Santi menatap Nabil yang sedang terlelap.
Ingatannya melayang ke masa lalu—masa ketika kehadiran Nabil sebenarnya tidak pernah diinginkan oleh Bayu.
“Bang, aku hamil,” ucap Santi dengan mata berbinar.
Menjadi ibu adalah cita-cita banyak perempuan, bukan? Dan tentu saja, Santi sangat bahagia.
Kabar yang bagi sebagian orang merupakan anugerah, bahkan dirayakan dengan sujud syukur atau santunan mendadak, justru menjadi kabar buruk bagi Bayu. Wajah Bayu langsung masam saat mendengar istrinya mengandung.
“Kamu hamil?” Bayu mengulang dengan nada curiga, bukan bahagia. Dahinya berkerut, napasnya memburu.
Santi mengangguk pelan. Tangannya menggenggam test pack bergaris dua—gemetar, gugup, tetapi berharap. Bukankah ini kabar baik? Bukankah setiap anak adalah karunia Tuhan?
“Kamu enggak pakai otak, ya? Kamu pikir kondisi kita sekarang kayak gimana? Aku masih kerja serabutan. Kita belum punya rumah sendiri, enggak ada tabungan. Kenapa kamu malah hamil, Santi? Gugurkan saja! Aku belum siap punya anak!” bentak Bayu.
Santi menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Kalau abang enggak mau punya anak, harusnya abang jangan sentuh aku. Jangan tidur sama aku!” jawabnya.
“Berisik kamu! Kamu memang bodoh dan enggak berguna! Aku enggak mau tahu—gugurkan anak itu!”
“Aku enggak mau, Bang. Itu dosa…”
“Terserah kamu! Tapi awas kalau kamu nyusahin aku dan keluargaku! Ingat, kamu cuma numpang di rumah ini!”
Ya, seperti itulah Bayu. Ia tidak pernah menganggap Santi sebagai istri, melainkan seperti orang asing yang menumpang hidup.
Hari itu, langit terasa lebih kelabu dari biasanya. Sejak saat itu, kehamilan bukan lagi momen penuh bunga dan pelukan hangat.
Bagi Santi, kehamilan adalah awal dari pertempuran panjang—antara hati yang mendamba cinta, dan kenyataan yang terus melukai.
Tak ada vitamin. Tak ada susu ibu hamil. Tak ada pemeriksaan ke bidan atau dokter. Santi hanya mengandalkan nasihat tetangga dan ramuan tradisional. Ia sering pergi ke pinggir hutan, pura-pura mencari sayur, padahal sesungguhnya ia mencari tanaman obat untuk menguatkan kandungannya.
Tujuh bulan berlalu. Perlakuan keluarga Bayu makin menjadi-jadi. Santi seperti tak diberi ruang untuk bernapas, apalagi beristirahat. Hanya karena kasih Tuhan, bayi dalam kandungannya tetap bertahan.
Santi tak mengalami mual seperti ibu hamil lain. Andai iya, tentu yang ia dapat bukan simpati, melainkan cacian dan hinaan.
Di usia kandungan enam bulan, Santi masih mencuci pakaian seluruh penghuni rumah, menyikat kamar mandi, dan membereskan rumah yang tak pernah rapi.
“Nih, cuci bajuku yang bersih! Jangan sampai ada noda!” seru Nunik, adik Bayu, sambil melemparkan cucian ke wajah Santi yang sedang jongkok di dekat ember.
“Bisa enggak kamu cuci sendiri? Aku sudah sangat lelah. Aku ini hamil, Nik…” jawab Santi, lirih.
“Itu masalah kamu! Siapa suruh kamu hamil? Sudah tahu miskin, enggak punya penghasilan, malah hamil! Harusnya kamu nabung dulu, baru mikir punya anak! Sekarang kamu repot sendiri, kan?”
Santi hanya menggumam, “Astagfirullah…”
“Jangan sok alim! Aku enggak mau tahu, sore nanti bajuku sudah harus rapi di lemari!”
Santi menerima perlakuan itu nyaris setiap hari. Keluarga Bayu makin malas sejak kehadirannya. Bahkan untuk menggantungkan handuk pun, mereka menyuruhnya.
Namun, Santi bertahan demi anaknya. Dua tahun sebelum hamil, ayah dan ibunya meninggal karena wabah yang menyerang desa. Kini, ia tak punya siapa-siapa.
Ia ingin melawan. Tapi ia tak punya kekuatan—dan keberanian.
Setiap hari, Santi bangun lebih pagi daripada siapa pun di rumah itu. Ia memasak, mencuci, menyikat kamar mandi, lalu menjemur pakaian. Sarapan? Kadang hanya sisa nasi dingin. Lauknya sudah ludes dilahap mereka yang merasa lebih berhak.
Andai saja Anita, istri Pak Budi, yang diam-diam suka memberikan makanan pada Santi, tidak peduli, mungkin Santi sudah kelaparan. Ia dianggap tak berguna hanya karena tidak menghasilkan uang. Kalau pertanyaan itu dibalik, apakah Sinta, ibu mertuanya, menghasilkan? Tidak. Ia hanya mengandalkan uang dari Bayu. Apakah Nunik juga menghasilkan? Tidak juga. Nunik hanyalah gadis pemalas yang hanya tahu bermain dan meminta uang dari Sinta, ibunya.
Sementara itu, Nina—kakak iparnya—hanyalah istri yang mengharapkan kiriman dari suaminya yang merantau. Suaminya hanya pulang saat Lebaran, itu pun tidak rutin mengirim uang. Hampir semua kebutuhan rumah ditanggung oleh Bayu. Bayu, selain bekerja serabutan, juga menjadi makelar motor dan tanah. Setiap hari ia keluar rumah untuk mencari uang. Doktrin dari ibunya, bahwa Bayu sebagai anak laki-laki harus menjadi kebanggaan keluarga dengan membahagiakan mereka, terus tertanam kuat dalam pikirannya.
Santi walau tidak menghasilkan uang harusnya mereka berfikir, siapa yang membersihkan rumah, siapa yang mencuci pakaian mereka, santi tidak menghasilkan uang tapi dia melakukan banyak hal bagi mereka, tapi bagi mereka itu bukan hal yang membanggakan. Harusnya santi diperlakukan baik karena bayulah yang paling banyak berkonribusi terhadap keungan meraka.
Malam itu, Santi merasa nyerinya semakin menjadi. Kandungannya telah memasuki bulan ke delapan. Perutnya terasa keras, punggungnya nyeri, dan setiap langkah seolah menginjak batu tajam. Tapi tidak ada satu pun yang menawarkan bantuan.
Bayu sibuk dengan gawainya, tertawa bersama teman-temannya lewat video call. Sinta malah menyuruh Santi mengupas dua kilogram kentang untuk hajatan tetangga. Sementara Nina dan Nunik bolak-balik mencoba baju baru mereka, tidak peduli meskipun Santi berjalan membungkuk menahan nyeri.
“Kamu enggak usah drama. Perempuan lain juga hamil. Biasa aja tuh,” ejek Nina, kakak iparnya. Ia bahkan menertawakan Santi yang mulai tertatih saat berjalan.
Santi diam. Lagi-lagi. Ia sudah terlalu lelah untuk menjelaskan bahwa nyeri itu bukan pura-pura. Bahwa rasa sakit itu nyata. Tapi mungkin, di rumah ini, kehamilan bukanlah hal istimewa. Bukan pula sesuatu yang pantas dirayakan.
Malam itu juga, kontraksi mulai terasa. Ia tahu, karena sudah membaca buku tua yang ia pinjam dari perpustakaan desa. Saat ia mengaduh pelan, memanggil Bayu, suaminya malah kesal.
“Aduh, kamu ini bikin panik aja! Nanti aja, tunggu pagi! Malam-malam begini mana ada bidan buka!” hardik Bayu.
“Bang Bayu... aku... perutku sakit... aku takut...” lirih Santi, air matanya tak terbendung.
“Bayu, kamu gila! Lihat tuh istrimu mau melahirkan!” seru Anita yang kebetulan lewat.
“Bukan urusan kamu! Pergi sana!” usir Bayu dengan kesal.
Santi sempat merasa ada harapan ketika melihat Anita datang, namun harapan itu pupus karena Anita justru pergi lagi. Ia pasrah dengan nasib yang akan menimpanya.
“Mak Laras itu yang mau melahirkannya,” ucap Anita kemudian.
Rupanya Anita bukan pergi karena takut, melainkan untuk memanggil Mak Laras, dukun beranak di kampung. Hanya Mak Laras yang siap dipanggil 24 jam untuk membantu persalinan, dan ia menolong dengan sukarela, dibayar semampunya.
Tak lama, Anita kembali bersama Pak Budi dan adik Budi, Santoso.
“Bawa dia ke kamar!” seru Anita.
Pak Budi dan Santoso segera mengangkat tubuh Santi yang lemas menuju kamar. Sementara Bayu hanya melihat dengan kesal. Di hatinya, ia berharap Santi dan bayinya mati saja. Ia benar-benar tidak mau direpotkan dengan kehamilan ini.
“Neng, babacaan ya... Qulhu, An-Nas, atau apa pun itu ya. Pasrah ka Gusti Allah, Neng,” ucap Mak Laras menenangkan Santi.
Dengan perjuangan antara hidup dan mati, akhirnya Santi melahirkan. Anita sibuk mencari kain dan baju bayi bekas milik anaknya dulu. Pak Budi memasak air hangat untuk memandikan bayi Santi. Tak ada satu pun keluarga Bayu yang membantu. Mereka bahkan terlihat kesal melihat warga yang keluar masuk rumah untuk melihat dan membantu Santi. Ya, begitulah warga kampung, jika ada yang melahirkan, mereka akan datang menunggui.
Dan akhirnya, lahirlah seorang bayi. Kepalanya besar, matanya besar, tubuhnya kecil. Mak Laras membersihkan bayi itu dengan penuh cinta. Ia mengernyit, lalu tersenyum.
“Neng, anak ieu mah bakal jadi cahaya keur hirup Neng. Bere ngaran Nabil, nya... Artina pinter,” ucap Mak Laras yang terbata-bata berbahasa Indonesia.
(anak ini bakal menjadi cahaya untuk hidup kamu, beri nama Nabil ya artinya anak pintar)
“Yeh, anak gera adanan. Mana salakina ieu teh?” lanjutnya sambil menggendong Nabil, lalu menyerahkan ke Bayu.
Bayu melihat dengan jijik. Baginya, bayinya sangat jelek—kepalanya besar, matanya besar, tubuhnya kecil.
“Ini bukan anak saya,” kata Bayu dingin.
“Apa maksud kamu?” tanya Pak Budi.
“Ini anak Buto Ijo. Dia pasti selingkuh sama setan,” ucap Bayu penuh hinaan.
Bughhh!
Santoso memukul Bayu dengan keras.
“Dasar gila! Dari tadi aku diam saja, kamu nggak berbuat apa-apa! Sebagai seorang suami, kamu seharusnya peduli. Dan sekarang kamu malah menghina dan menuduh yang tidak-tidak!” ujar Santoso dengan kemarahan yang sudah ia tahan sejak tadi. Dari awal persalinan sampai bayi lahir, hanya dia dan kakaknya yang sibuk membantu. Ia berharap Bayu menyambut anak itu dengan bahagia. Tapi ketika Bayu justru menghina bayinya, kemarahan Santoso pun meledak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
.•♫•♬•LUO YI•♬•♫•.
hih geram banget ma bayu.. kalau gua mah dah gua racun satu kluarga 🙄🙄
2025-04-20
1
Wanita Aries
Sama kyk kluarga arman ya ceritanya
2025-04-21
0