup! Anda bukan jaksa! Bukan pula pengadilan! Anda hanya seorang kapten yang sekarang sedang diselidiki!"
Keheningan sejenak menyelimuti ruangan.
Komandan zen(dingin):
"Mulai hari ini, Anda diskors selama tiga bulan. Serahkan semua akses, senjata, dan identitas dinas. Anda bukan bagian dari penyelidikan ini lagi."
Merlin diam sejenak. Ia menggenggam lencana dan pistol dinasnya. Dengan tenang, ia meletakkannya di atas meja.
Merlin (pelan):
"Jika saya harus keluar dari dalam untuk membongkar ini… maka saya akan melakukannya."
Komandan Zen tak menjawab. Tatapan matanya dingin.
Merlin melangkah keluar dari ruang sidang. Di koridor, Reno sudah menunggu dengan wajah cemas.
Reno:
"Buk... skorsing? Serius?"
Merlin (mengangguk):
"Resmi. Aku ‘libur’ sekarang. Tapi bukan berarti kita berhenti."
Reno:
"Mau ke mana sekarang?"
Merlin menatap langit yang mendung di luar jendela kaca.
Merlin:
"Ke tempat yang tidak diawasi. Kita tetap jalan. Tapi mulai sekarang... kita main di luar sistem."
Di pangkalan ojek, Dika duduk bersila sambil menghitung receh dan lembaran ribuan yang masih bau bensin.
Rendi, teman satu pangkalan, duduk di sebelahnya sambil ngudud.
Rendi (tersenyum nakal):
"Mau kawin lagi ya, Mas? Wajahmu bahagia amat hari ini."
Sebelum Dika menjawab, Pak Jaka—ojek senior yang rambutnya sudah dipenuhi uban—langsung menyela.
Pak Jaka (menggeleng):
"Hus, anak muda. Sok tau aja. Belum juga punya istri udah ngomong kawin lagi."
Rendi tertawa.
"Gimana kalau kita cari hiburan dulu, Mas? Wanita malam, misalnya? Biar nggak stres ngojek terus."
Dika menghela napas panjang. Ia menatap langit yang mulai gelap.
Dika (pelan):
"Kalau untuk maksiat... aku udah capek. Maunya sih cari istri yang solehah. Yang bisa diajak hidup susah bareng."
Pak Jaka ikut mengangguk serius.
"Nah, itu baru omongan laki-laki. Kamu, Ren, pikirannya maksiat mulu. Mending uang ditabung buat nikah, bukan buat syahwat."
Sebelum diskusi bertambah dalam, HP Dika berbunyi—notifikasi dari aplikasi ojek.
Dika:
"Nah, ada orderan, doain lancar ya!"
---
Beberapa menit kemudian, di tengah perjalanan menuju toko elektronik di Jalan Rawa Timur, motor Dika tiba-tiba mogok. Mesinnya mati seperti kehilangan tenaga. Dika turun dan coba mengutak-atik sebentar.
Dika (kesal):
"Duh... bukan waktu yang tepat mogoknya, nih."
Ia segera menelpon Rendi.
Rendi (di seberang):
"Santai aja, Mas. Aku ke situ sekarang."
Tak sampai lima belas menit, Rendi datang membawa peralatan seadanya. Setelah periksa sebentar, ia tersenyum.
Rendi:
"Cuma busi aja, Mas. Longgar."
Dika (leganya bukan main):
"Syukurlah, kirain ada yang serius."
Saat Rendi memasang kembali busi, Dika memperhatikan lingkungan sekitar. Matanya tertumbuk pada kantor polisi di ujung gang.
Dika (bergumam):
"Kok kayak ada yang aneh, ya..."
Rendi:
"Apanya?"
Dika:
"Ah, bukan urusanku."
---
Dika kembali melanjutkan perjalanannya. Tujuan: Toko Elektronik Mega Jaya—tempat yang sama yang pernah dirazia polisi saat penggerebekan kasus judi online.
Tapi ada yang janggal.
Toko itu tertutup rapat, tapi banyak orang lalu lalang di depan dan sekitarannya. Beberapa memakai jaket gelap, sebagian terlihat mencurigakan.
Dika (dalam hati):
"Aneh… toko tutup, tapi rame. Siapa yang mereka tunggu? Atau... lagi ada 'transaksi'?"
Namun, ia menepis pikirannya.
Dika:
"Ah, bukan urusan gue. Yang penting pesanan sampai."
Di sebuah warung kopi dekat kantor, Reno duduk sendirian. Di depannya, dua gelas kopi sudah dingin. Satu untuk dirinya, satu lagi seharusnya untuk Merlin—tapi wanita itu tak kunjung datang.
Ia menatap layar ponselnya. Ada pesan singkat dari Merlin beberapa jam lalu:
> “Aku diskors. Jangan kontak dulu. Hati-hati, Ren.”
Reno mengumpat pelan. Ia masih tak percaya. Merlin? Diskors? Karena tidak profesional? Itu tuduhan konyol. Ia tahu betul siapa Merlin. Wanita itu memang keras kepala, tapi punya nyali dan integritas lebih dari separuh isi kantor.
Reno (dalam hati):
"Ini bukan soal prosedur... ini pasti soal siapa yang dia sentuh."
Ia membuka kembali berkas-berkas digital yang ia simpan diam-diam dari hasil investigasi bersama Merlin. Ada nama-nama tersamarkan. Beberapa nomor rekening yang terhubung ke jaringan judi. Dan satu hal yang paling membuat bulu kuduknya merinding: nama seorang pejabat tinggi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika—inisialnya "F.S."
Reno menatap layar.
"F.S... Kau siapa sebenarnya?"
---
Beberapa jam kemudian, Reno bertemu dengan Bang Ijul, informan dari dalam jaringan bawah tanah.
Ijul (dengan suara pelan):
"Kau masih mainin kasus itu, Ren? Yang bikin Merlin kena skors?"
Reno:
"Lo tahu siapa yang main belakang?"
Ijul tertawa kecil.
"Gue cuma tahu ini, Bang: ada nama besar yang takut dibongkar. Pejabat yang punya saham di salah satu situs judi online yang digerebek. Katanya dia backup beberapa orang dari dalam kepolisian juga."
Reno:
"Jadi mereka sengaja jatuhin Merlin..."
Ijul:
"Biar kasusnya mandek. Satu orang idealis hilang, tinggal ganti sama orang yang bisa diajak kerja sama."
Reno mengangguk pelan. Aroma busuk itu makin terasa kuat.
Reno (dalam hati):
"Kalau Merlin disingkirkan, giliran gue selanjutnya. Tapi gue nggak bakal tinggal diam."
---
Malamnya, Reno menyusup masuk ke ruang arsip digital kantor. Ia tahu risikonya. Tapi ini satu-satunya cara membongkar siapa yang ada di balik permainan ini.
Di balik layar komputer tua itu, ia menemukan sebuah file terenkripsi—dengan nama proyek:
“Silent Operation - FS”
Reno memandangi layar laptopnya. Semua data sudah tersusun rapi: nama-nama tersamarkan, aliran dana, dan koneksi ke jaringan judi online yang menyebar seperti gurita. Ia menatap dalam-dalam dokumen itu, lalu menarik napas panjang.
Reno (dalam hati):
"Sudah fix. Ini saatnya."
Ia membuka ponsel, mengetik pesan di WhatsApp:
> "Buk, aku tunggu di café kopi tempat biasa duduk. Ada yang mau ku bahas. Penting."
Setelah menekan kirim, Reno hanya menatap layar ponselnya—menunggu dua centang biru yang tak kunjung muncul. Tapi ia yakin, Merlin pasti membaca pesan itu cepat atau lambat.
---
Di tempat lain...
Merlin sedang duduk di sebuah kamar kos sederhana, jauh dari hiruk pikuk kota. Ia menyamar, mengganti kartu ponsel, dan menyembunyikan jejaknya dari siapapun yang mungkin mengawasinya.
Ponselnya bergetar. Pesan dari Reno masuk.
Ia tersenyum tipis, lalu mengetik balasan:
> "Oke, setengah jam lagi aku sampai. Jangan bawa laptop, cukup flashdisk. Kita harus cepat."
---
Di café kopi tempat biasa...
Reno menunggu dengan secangkir espresso. Pandangannya tajam ke arah jalan. Sesekali ia melihat ke pintu masuk. Sampai akhirnya, Merlin muncul dengan hoodie gelap dan tas kecil di bahu.
Merlin:
"Cepat, Ren. Ceritakan dari awal. Aku rasa waktuku nggak banyak."
Reno menyerahkan flashdisk kecil.
"Semua ada di sini, Buk. Nama-nama yang kita curigai... dan satu yang paling atas: FS. Dia dalangnya."
Merlin menatap benda kecil itu seolah itu kunci dari semua kekacauan.
Merlin:
"Kalau ini benar... maka bukan cuma aku dan kamu yang terancam, Ren. Tapi semua yang terlibat dalam penyelidikan ini."
Reno mengangguk.
"Makanya kita harus nyebarin datanya sebelum mereka sempat tutup mulut kita."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments