Sekali lagi, Herald berada di dalam ruang kerja ayahnya. Kali ini, ia merasa cemas karena belum tahu hukuman apa yang akan ia terima. Ia menduga, seperti biasanya, mungkin ayahnya hanya akan memberinya peringatan untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya yang nakal. Namun, ada kemungkinan besar hukuman baru juga menantinya.
Di ruangan itu, Herald hanya terdiam, mematung tanpa mengucapkan sepatah kata pun, sembari memandangi ayahnya yang sibuk dengan beberapa helai kertas yang berserakan di atas meja. Waktu berjalan begitu lama tanpa percakapan, dan Herald pun merasa penasaran.
Apa yang sedang ayah tulis di kertas-kertas itu?
Dengan hati-hati, Herald mencoba untuk menjinjit kakinya dan mengangkat kepalanya agar bisa melihat lebih dekat ke tulisan-tulisan di kertas tersebut. Namun, baru saja ia mencoba untuk mengintip, ayahnya menyadari perbuatannya. Dengan tatapan tajam, Demios menyebutkan nama anaknya dengan lantang.
"Herald."
"E-!" Herald terkejut dan langsung berdiri tegak.
Ayahnya memandangnya sejenak sebelum merapikan kertas-kertas di meja. Lalu, dengan suara yang lebih tegas, ia berbicara.
"Jadi, Herald, alasan ayah memanggilmu ke sini adalah untuk membicarakan sesuatu."
[Dibicarakan?]
Herald merasa sedikit lega. Sepertinya ini bukan terkait hukuman, tapi ada sesuatu yang lebih penting yang ingin dibicarakan oleh ayahnya. Pikirannya pun mulai bertanya-tanya tentang apa yang akan mereka bahas, hingga ia hampir tidak menyadari ayahnya yang sedang menunggu tanggapannya.
"Herald, apakah kamu mendengar apa yang ayah katakan?" tanya Demios dengan nada lebih berat.
"I-iya!" jawab Herald cepat, mencoba mengerahkan perhatian penuh.
Ayahnya kemudian melanjutkan penjelasannya.
"Ayah baru saja menerima pesan dari teman ayah, seorang Duke di kota Elestial. Namanya Astalfo Enhart. Dia membutuhkan seseorang yang bisa bekerja sebagai pengawal pribadi putrinya, karena beberapa waktu lalu ibunya meninggal dunia..."
Herald mendengar itu, dan seketika ingatan masa lalu muncul. [Ah, Tuan Astalfo… aku ingat, waktu itu dia pernah datang bersama dengan ibunya ke sini.]
Dari apa yang ia dengar, ayahnya mendapat pesan dari seorang Duke. Herald merasa aneh, bagaimana bisa seorang Barron seperti ayahnya berhubungan dengan Duke yang memiliki kedudukan tinggi seperti Astalfo? Namun, hubungan mereka memang sangat khusus.
Dulu, ayahnya pernah menjadi prajurit di keluarga Enhart, bahkan menjadi pengawal pribadi Astalfo ketika masih muda. Waktu berlalu, hubungan mereka semakin erat. Astalfo akhirnya menjadi penerus keluarga Enhart dan memberikan anugerah kepada ayah Herald untuk menjadi Barron di desa ini, yang mengubah hidup Herald menjadi bangsawan.
"Jadi..." Ayahnya melanjutkan, "Ayah berencana untuk mengirimmu ke sana dan bekerja sebagai pengawal pribadi untuk anaknya."
Herald terdiam mendengar perkataan ayahnya. Pengawal pribadi? ia berpikir, merasa tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Dengan cepat, Herald membuka mulutnya untuk bertanya.
"A-apa yang ayah katakan? Menjadi pengawal pribadi?" Suaranya terdengar bingung.
"Iya, itu benar," jawab Demios tegas. "Tuan Astalfo sedang mencari seseorang yang dapat dipercaya untuk menjaga putrinya, dan dia meminta salah satu dari keluarga kita untuk pergi ke sana. Ayah rasa kamu adalah orang yang tepat, karena kamu adalah anak pertama ayah."
Herald masih terkejut dengan permintaan itu. Ia tidak mau pergi ke sana. Ia tahu betul jika ia harus pergi, kebebasannya akan terkekang oleh aturan bangsawan yang begitu ketat dan melelahkan.
"Ayah, aku tidak mau pergi ke sana!" serunya, menolak keras keputusan tersebut.
Urat di kening Demios mulai menegang, tanda bahwa ia tidak senang mendengar penolakan tersebut. "Herald, jangan menolaknya. Ini adalah rekomendasi langsung dari Tuan Astalfo untuk kita. Kamu harus menerima ini, mau tidak mau."
"T-tapi... aku masih muda. Aku tidak mau menghabiskan masa mudaku hanya untuk menjadi pengawal pribadi. Aku tidak ingin hidupku terkungkung oleh aturan-aturan para bangsawan."
Herald terus mencoba menolak. Ia merasa masa mudanya akan hancur jika harus tinggal di rumah Duke dan menjalani kehidupan yang terikat aturan. Tapi, ayahnya tampaknya tidak memahami perasaannya. Demios berdiri dari kursinya dan mendekat ke Herald.
"Justru ini adalah hal yang tepat," katanya dengan nada lebih serius. "Kamu adalah pewaris keluarga ini. Jika kamu pergi ke sana dan menjadi pengawal pribadi, kamu akan mendapatkan banyak pengalaman. Kamu akan belajar tentang tatanan kerajaan, tata krama bangsawan, dan cara hidup yang benar. Itu semua akan sangat berguna di masa depan."
Herald mencoba berpikir, mendengar penjelasan ayahnya. Memang benar, jika ia pergi ke sana, ia akan mendapatkan banyak pelajaran dan pengalaman berharga. Ia akan belajar tentang cara bertata krama sebagai bangsawan, berinteraksi dengan para pejabat tinggi, dan memahami kehidupan dunia yang lebih luas.
Namun, meskipun begitu, Herald tetap merasa bahwa ia tidak ingin pergi. Kehidupan yang terlalu teratur dan penuh aturan bukanlah yang ia inginkan. Ia ingin merasakan kebebasan, melakukan apa yang ia inginkan tanpa harus takut akan pembatasan yang ada.
Tiba-tiba, ayahnya memegang kedua bahunya dengan erat, membuat Herald terkejut.
"Dengar, Herald. Kamu harus pergi ke sana. Mau tidak mau, kamu harus pergi. Ini adalah kesempatan yang besar bagi kita. Kita mendapatkan kepercayaan dari Tuan Astalfo. Ini adalah sebuah kebanggaan. Tolong wakili keluarga kita dengan baik di sana."
Dengan itu, Demios melepaskan pegangan tangannya dan kembali berjalan menuju meja kerjanya, meninggalkan Herald yang terdiam di tempat.
Tak lama kemudian, ayahnya kembali berbicara. "Selain itu, ini juga bisa menjadi pelajaran buatmu, bagaimana rasanya menjadi seorang prajurit yang harus menjaga tuannya. Kamu yang selama ini selalu merepotkan para prajurit di sini, mencari-cari masalah. Ku harap setelah semua ini, kamu akan sadar dan menjadi pribadi yang lebih baik. Sekarang, kembalilah ke kamarmu dan persiapkan dirimu. Dua hari lagi kita akan berangkat ke kota Elestial."
"B-baik," jawab Herald pelan, menundukkan kepalanya.
Herald berjalan keluar dari ruangan itu dengan langkah berat, perasaannya kacau. Sesampainya di luar, pelatihnya, Charlie, sudah menunggunya. Melihat ekspresi Herald yang murung, Charlie tidak bisa bertanya lebih lanjut. Sebagai gantinya, ia memulai percakapan dengan hati-hati.
"Tuan Herald, ada apa? Kenapa tuan terlihat begitu murung? Apakah Tuan Demios memberikan hukuman tambahan kepada Anda?"
Herald hanya menggelengkan kepala. "Tidak, tidak ada hukuman tambahan, tapi..." Ia berhenti sejenak, merasa ada banyak hal yang ingin dikatakan, namun tidak ingin mengeluarkannya. "Ah, sudahlah. Aku mau ke kamar dulu."
Tanpa menunggu jawaban, Herald melangkah cepat menuju kamarnya. Charlie hanya bisa bingung, merasa bahwa ada sesuatu yang lebih besar terjadi di balik pembicaraan mereka. Namun, ia tahu bahwa itu adalah urusan pribadi mereka, dan ia tidak ingin mencampuri. Dengan harapan, ia hanya bisa berdoa agar semuanya berjalan dengan baik bagi Herald.
"Semoga tuan Herald baik-baik saja," gumam Charlie pelan.
***
Di kamar, Herald yang baru saja tiba di sana langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Rasa lelah akibat latihan panjang seharian seakan memenuhi seluruh tubuhnya, namun bukan itu yang paling mengganggunya. Pembicaraan dengan ayahnya barusan yang terus terngiang di kepalanya.
"Kenapa malah aku yang harus pergi..."
Herald merenung dalam-dalam. Mengapa harus dirinya yang dipilih untuk pergi ke kota Elestial? Bukankah ini urusan ayahnya? Ayahnya yang memiliki hubungan langsung dengan Duke Astalfo, bukan dia. Mungkin ini semua karena status keluarganya sekarang, status bangsawan yang seakan membuatnya terikat pada kewajiban yang tak bisa dihindari.
Dia terus memikirkan hal itu sambil menutup matanya, berharap bisa menenangkan pikirannya. Namun, saat matanya terpejam, sebuah ide tak terduga muncul di kepalanya. Dalam sekejap, Herald mengangkat kepalanya dari kasur, ekspresinya berubah kaku, seolah-olah menyadari sesuatu yang baru. Tanpa bisa menahan diri, dia bergumam pelan.
"Eh, tunggu dulu... kenapa aku tidak kabur saja yah?"
Herald mengulang pikirannya dalam hati, seakan menemukan secercah harapan dalam kepalanya. Jika dia melarikan diri lagi, dia bisa menghindari semuanya—tidak perlu pergi ke kota Elestial, tidak perlu terperangkap dalam kehidupan yang penuh aturan dan kewajiban. Dia bisa bebas lagi, menjalani hidupnya dengan cara yang dia inginkan. Namun, apakah itu benar-benar solusi? Pertanyaan itu terus berputar di pikirannya, membuatnya semakin bingung.
Dia menatap pintu kamarnya, seolah-olah pintu itu adalah jalan keluar dari semua permasalahan yang kini membebani pikirannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments