Matahari sudah meninggi, menembus celah-celah dedaunan di Hutan Perak dan menciptakan cahaya mozaik di atas altar batu kuno. Liang Feng dan Bai Xue berdiri tegak di hadapan Cawan Arus Roh, yang masih memancarkan kabut bercahaya keperakan. Namun kini, di antara aliran kabut itu, mulai tampak riak-riak gelap yang berdenyut pelan, sisa racun kegelapan yang belum sepenuhnya lenyap.
Di sekeliling mereka, para pertapa berjubah putih-abu-abu membentuk lingkaran, wajah mereka tegang dan penuh kecemasan. Aroma dupa suci bercampur dengan udara lembab dari bebatuan tua di bawah tanah, membuat suasana makin mencekam.
“Keadaan masih genting,” ucap Sang Pertapa Tua dengan suara berat, gema suaranya memantul di dinding batu ruang terbuka. “Energi murni di Cawan telah menurun hampir sepertiga. Jika tidak segera dinetralisasi, seluruh jalur Arus Roh bisa tercemar… dan Hutan Perak akan kehilangan penjaganya.”
Liang Feng menunduk dengan penuh hormat. “Apa yang harus kami lakukan, Guru?”
Tatapan Sang Pertapa Tua tajam seperti sabit. “Ramuan di dalam Cawan sudah mulai bekerja, tapi tidak cukup. Kita butuh kekuatan roh murni. Bai Xue, kau akan memancarkan auramu ke pusat pusaran. Liang Feng, kau akan menyalurkan tanda Tianlong untuk menahan gelombang susulan dari energi negatif.”
Bai Xue, dengan bulu peraknya yang berkilauan, mengangguk pelan. Ia melompat naik ke altar batu tanpa suara, posisinya menghadap langsung ke Cawan. Kabut keperakan menyelimuti tubuhnya, dan dalam sekejap, Liang Feng merasakan getaran lembut di benaknya: “Fokuskan niatmu ke sisi barat laut cawan. Di sanalah korupsi terkuat bersemayam.”
Seorang pertapa muda mendekat membawa sebuah mangkuk kecil berisi bubuk Inti Cahaya, ramuan langka dan hanya digunakan saat darurat besar. Ia meletakkannya hati-hati di samping Cawan, lalu menunduk hormat sebelum mundur.
“Bubuk ini akan memperkuat efek auramu, Roh Penjaga,” ucapnya.
Liang Feng mengambil posisi di belakang altar, berdiri di tengah gelanggang batu. Ia menarik napas dalam, menenangkan pikirannya. Tangan kanannya menggenggam erat pedang bermotif naga putih, sedangkan tangan kirinya mengepal di dada, membangkitkan kekuatan Tianlong Mark. Retakan cahaya hijau-perak mulai merembes dari kulit dadanya, tanda bahwa energi purba naga mulai bangkit.
Di bawah sinar matahari yang menyilaukan, Bai Xue menundukkan kepala, lalu mulai memancarkan aura murninya. Cahaya perak memancar dari tubuhnya, seperti deburan gelombang lembut yang menyapu kabut. Jejaring cahaya membentuk pola kristal es, perlahan-lahan menetralkan noda kegelapan.
Namun sisi utara Cawan masih berdenyut hebat. Kabut di sana memerah kehitaman, menandakan adanya konsentrasi racun yang membandel. Liang Feng menyipitkan mata, lalu mengangkat pedang ke depan, membentuk simbol naga dengan ujung bilahnya.
“Tianlong, lenturkan lendir kegelapan!” serunya lantang.
Kilatan sinar hijau meluncur dari ujung pedang, menembus kabut hitam di sisi utara. Percikan ungu menyala sesaat, lalu pecah menjadi debu halus yang terhisap oleh kabut perak Bai Xue. Tubuh Liang Feng bergetar ketika energi naga bertabrakan dengan kekuatan gelap itu, namun ia bertahan. Kedua tangannya tidak goyah, dan kekuatan Tianlong Mark semakin dikerahkan.
Sang Pertapa Tua menutup matanya, kemudian mulai melantunkan mantra kuno dengan suara rendah namun kuat:
“Dua arus bersatu, satu langit terbuka,
Cahaya purba tenang, gelap luruh sirna.”
Dari ujung jarinya, lingkaran cahaya biru perlahan terbentuk di udara, lalu melayang turun ke atas Cawan. Lingkaran itu melingkari kabut ritual dan mengikatnya, mengatur gerakan partikel kabut yang sebelumnya liar agar menari dalam satu irama yang harmonis.
Pada saat bersamaan, Sang Pertapa Muda menuangkan sedikit bubuk Inti Cahaya ke sekitar kaki Bai Xue. Bubuk itu meledak perlahan, menguarkan percikan cemerlang yang langsung diserap aura Bai Xue. Pancaran peraknya pun menguat tiga kali lipat, dan gelombang aura itu menyebar cepat ke seluruh penjuru altar, menyapu bersih sisa-sisa racun yang tersisa.
Suhu udara menurun. Liang Feng merasakan hawa dingin yang tidak biasa, dingin yang menenangkan, seolah alam semesta sedang memulihkan dirinya. Ia memperkuat kendali atas energi Tianlong, walau tubuhnya sudah mulai letih. Nafasnya berat, tapi gerakan pedangnya tetap halus, menari seakan-akan menyatu dengan angin.
Perlahan-lahan, pusaran merah kehitaman mulai memudar. Riak terakhir dari kegelapan menghilang, tergantikan oleh warna biru keperakan yang bersinar tenang. Aura damai terpancar dari Cawan, dan para pertapa yang menyaksikan mulai meneteskan air mata. Mereka bertepuk tangan pelan, beberapa merapalkan doa-doa syukur.
Sang Pertapa Tua menurunkan tangannya, lalu menatap Liang Feng dan Bai Xue dengan penuh haru. “Kalian telah melampaui ekspektasi kami. Cawan Arus Roh kini kembali bersih dan stabil. Keseimbangan Hutan Perak telah diselamatkan.”
Liang Feng menunduk. Suaranya bergetar oleh emosi. “Semua ini berkat Bai Xue… dan ajaran Nenek Li yang telah membimbing kami.”
Bai Xue turun dari altar. Ia menunduk, lalu meneguk setetes sari aura dari ujung Cawan sebagai bentuk penghormatan dan penyerahan diri sebagai Penjaga Ular Arus. Kemudian ia menoleh ke arah Liang Feng, mata peraknya berkilat lembut, seakan berkata: “Kita berhasil.”
Tiba-tiba, angin berdesir dari arah celah, menggoyang lilin-lilin perak yang mengelilingi altar. Kabut tipis menari di udara, dan dari dalamnya terdengar bisikan lembut:
“Terima kasih… kelak kita bertemu kembali.”
Sang Pertapa Tua memejamkan mata, membiarkan bisikan itu meresap ke dalam jiwanya. “Roh-roh leluhur berbahagia. Keseimbangan telah dijaga.”
Dengan isyarat lembut, ia memerintahkan para pertapa untuk mulai membersihkan sisa-sisa bubuk mantra dan mengembalikan altar ke bentuk semula. Beberapa dari mereka membungkuk kepada Liang Feng dan Bai Xue dengan penuh rasa hormat.
Liang Feng dan Bai Xue berdiri berdampingan di tepi gelanggang batu, menyaksikan matahari sore yang perlahan turun. Cahaya lembut menembus sela pepohonan dan menari di atas dedaunan perak yang berkilauan.
Sang Pertapa Muda mendekat, lalu menunduk dalam. “Terima kasih atas bantuan kalian. Semoga persaudaraan ini terus terjalin dalam kebaikan.”
Liang Feng membalas dengan anggukan. “Kami akan selalu siap ketika Hutan Perak memanggil.”
Bai Xue mengibaskan ekornya pelan. Kilau lembut menyebar dari bulu peraknya, membentuk pola-pola cahaya yang menembus dinding batu, seolah meninggalkan jejak rasa syukur di alam semesta.
Saat mereka melangkah meninggalkan Celah Pertapa, angin kembali bertiup pelan, mengantar mereka dengan gemerisik daun dan nyanyian roh alam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Oertapa jaman dulu
2025-05-24
0