"Tuan putri, tuan putri!"
Sumi terlihat terburu-buru masuk ke kamar Nala di pagi hari, bahkan saat ayam jantan belum berkokok.
"Apa?" tanya Nala ketus.
Dia sungguh tidak nyaman tidur dengan bantal setinggi cita-citanya itu. Bantal keras dan tebal itu membuat lehernya sakit.
Melihat wajah Nala yang tidak senang. Sumi langsung gemetaran ketakutan. Dia bukan satu dua tahun tinggal bersama dengan tuan putrinya itu. Dia tahu, kalau amarah Sekar Nala bisa meledak-ledak kapan saja.
Sumi langsung bersimpuh, seperti bersujud malah di bawah tempat tidur Nala.
Mata Nala melotot, kenapa orang jaman dulu mudah sekali berlutut dan bersujud sih?
"Heh, Sumi bangun. Kamu ngapain dikit-dikit nyembah gitu? aku bukan medusa lah!"
Sumi segera mengangkat kepalanya dengan bingung. Tapi posisinya masih berlutut di depan Nala.
"Medusa itu apa tuan putri?" tanyanya penasaran.
"Hais, dijelaskan kamu juga tidak akan paham. Katakan! kenapa kamu terburu-buru seperti di kejar vampir pengisap darah"
Wajah Sumi kembali tercengang.
"Vampir penghisap darah?" tanyanya bingung lagi.
Sumi semakin tidak paham kenapa tuan putrinya berkata-kata aneh belakangan ini. Bukan hanya kata-katanya saja, sikapnya juga aneh.
Nala melambaikan tangannya beberapa kali. Semakin pusing juga dia menjelaskan.
"Lupakan! katakan! ada apa?" tanya Nala.
Dia sudah pusing semalaman memikirkan bagaimana caranya dia bertahan hidup di tempat ini. Belum lagi masalah bantalnya yang begitu tinggi. Ini pagi-pagi Sumi sudah mengagetkannya.
"Yang mulia Ratu Sekar Arum memanggil anda ke istana Kenanga, tuan putri!" jawab Sumi.
'Ratu Sekar Arum?' batin Nala.
Tapi tak lama kemudian, mata Nala kembali melebar. Dia ingat nama itu, itu adalah ratu yang merupakan bibi dari Sekar Nala. Dia masih bisa bertahan hidup setelah semua orang membencinya di istana ini juga karena sang ratu. Tapi, pada akhirnya dia tahu semuanya. Ratu yang merencanakan pernikahan itu, mengelabui Nala, membuat Nala menuruti semua yang dia katakan. Padahal Nala hanya poinnya, kalau tidak salah setelah Nala di bunuh Ratih Jayengwati, Pangeran Arga Yudha Kertajaya juga mati, karena racun yang sudah bertahun-tahun di berikan oleh Nala atas perintah ratu Sekar Arum.
"Hem, Ratu Sekar Arum. Kalau dulu Sekar Nala tidak terpedaya olehmu. Dia tidak akan berakhir mengenaskan" gumamnya.
Tapi, dia lupa. Di dekatnya ada Sumi yang sejak tadi kebingungan melihat Nala yang terus melihat ke arah langit-langit kamarnya itu. Bahkan bicara sendiri.
"Tuan putri, apa tuan putri yakin, hamba tidak perlu panggil Ki Tamba?" tanya Sumi.
Dia khawatir ada masalah dengan majikannya itu.
Nala melirik tidak senang ke arah Sumi.
"Dimana kamar mandinya? aku mau mandi!" kata Nala mendengus kesal.
Dan Sumi juga Welas pun pada akhirnya membawa Nala ke pemandian para putri.
"Hahhh" Rahang Nala nyaris jatuh.
Sumi dan Welas saling pandang.
"Tempat apa ini?" tanya Nala.
"Tempat pemandian para putri, tuan putri. Sendang cempaka" jawab Welas.
Nala mendengus kasar berkali-kali. Dia sudah seperti banteng yang kehabisan kesabaran. Hidungnya juga kembang kempis karena tak habis pikir, dia harus mandi di tempat terbuka seperti ini.
"Aku harus telanjangg di tempat terbuka seperti ini? kalau ada yang mengintip bagaimana?" tanya Nala.
"Tuan putri, ini adalah Sendang Cempaka. Tidak akan ada yang mengintip, penjaga berjaga sepanjang waktu di luar pagar" jelas Sumi.
'Duh, orang jaman dulu rasa percayanya kelewatan ya. Memangnya mereka tidak berpikir apa? para penjaga itu bisa saja khilaf kan?' batin Nala.
"Ini telesan tuan putri..."
"Apa?" tanya Nala bingung memegang sebuah kain jarik dengan warna begitu gelap.
Sumi dan Welas malah bingung. Tapi kemudian datang seorang putri cantik bersama dua pelayannya yang begitu acuh pada Nala. Dia menggunakan kain yang sama seperti yang ada di tangan Nala untuk membalut tubuhnya dan berendam di kolam itu, lalu dua pelayannya membantunya menyiramkan air tubuhnya dengan lembut dengan tangannya.
"Siapa dia?" tanya Nala.
Sumi dan Welas lagi-lagi saling pandang. Sepertinya ada masalah dengan ingatan majikannya itu.
"Tuan putri, itu putri Galuh Parwati. Dia adik kedua Gusti pangeran Arga Yudha Kertajaya" jelas Welas.
Nala langsung membuka mulutnya lebar.
"Ahhh, dia adik ipar ku?" tanya Nala antusias.
Nala pikir, dia harus bisa bersikap baik pada Galuh Parwati. Kalau tidak salah, wanita itu yang akan menikah dengan Jenderal Mahesa Wulung, orang yang bisa mengalahkan Mahapatih Rakai Sanggara, ayah Ratih Jayengwati.
'Aku harus dekati dia, aku bisa minta bantuan calon suaminya melindungiku. Suamiku bahkan tidak bisa diandalkan!' batinnya.
Dengan semangat, Nala mendekati Galuh Parwati, dia pikir dalam novel yang dia baca. Dia tidak pernah melakukan hal yang salah pada adik iparnya itu. Karena Galuh Parwati memang tidak suka bersosialisasi. Dia lebih banyak diam di istananya, dan belajar. Makanya ayah jenderal muda Mahesa Wulung menjodohkannya dengan putranya yang pejuang itu. Karena memang Galuh Parwati terkenal sangat baik dan tidak suka cari masalah seperti putri lain. Tidak suka pamer, atau menunjukkan kalau dia adalah seorang putri.
"Adik ipar!" panggil Nala sambil berteriak, dan berjalan ke arah Galuh Parwati.
Karena semangatnya, air di sendang itu sampai muncrat-muncrat mengenai wajah Galuh Parwati.
"Tuan putri, tidak apa-apa?" tanya salah satu pelayan Galuh Parwati yang langsung berada di depan Galuh Parwati untuk menjadi benteng menutupi air yang muncrat itu.
"Tuan putri, tunggu. Jangan seperti ini tuan putri!" Welas berusaha mengingatkan Sekar Nala, bahwa dia adalah seorang Putri, tidak boleh bersikap seperti itu.
"Adik ipar, hai!" kata Nala yang sudah sampai di depan Galuh Parwati.
Karena pelayan Galuh Parwati menutupinya, Nala pun menarik lengan pelayan itu agar menyingkir. Tidak tahu, kalau tangan pelayan itu sangat ringkih, dan lemah.
Byurrr
Nala membuka mulutnya lebar, ketika pelayan itu terjebur ke air.
"Lastri!" teriak Galuh Parwati.
"Tolong! Tolong! Pembunuhan!"
Mata Nala melebar, karena pelayan Galuh Parwati yang satu lagi bahan berteriak seperti itu dengan keras.
"Tolong!"
Bahkan Galuh Parwati juga berteriak.
"Ya ampun, kenapa kalian berteriak. Apa air setinggi lutut bisa membunuh orang?" tanya Nala yang segera menarik lengan pelayan Galuh Parwati itu untuk bangun.
Tapi baru membantunya bangun, seseorang menarik tangan Nala.
"Eh..."
Nala tertegun, pria yang menarik tangannya dan seolah melindunginya itu menatapnya dengan perasaan yang sulit dia jelaskan.
'Tampan sekali' puji Nala dalam hatinya.
"Tuan putri, anda tidak apa-apa?" tanya pria tampan itu.
"Jenderal Mahesa, kenapa anda bertanya pada tuan putri Sekar Nala, yang mau dicelakai itu tuan putri Galuh Parwati, tunangan anda" ucap salah seorang pelayan Galuh Parwati, yang tadi juga berteriak minta tolong.
Nala menganga lagi. Yang memeluknya ternyata Jenderal Mahesa.
'Mampuss, aku malah memeluk calon tunangannya. Sekarang bagaimana aku bisa berteman dan minta bantuannya?' batin Nala bingung.
***
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
🍏A↪(Jabar)📍
masih mantau
2025-04-18
2