CH - 3 : Langkah Menuju Senja

Langit Semarang sore itu mulai berwarna jingga, dengan semburat ungu yang lembut di ujung cakrawala.

Aira berdiri di tepi sebuah bukit kecil di daerah Ungaran, sekitar 40 menit dari pusat kota. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, membawa aroma rumput dan tanah yang segar.

Di tangannya, dia memegang sebuah kamera pinjaman dari Raka, sementara pria itu sendiri sibuk mengatur tripod beberapa meter di depannya, fokus menangkap momen matahari terbenam.

“Sudah siap, Aira? Cahayanya pas banget sekarang,” panggil Raka tanpa menoleh, tangannya masih sibuk menyesuaikan lensa kamera.

Dia mengenakan jaket denim yang sama seperti hari pertama mereka bertemu, tapi kali ini dipadukan dengan kaus abu-abu dan topi baseball yang membuatnya tampak lebih santai.

Aira mengangguk, meskipun Raka tidak melihatnya.

“Iya, aku siap!” Dia mengangkat kamera, mencoba mengikuti instruksi Raka tentang cara mendapatkan fokus yang tepat.

Ini adalah kali pertama Aira diajak Raka ke salah satu spot fotografi favoritnya, dan dia tidak bisa menyembunyikan rasa antusiasnya.

Setelah pertemuan mereka di kafe beberapa hari lalu, Raka sering mengirim pesan, mengajaknya bicara tentang ide cerita atau sekadar berbagi foto-foto pemandangan yang dia ambil. Dan hari ini, Raka mengajaknya untuk melihat langsung tempat yang sering menginspirasinya.

Bukit itu tidak terlalu tinggi, tapi pemandangannya luar biasa. Di bawah mereka, kota Semarang terbentang luas dengan lampu-lampu yang mulai menyala, menciptakan kontras indah dengan langit senja. Pohon-pohon pinus di sekitar mereka bergoyang pelan ditiup angin, dan suara burung-burung kecil terdengar samar, menambah suasana damai.

Aira merasa seperti berada di dunia lain, jauh dari tekanan deadline dan komentar pembaca yang kadang membuatnya overthinking.

“Aira, coba ambil dari sudut ini,” kata Raka, berjalan mendekat sambil menunjuk ke arah sebelah kiri. Dia berdiri tepat di samping Aira, begitu dekat sehingga Aira bisa mencium aroma sabun colek yang samar dari jaketnya.

“Kalau kamu ambil dari sini, kamu bisa dapetin siluet pohon dengan latar matahari yang tenggelam. Bagus buat inspirasi cerita.”Aira mengikuti arahan Raka, menekan tombol shutter dengan hati-hati. Layar kecil di kamera menunjukkan hasil jepretannya, dan dia tersenyum puas.

“Wah, bagus banget! Aku enggak nyangka bisa dapet foto sebagus ini,” katanya, matanya berbinar.

Raka tertawa kecil, menatap Aira dengan ekspresi hangat.

“Kamu cepet belajar. Aku yakin, kalau kamu sering latihan, kamu bisa jadi fotografer handal. Siapa tahu, nanti kita bisa kolaborasi bikin buku foto yang ada ceritanya.”Aira memandang Raka, terkejut dengan idenya.

“Buku foto? Itu… ide yang keren banget, Raka. Tapi aku enggak yakin bisa nulis cerita yang cocok buat foto-foto sebagus ini.”

“Jangan merendah,” balas Raka cepat.

“Aku udah baca tiga novelmu, Aira. Kamu punya cara bikin pembaca merasa ikut masuk ke dalam cerita. Aku yakin kamu bisa.” Dia tersenyum, lalu kembali fokus ke kameranya, meninggalkan Aira dengan hati yang bergetar.

Mereka menghabiskan waktu hingga matahari benar-benar tenggelam, mengambil puluhan foto dengan berbagai sudut. Aira merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya hari itu, bukan hanya inspirasinya untuk menulis yang kembali, tapi juga perasaan aneh yang mulai tumbuh setiap kali dia berada di dekat Raka.

Pria itu punya cara membuatnya merasa nyaman, seolah dia bisa menjadi diri sendiri tanpa takut dihakimi.

Setelah selesai, mereka duduk di atas tikar kecil yang Raka bawa, menghadap ke arah kota yang kini berkilauan dengan lampu-lampu malam.

Raka mengeluarkan termos dari tasnya, menuang teh hangat ke dalam dua cangkir plastik, dan menyerahkan satu ke Aira.

“Teh favoritku,” katanya sambil tersenyum.

“Semoga kamu suka.”Aira menerima cangkir itu, merasakan kehangatan yang menjalar dari tangannya ke seluruh tubuhnya.

“Makasih, Raka. Hari ini… seru banget. Aku enggak nyangka Semarang punya tempat seindah ini.”

Raka mengangguk, menyesap tehnya.

“Aku suka ke sini kalau lagi butuh tenang. Kadang, dunia desain juga penuh tekanan. Klien yang minta revisi mulu, deadline yang ketat… tempat ini kayak pelarian buatku.”Aira memandang Raka, tiba-tiba merasa ingin tahu lebih banyak tentangnya.

“Raka, boleh aku tanya sesuatu?” katanya hati-hati.

Raka menoleh, alisnya sedikit terangkat.

“Tentu. Apa?”

“Kamu… kok bisa sepositif ini? Maksudku, aku lihat kamu selalu santai, selalu bisa bikin orang di sekitarmu nyaman. Apa sih rahasianya?” Aira tersenyum kecil, tapi ada nada serius di suaranya.

Raka terdiam sejenak, matanya menatap ke arah kota di bawah mereka. Untuk pertama kalinya, Aira melihat ada bayangan di wajahnya, sesuatu yang tidak biasa.

“Sebenarnya… enggak selalu begitu,” katanya pelan.

“Dulu, aku orang yang gampang panik, gampang nyerah. Tapi… sesuatu terjadi, dan itu mengubah cara aku lihat hidup.”Aira tidak berani bertanya lebih jauh, tapi rasa penasarannya semakin besar.

“Apa yang terjadi?” tanyanya lembut, takut kalau pertanyaannya terlalu pribadi.

Raka menghela napas, lalu tersenyum kecil, meskipun senyumnya kali ini terasa sedikit pahit.

“Aku pernah kehilangan seseorang yang penting banget buatku. Adikku. Dia… kecelakaan, tiga tahun lalu. Sejak saat itu, aku belajar buat menghargai setiap momen. Aku enggak mau hidup dalam penyesalan lagi.”Aira terdiam, merasa dadanya sesak. Dia tidak menyangka ada cerita seperti itu di balik sifat ceria Raka.

“Maaf… aku enggak tahu,” katanya pelan, menunduk.Raka menggeleng, menatap Aira dengan mata yang lembut.

“Enggak apa-apa. Justru, aku seneng bisa cerita ke kamu. Entah kenapa… aku merasa nyaman sama kamu, Aira.”Kata-kata itu membuat wajah Aira memanas. Dia buru-buru menyesap tehnya, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang tiba-tiba muncul.

“Aku… juga nyaman sama kamu,” akunya, suaranya hampir seperti bisikan.

Mereka terdiam untuk beberapa saat, hanya menikmati kehangatan teh dan suasana malam yang mulai dingin.

Angin membawa aroma bunga liar yang samar, dan bintang-bintang mulai bermunculan di langit. Aira merasa ada kedamaian yang aneh di dalam dirinya, sesuatu yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.

“Raka, makasih ya udah ajak aku ke sini,” kata Aira, memecah keheningan.

“Aku merasa… entah, kayak ada ide baru yang muncul di kepalaku. Mungkin aku bakal nulis cerita tentang tempat ini.”

Raka tersenyum, kali ini senyumnya kembali hangat seperti biasa.

“Aku tunggu ceritanya. Dan kalau kamu butuh foto buat referensi, bilang aja. Aku siap bantu.”Aira mengangguk, lalu tiba-tiba teringat sesuatu.

“Oh ya, aku lupa bilang. Aku udah upload bab baru novelku yang terinspirasi dari pertemuan kita di kafe. Aku… kasih nama karakternya Raka. Semoga kamu enggak keberatan.”

Raka tertawa, terdengar lega.

“Keberatan? Aku malah tersanjung. Aku bakal baca malam ini juga. Karakter Raka-nya… keren, kan?” Dia menggoda, membuat Aira ikut tertawa.

“Ya Tuhan, jangan terlalu percaya diri,” balas Aira sambil menyikut lengan Raka pelan.

Mereka tertawa bersama, dan untuk pertama kalinya, Aira merasa ada keintiman kecil yang terbentuk di antara mereka.

Malam semakin larut, dan udara mulai terasa lebih dingin. Raka menawarkan jaketnya pada Aira, yang awalnya menolak, tapi akhirnya menerima setelah Raka bersikeras.

“Aku enggak mau kamu masuk angin. Nanti siapa yang nulis cerita buatku baca?” katanya sambil tersenyum.Aira memakai jaket itu, merasakan kehangatan yang masih tersisa dari tubuh Raka.

“Makasih,” katanya pelan, lalu menatap Raka dengan mata yang penuh rasa syukur.

“Aku seneng bisa kenal kamu, Raka.” Raka menatap balik, dan untuk sesaat, ada sesuatu di matanya yang membuat Aira merasa jantungnya berhenti.

“Aku juga, Aira,” jawabnya, suaranya lembut tapi penuh makna.

Mereka akhirnya memutuskan untuk pulang, berjalan berdampingan menuruni bukit dengan langkah yang ringan.

Di dalam hati Aira, ada perasaan baru yang mulai bertunas, perasaan yang manis, tapi juga sedikit menakutkan.

Dia tidak tahu ke mana hubungan ini akan membawanya, tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa siap untuk melangkah, bersama Raka.

Terpopuler

Comments

Miu Nih.

Miu Nih.

untuk bisa masuk ke dalam cerita gitu emang butuh detail yang 'sangat' ,,tapi beda di novel digital itu emang perlu jalan cerita yang cepat tak tak tak gitu biar langsung ngena pembaca...

padahal niatnya ya itu author bikin cerita yang bisa nyentuh, memaknai setiap paragraf, enggak sekedar cerita dan bikin plot... kamu tahu, aku bikin jalan cerita 3 hari itu menghabiskan 15 bab 🤣🤣

2025-04-22

1

lihat semua
Episodes
1 CH - 1 : Pertemuan di Bawah Hujan
2 CH - 2 : Pesan di Pagi Hari
3 CH - 3 : Langkah Menuju Senja
4 CH - 4 : Bayang di Balik Cahaya
5 CH - 5 : Hujan yang Membawa Kenangan
6 CH - 6 : Langkah Pertama Bersama
7 CH - 7 : Retak di Sela Kehangatan
8 CH - 8 : Cahaya di Ujung Terowongan
9 CH - 9 : Ombak yang Menguji
10 CH - 10 : Melodi Laut yang Berbisik
11 CH - 11 : Angin yang Membawa Perubahan
12 CH - 12 : Jarak yang Mengajarkan
13 CH - 13 : Pulang ke Pelukan
14 CH - 14 : Bersama Menyambut Fajar
15 CH - 15 : Langkah Baru di Tengah Hujan
16 CH - 16 : Bayang-Bayang Masa Lalu
17 CH - 17 : Menyusun Puzzle Impian
18 CH - 18 : Warna-Warni Persiapan
19 CH - 19 : Hari yang Dinanti
20 CH - 20 : Bab Baru di Bawah Mentari
21 CH - 21 : Angin Perubahan
22 CH - 22 : Melodi Kehidupan Baru
23 CH - 23 : Harmoni dalam Nada Baru
24 CH - 24 : Melodi Rinai
25 CH - 25 : Tumbuh Bersama Rinai
26 CH - 26 : Ombak Kecil di Dermaga
27 CH - 27 : Nada Cinta yang Abadi
28 CH - 28 : Cahaya Baru di Langit Semarang
29 CH - 29 : Melodi Dua Cahaya
30 CH - 30 : Harmoni Keluarga Kecil
31 CH - 31 : Ombak Kecil yang Tumbuh
32 CH - 32 : Dermaga Masa Depan
33 CH - 33 : Gelombang Impian
34 CH - 34 : Pelabuhan Cinta Abadi
35 CH - 35 : Ombak Kecil Bernama Laut
36 CH - 36 : Angin yang Membawa Cerita
37 CH - 37 : Cahaya di Ujung Dermaga
38 CH - 38 : Ombak yang Berbisik tentang Masa Lalu
39 CH - 39 : Dermaga yang Tak Pernah Lupa
40 CH - 40 : Horison Baru di Dermaga
41 CH - 41 : Gelombang yang Menyatu
42 CH - 42 : Bayang di Balik Ombak
Episodes

Updated 42 Episodes

1
CH - 1 : Pertemuan di Bawah Hujan
2
CH - 2 : Pesan di Pagi Hari
3
CH - 3 : Langkah Menuju Senja
4
CH - 4 : Bayang di Balik Cahaya
5
CH - 5 : Hujan yang Membawa Kenangan
6
CH - 6 : Langkah Pertama Bersama
7
CH - 7 : Retak di Sela Kehangatan
8
CH - 8 : Cahaya di Ujung Terowongan
9
CH - 9 : Ombak yang Menguji
10
CH - 10 : Melodi Laut yang Berbisik
11
CH - 11 : Angin yang Membawa Perubahan
12
CH - 12 : Jarak yang Mengajarkan
13
CH - 13 : Pulang ke Pelukan
14
CH - 14 : Bersama Menyambut Fajar
15
CH - 15 : Langkah Baru di Tengah Hujan
16
CH - 16 : Bayang-Bayang Masa Lalu
17
CH - 17 : Menyusun Puzzle Impian
18
CH - 18 : Warna-Warni Persiapan
19
CH - 19 : Hari yang Dinanti
20
CH - 20 : Bab Baru di Bawah Mentari
21
CH - 21 : Angin Perubahan
22
CH - 22 : Melodi Kehidupan Baru
23
CH - 23 : Harmoni dalam Nada Baru
24
CH - 24 : Melodi Rinai
25
CH - 25 : Tumbuh Bersama Rinai
26
CH - 26 : Ombak Kecil di Dermaga
27
CH - 27 : Nada Cinta yang Abadi
28
CH - 28 : Cahaya Baru di Langit Semarang
29
CH - 29 : Melodi Dua Cahaya
30
CH - 30 : Harmoni Keluarga Kecil
31
CH - 31 : Ombak Kecil yang Tumbuh
32
CH - 32 : Dermaga Masa Depan
33
CH - 33 : Gelombang Impian
34
CH - 34 : Pelabuhan Cinta Abadi
35
CH - 35 : Ombak Kecil Bernama Laut
36
CH - 36 : Angin yang Membawa Cerita
37
CH - 37 : Cahaya di Ujung Dermaga
38
CH - 38 : Ombak yang Berbisik tentang Masa Lalu
39
CH - 39 : Dermaga yang Tak Pernah Lupa
40
CH - 40 : Horison Baru di Dermaga
41
CH - 41 : Gelombang yang Menyatu
42
CH - 42 : Bayang di Balik Ombak

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!