Aira yang fokus di mejanya sedang mengerjakan pekerjaan magang kampusnya. Tiba-tiba di tengah pekerjaan itu terletak kantong plastik yang berisi sterofom. Aira mengangkat kepala yang melihat ke sebelahnya.
"Untuk temanku yang paling rajin bekerja sampai melupakan mengisi perutnya," Nana yang sudah selesai sarapan ternyata tidak melupakan Aira.
"Padahal aku tidak menitipkan apapun," sahut Aira yang kembali fokus pada komputernya.
"Aku tidak menyuruhmu untuk membayar dan juga tidak ada hutang budi, kamu juga terkadang sering memberikan makanan padaku," ucap Nana.
"Baiklah terima karena sudah dipaksa," ucap Aira menggeser makanan itu lebih dekat lagi kepadanya yang membuat Nana tersenyum.
Tiba-tiba terdengar suara pergerakan orang-orang kantor yang tampak berdiri dengan buru-buru. Ternyata ada pimpinan mereka yang hadir dan membuat Aira juga berdiri begitu juga dengan Nana dengan mereka menundukkan kepala.
Pria tampan berkulit putih dengan tinggi 178 cm itu dengan tubuh tegap profesional yang dibalut dengan jas hitam dan terlihat sangat tampan yang karismatik.
Ternyata pria itu yang tak lain adalah Arfandi dan yang benar saja tatapan Arfandi langsung tertuju pada Aira yang masih melihat ke bawah dan melihat ID card yang dikalungkan di leher Aira.
"Selamat pagi semuanya!" sapa pria yang berdiri di sampingnya.
"Pagi. Pak," sahut semuanya.
"Untuk semuanya pak Arfandi hari ini akan mengecek pekerjaan kalian, pekerjaan bulanan dan untuk para karyawan yang magang, secepatnya memberikan laporan audit yang saya perintahkan kemarin," ucap pria di sampingnya berbicara dengan tegas.
Mereka semua menganggukkan kepala yang merasa sebagai karyawan magang karena memang di sana bercampur, karyawan tetap dan magang sementara Aira memang masih magang karena menjalankan tugas kuliahnya dan Nana adalah karyawan tetap di sana yang juga merekomendasikan Aira.
Mereka sama-sama masih berkuliah hanya saja Aira masih menyelesaikan S1 nya dan sementara Nana juga kuliah dalam bidang lain tetapi sudah pernah menyelesaikan s1-nya dengan jurusan lain. Jadi itu yang membuat dua orang itu terlihat dekat karena pertemuan yang tidak sengaja.
"Nana!" pria itu memanggil Nana yang membuat Nana langsung menegakkan posisi berdirinya.
"Iya, Pak!" jawab Nana.
"Kamu pilih satu orang perwakilan karyawan yang magang untuk memberikan laporan kepada pak Arfandi," ucap pria itu yang bernama Antoni.
"Baik pak," jawab Nana.
"Baiklah! kalau begitu kalian lanjutkan pekerjaan kalian!" titah Antoni.
Arfandi bahkan tidak bicara apapun dan mereka berdua langsung pergi.
"Kalau begitu kamu saja Aira yang mewakilkan para karyawan magang,"ucap Nana yang langsung memutuskan.
"Kenapa aku?" tanya Aira tampak keberatan.
"Sudahlah kamu tuh harus terima kalau ada kesempatan yang memperlihatkan kamu itu menonjol, siapa tahu saja kamu bukan hanya magang di kantor ini dan bisa menjadi karyawan tetap. Hey mengingat zaman sekarang pekerjaan itu sulit jadi kamu harus gunakan kesempatan yang ada!" tugas Nana memberikan saran.
"Tapi berada di dalam Perusahaan ini bukan bidang ku," sahut Aira.
"Iya-iya. Kamu memiliki keahlian dalam sastra dan hanya ingin menjadi penulis dan desain ini bukanlah bagian dari kamu. Tetapi kita tidak ada yang tahu bahwa apa yang tidak kita sukai yang justru membawa kita sukses. Sudahlah kamu kumpulkan semua laporan yang dikatakan pak Antoni tadi dan kamu antarkan ke ruangan pak Arfandi," tegas Nana yang tidak memberikan toleransi apapun kepada Aira.
"Iya-iya," jawabnya tampak terpaksa.
"Jangan hanya iya-iya saja. Aku diberikan tanggung jawab untuk memilih yang berarti itu kompeten dan kamu harus tahu pak Arfandi adalah orang yang sangat teliti dan detail. Jangan sampai kamu menumbalkan temanmu ini kepadanya," ucap Nana.
"Yang ada kamu yang telah menumbalkanku," sahut Aira.
"Enak aja menyalahkan," sahut Nana dengan ketus yang membuat Aira tersenyum.
****
Tok-tok-tok-tok.
Aira yang berdiri di depan pintu yang terbuka. Itu adalah ruangan atasan yang tak lain Arfandi.
"Masuk," sahut Arfandi sembari menandatangani beberapa kontrak.
Dengan sedikit gugup Aira melangkah masuk ke dalam ruangan itu yang memang untuk pertama kalinya dia menginjakkan kaki di sana.
"Maaf, Pak. Saya ingin mengantarkan dokumen ini," ucap Aira dengan gugup. Arfandi mengangkat kepala, melihat ke arah Aira.
Arfandi mengulurkan tangannya mengambil dokumen tersebut dan Aira langsung memberikan dokumen tersebut.
"Ini laporan yang dikerjakan karyawan magang," ucap Aira.
Arfandi melihat laporan itu dengan membolak-balikkan.
"Ini sudah cukup bagus, tetapi saya masih ingin yang lebih baik lagi," Arfandi menutup map tersebut dan memberikan kepada Aira kembali.
"Baik. Pak! nanti saya akan coba memperbaikinya," ucap Aira.
"Kerjakan dengan baik dan jangan putus asa. Tidak ada yang tidak bisa dilakukan, dan semua masalah pasti akan selesai," ucap Arfandi.
Perkataan itu seketika saja membuat hati Aira terasa terenyuh. Kata-kata itu terdengar sangat simple dan juga hanya membahas masalah pekerjaan, tetapi entah mengapa dia merasa kata-kata itu seolah kata pribadi untuk dirinya yang memang saat ini sedang putus asa.
"Kamu mendengarkan apa yang saya katakan?" tanya Arfandi.
"Iya. Pak," jawab Aira.
"Baguslah. Saya menunggu laporan kamu dan harus bertanggung jawab atas tugas yang sudah diberikan kepada kamu," ucap Arfandi.
Aira menganggukkan kepala.
"Baiklah, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu," ucap Aira dengan menundukkan kepala dan langsung berlalu.
Arfandi melihat kepergian Aira begitu lama sampai akhirnya sudah tidak terlihat lagi.
Aira jadi kepikiran dengan semua perkataan Arfandi yang membuatnya tampak lesu yang duduk kembali di bangku kerjanya.
"Bagaimana Aira apa semuanya lancar?" tanya Nana.
"Masih ada kesalahan dan Pak Arfandi kurang puas," jawab Aira.
"Apa yang salah?" tanya Nana.
Aira mengangkat kedua bahunya karena memang Arfandi tidak mengatakan apapun.
"Kenapa kamu tidak bertanya, pantas saja kamu hanya beberapa menit saja di dalam ruangan Pak Arfandi," ucap Nana.
"Memang aku harus bertanya apa?" tanya Aira.
"Aira bukankah aku sudah mengatakan kepada kamu menggunakan kesempatan. Kamu harus menjadi karyawan yang ingin tahu dan ingin belajar dari kesalahan. Jadi kalau atasan mengatakan masih kurang bagus dan Kamu harus bertanya maaf Pak bagian mana yang kurang bagus dan nanti saya akan perbaiki," ucap Nana begitu sangat cerewet mengajari Aira.
"Aku tidak kepikiran untuk hal itu. Aku pikir kalau sudah salah maka harus memperbaiki sendiri," sahut Aira.
"Kamu sih memang terlihat seperti tidak memiliki hidup, seperti besok akan mati saja dan tidak ingin tahu apa yang harus dilakukan setelah itu," celetuk Nana yang membuat Aira melihat serius ke arah Nana.
Benar apa yang dikatakan Nana, dia bahkan tidak tahu sampai kapan harus bertahan dan seolah tidak memiliki tujuan.
"Kamu perbaiki saja menurut insting kamu mana yang harus diperbaiki dan nanti kalau disuruh diperbaiki lagi kamu harus benar-benar bertanya," ucap Nana memberikan saran dan Aira tidak menanggapi apapun.
Aira kembali terlihat lesu. Hari-hari Aira memang tidak akan pernah habis jika tidak pernah murung. Banyak sekali yang dia pikirkan dan padahal dia memiliki sahabat dan untuk menceritakan kepada sahabatnya saja Aira merasa sungkan.
Padahal Nana merupakan wanita yang sangat baik dan juga sangat ingin mendengarkan apapun perkataan Aira. Tapi apa boleh buat kepribadian Aira yang selalu merasa tidak enak membuat dirinya harus memendam sendiri.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments