Keputusan

“BAJINGAN KAU!!”

Suara berat Ayah Murni menggema keras di dalam ruangan, membuat semua orang tersentak.

Pria asing itu terhuyung ke belakang, dengan spontan tangannya menyentuh sisi wajahnya yang kini memerah akibat pukulan keras itu. Namun, ia sama sekali tidak membalas.

Hal itu justru membuat Ayah Murni semakin emosi. Matanya merah padam ketika menatap pria asing itu, disusul dengan deru nafasnya yang memburu.

“Kau permainkan anak gadisku?! Aku bunuh kau, dasar brengsek!”

Tangan besarnya sudah terangkat lagi, siap menghantam pria itu sekali lagi.

Namun sebelum pukulan kedua melayang, sejumlah bapak-bapak langsung menahan tubuhnya.

“Tahan, tahan, Pak! Jangan main tangan dulu!”

"Iya, Pak! Kekerasan bukan jalan keluar dari semua permasalahan."

Sementara itu, pria asing itu hanya diam, tetap tak berniat membalas meskipun darah mulai merembes dari sudut bibirnya.

Melihat hal itu, Murni merasa semakin bersalah.

Matanya yang sudah basah kini dibanjiri dengan air mata baru.

“Bapak, tolong berhenti! Dia tak bersalah! Kami tidak melakukan hal yang seperti bapak pikirkan...”

Tapi kemarahan Ayah Murni masih membara.

“Tidak apa-apa?! Murni! Apa kamu sadar apa yang baru saja kamu lakukan sekarang hah?! Kamu bikin malu keluarga kita, Murni! MALU!!”

Mendengar kalimat itu bu Mita kembali menangis keras di belakangnya.

Sementara itu, pria asing itu tiba-tiba berbicara.

Dengan suara rendah dan aksen asingnya yang masih terdengar jelas ia berujar, “Saya... benar-benar minta maaf...” katanya dengan nada serius.

“Tapi, saya tidak berbuat buruk pada anak anda.” Timpalnya, sembari menatap manik mata ayah Murni, pria itu mencoba meyakinkan bahwa apa yang baru saja ia utarakan itu adalah sebuah kenyataan.

Namun kata-kata itu hanya membuat beberapa ibu-ibu mendengus sinis.

“Halah, semua lelaki pasti bilang begitu! Habis manis, sepah dibuang!”

"Benar! Kalau memang bertanggung jawab, seharusnya dia langsung menikahi Murni!”

Pak Haji yang sedari tadi mendengarkan dan memperhatikan, diam-diam menyunggingkan senyuman penuh arti tanpa sepengatahuan siapapun. Lalu ia mengetuk tongkat kayunya ke lantai, membuat semua orang terdiam.

Dengan suara berat dan penuh wibawa, ia berkata,

“Baik. Demi menjaga nama baik keluarga dan menghindari hal-hal buruk di masa depan... maka satu-satunya solusi adalah...”

Tatapannya beralih pada pria asing itu.

“Nak, kau harus menikahi Murni.”

Ruangan mendadak senyap.

Semua mata kini tertuju pada pria asing itu, menunggu keputusan yang akan dipilihnya.

.

.

.

Begitu Pak Haji mengucapkan keputusan tersebut, dalam sekejap ruangan langsung dipenuhi dengan suara bisikan dan gumaman setuju dari para warga.

"Benar, sudah tak ada pilihan lain. Mereka harus menikah!" Seru seorang ibu-ibu.

"Tapi kita bahkan nggak tahu siapa dia! Dari mana asalnya? Keluarganya siapa?" komentar ibu lain dengan curiga.

Namun, suara lain menyergah, "Halah! Mau dari mana pun asalnya, yang penting dia bertanggung jawab!"

"Iya, lha! Mereka sudah bermain terlalu jauh! Mau tunggu apa lagi?"

Suara-suara menyudutkan itu terus mengalir, memenuhi ruangan dengan kesepakatan sepihak.

Sementara itu, Murni masih berusaha menjelaskan mengenai kesalahpahaman antara dirinya dan pria asing itu.

“Tidak! Ini semua cuma kesalahpahaman! Murni ndak melakukan hal-hal yang ibu-ibu dan bapak-bapak pikirkan! Murni hanya-”

Suaranya seketika terhenti ketika melihat tatapan sinis, tidak percaya, merendahkan hingga tatapan-tatapan negatif lainnya yang para warga lontarkan ketika menatapnya.

Sadar akan usahanya yang sia-sia sebab tak ada yang mendengarkannya, membuat Murni kembali menundukkan kepalanya, berbagai perasaan sedih dan benci pada dirinya sendiri kian menggerogoti benaknya. Ia menyadari betapa mustahil nya untuk meyakinkan mereka.

Andai saja... andai saja ia tidak menerima bantuan pria asing itu tadi.

Andai saja ia menyadari lebih cepat kejadian yang akan terjadi...

Mungkin, insiden ini tidak akan pernah terjadi.

Sementara itu, Pak Haji menepukkan tangannya sekali.

“Sudah cukup. Semuanya tolong duduk dulu, tenangkan diri.”

Ia menoleh ke arah pria asing itu.

"Nak, kau juga. Duduklah dulu."

Pria itu masih terlihat bingung dan canggung, tapi akhirnya ia mengangguk dan perlahan duduk.

Namun, Ayah Murni tetap berdiri di tempatnya. Matanya tampak masih merah, disertai rahangnya yang mengeras, menahan semua amarah yang masih berkecamuk di dalam benaknya.

"Bapak kecewa, Murni." Suara beratnya bergema di ruangan yang kini kembali sunyi.

"Sangat kecewa."

Setelah mengatakan itu, ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan berbagai pertanyaan dan rasa bersalah yang semakin menggerayangi benak Murni. Membuat gadis itu semakin menundukkan kepalanya lebih dalam.

Melihat situasi yang sudah lebih tenang, Pak Ustadz kembali berbicara.

“Sekarang, sebelum kita melangkah lebih jauh... saya ingin tahu. Siapa nama kamu, Nak?” Tanyanya, sembari menatap pria asing itu dengan serius.

Pria itu tampak terdiam sejenak, seolah ragu untuk menjawab.

Namun akhirnya, ia mengangkat kepalanya, menatap Pak Ustadz dengan mata tajam yang kini penuh keteguhan.

Lalu dengan aksen asingnya yang masih kental, ia berkata,

“Saya... Kaan Harrington.”

Hening.

Nama itu terdengar asing di telinga semua orang.

Pak Ustadz masih menatap Kaan dengan sorot mata penuh pertimbangan. Setelah nama pria itu terungkap, kini ada hal lain yang harus dipastikan.

"Berapa umur kamu, nak?" Tanyanya.

Kaan berkedip, lalu menjawab dengan sedikit ragu, "Uh... twenty-nine... eh, maksud saya, dua puluh sembilan tahun."

Pak Haji mengangguk kecil, lalu melanjutkan pertanyaannya.

"Orang tua kamu masih ada?"

Kaan terlihat berpikir sejenak, lalu mengangguk.

"Yeah, mereka masih ada."

"Bisa dihubungi?"

Kali ini, Kaan mengangguk lebih cepat. "Bisa."

"Baguslah." Ucap Pak Ustadz sembari mengangguk paham.

Mendengar itu, Murni terdiam.

Apa ini artinya pernikahan ini benar-benar akan terjadi?

Ia menatap Kaan, wajah pria itu masih tenang, meskipun ada sedikit keraguan di matanya.

Setelah itu, Pak Haji menoleh ke semua orang yang ada di ruangan.

"Baiklah. Kalau tidak ada halangan, kita akan segera melaksanakan pernikahan ini malam ini juga."

Ruangan langsung riuh.

Beberapa orang terlihat terkejut, sementara yang lain mengangguk setuju.

"Bagus! Jangan ditunda-tunda lagi!" seru seorang ibu-ibu.

"Iya, biar nggak jadi fitnah!" sahut yang lain.

Di tengah hiruk-pikuk itu, Murni hanya bisa membeku.

Menikah... malam ini?! Bahkan secepat ini? Dengan seorang pria yang bahkan baru ia kenal?

Ia menatap Kaan, yang juga tampak sama terkejutnya.

Namun, keduanya tak punya pilihan lain, selain menikah.

Pak ustadz mengangkat tangannya perlahan, mengusap janggutnya sambil berpikir. Lalu dengan suara mantap, ia menatap Kaan dan berkata, "Kalau begitu,” ujarnya dengan nada tegas namun tetap berwibawa, “segera hubungi orang tuamu sekarang juga.”

Kaan terdiam. Sorot matanya sedikit goyah, dan bahunya tampak menegang. Ia menunduk perlahan, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu yang berat. Matanya menyapu wajah para warga yang masih menatapnya penuh kecurigaan, lalu kembali pada ponsel yang kini ia genggam erat di balik sakunya.

Tenggorokannya bergerak, menandakan gugup yang mulai menguasai dirinya.

Murni memperhatikan pria itu dari samping. Ia bisa melihat bagaimana jari-jari Kaan sempat membeku, seolah enggan menuruti perintah itu. Sebuah keheningan mencekam menyelimuti ruangan, hingga...

Kaan mengeluarkan ponselnya, jemarinya menggenggam benda itu erat-erat, seolah ragu untuk menyentuh tombol powernya. Sorot matanya tampak dipenuhi kebingungan, ia menoleh perlahan ke arah Murni sekilas, lalu ke arah Pak Ustadz.

Tenggorokannya bergerak naik turun, menelan gugup yang terasa seperti batu di tenggorokannya.

Murni pun tidak kalah tegang, tubuhnya tampak kaku, seperti terjebak di antara kenyataan yang belum bisa ia terima. Telapak tangannya terasa berkeringat dingin, sembari menggenggam ujung gamisnya. Matanya menatap Kaan, mencoba mencari kepastian atau barangkali harapan bahwa semua ini hanyalah lelucon buruk yang akan segera berakhir.

Namun belum sempat Kaan berbicara, tiba-tiba...

"Heh, cepetan dong, jangan ragu-ragu begitu!" Suara Bu Lastri tiba-tiba meledak, membuat semua orang tersentak.

Suara keras dan lantangnya terdengar bagaikan guntur di tengah siang bolong.

"Kalau memang sudah berani berbuat, ya harus berani bertanggung jawab! Masih mendingan kita ini orang baik-baik, nggak main hakim sendiri! Kalau di kampung tetangga mah, Mas udah digotong rame-rame dari tadi!"

Beberapa warga mengangguk setuju, sementara Murni memejamkan matanya erat-erat. Ucapan bu Lastri terasa bagaikan palu godam yang menghantam kepalanya.

Kaan pun tampak sedikit kaget, matanya membulat mendengar lontaran kata-kata yang bahkan tak sepenuhnya ia mengerti, tapi cukup untuk menangkap maksudnya. Dengan gerakan pelan, ia mulai membuka kunci ponselnya, lalu menekan sebuah kontak bertuliskan nama 'Dad' yang tertera di sana.

Beberapa detik berlalu. Nada sambung pun terdengar.

Tik... Tok... Tik...Tok...

Suara detak jam di dinding seolah menjadi satu-satunya suara lain yang terdengar di tengah ketegangan itu. Tanpa sadar, Murni menahan nafasnya, sembari menatap lekat ponsel yang berada dalam genggaman tangan pria itu, seperti sedang menanti vonis hidupnya.

Hingga akhirnya...

“Hello? Kaan? Is everything alright?”

Suara berat dan berwibawa itu keluar dari speaker, dalam bahasa Inggris yang fasih dan cepat.

Kaan menelan ludahnya, lalu mengangkat ponselnya sedikit, mengarahkannya ke telinganya, sebelum akhirnya mengeluarkan kata...

Terpopuler

Comments

Ray Aza

Ray Aza

boleh ga sih lempar kepala ibu satu ini pake granat?

2025-04-17

1

AravZA

AravZA

kok gitu, sih? kalo si bule orang jahat gimana?

2025-04-11

1

AravZA

AravZA

nanggung /Panic/

2025-04-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!