Tahun 1999, reformasi pemerintahan yang dicanangkan setahun sebelumnya mulai berjalan. Salah satu produknya adalah kebebasan pers yang mengakibatkan menjamurnya perusahaan surat kabar baru di Indonesia.
Beberapa desainer di kantor Dion memilih hijrah ke perusahaan baru yang menawarkan gaji lebih besar. Dion pun dipromosi mengisi posisi lowong karena ia cukup fasih menggunakan aplikasi desain publikasi.
Meskipun lelah membagi waktu antara kuliah dan bekerja, Dion melewati hari-harinya dengan semangat.
Ia kini sudah hampir menyelesaikan studi D1-nya. Tugas akhir, yakni membangun aplikasi menggunakan bahasa pemrograman ‘Clipper’ telah ia selesaikan. Hanya menunggu jadwal presentasi di depan para dosen penilai.
Jum’at, 7 Mei 1999.
Sore itu, Dion mengisi day off dengan menemui Hendrik, seorang teman kuliah yang berkali-kali minta bertemu. Teman dekat Dion itu bekerja sebagai penjaga usaha rental komputer milik kakaknya di sekitar kampus salah satu universitas swasta.
Di sela-sela kegiatan melayani para penyewa, Hendrik meminta bantuan Dion untuk memeriksa kesalahan dari kode-kode pemrograman yang sedang ia kerjakan untuk tugas akhirnya.
Kumandang azan magrib sudah lewat dan hari mulai gelap ketika Dion menyelesaikan perbaikan pada program yang dibangun oleh Hendrik. Keduanya lalu berbincang disertai canda-canda ringan.
Perhatian mereka kemudian tertuju pada dua gadis yang panik karena komputer gagal membuka file yang tersimpan di disket mereka. Tampaknya keduanya adalah mahasiswi yang sedang mengerjakan tugas kampus di rental komputer itu.
Hendrik menghampiri mereka dan terlibat pembicaraan yang tak begitu menarik perhatian Dion. Ia justru asyik memandangi gadis berkaus merah berkulit cerah. Rambut hitam sang gadis dikuncir-kuda memamerkan leher jenjang dan memperkuat profil wajah cantik khas oriental tapi dengan mata bulat besar.
Pembicaraan ketiganya berubah menjadi perdebatan. Mahasiswi yang mengenakan kacamata tampil sebagai juru debat. Ia menuduh disk drive atau pembaca disket rental telah merusak disket. Hendrik membela diri dengan mengatakan semua disk drive di rental selalu terawat karena dibersihkan secara rutin setiap hari.
Kepanikan semakin melanda kedua mahasiswi itu ketika Hendrik menyimpulkan bahwa disket yang menyimpan file telah mengalami kerusakan fisik.
“Mustahil untuk membukanya,” ujar Hendrik sembari menunjukkan goresan di permukaan disket.
“Duh bagaimana ini? Laporan itu harus diserahkan Senin, kalau tidak kami akan gagal dalam mata kuliah,” keluh gadis berkacamata dan bertubuh mungil. Sementara itu gadis berkaus merah hanya diam saja, tapi kekhawatiran terpampang jelas di wajahnya yang memerah seperti hendak menangis.
Dion sebenarnya tidak suka mencampuri urusan orang lain. Tapi melihat wajah gadis yang ia taksir tampak memerah, ia menjadi iba.
Dion mulai mencari tahu masalah mereka dengan menyimak perdebatan itu. Setelah mengetahui masalahnya, ia pun mengajukan diri untuk berusaha membantu.
“Tugasnya tadi diketik di rental ini?” tanya Dion melibatkan diri dalam pembicaraan.
“Abang ini bagaimana? Dari tadi kami di sini. Apa Abang nggak lihat?” ketus gadis berkacamata.
Dion memalingkan tatapan pada gadis berkulit cerah. “Di komputer yang mana? Pakai WordStar atau Microsoft Word?” tanyanya, berharap gadis itu yang menjawab karena si kacamata sangat konfrontatif dan terus saja menyalahkan rental atas rusaknya disket mereka.
Pertanyaan Dion direspons gadis berkulit cerah itu.
“Kami buka file-nya di situ dengan Word. Kami sudah mengetik beberapa halaman dan menyimpannya di disket,” ujarnya sambil menunjuk komputer paling sudut. Suaranya lirih seperti mulai merelakan kehilangan file itu.
Dion lalu meminta izin untuk memeriksa komputer dimaksud yang direspons Hendrik dengan anggukan setuju.
“Fitur autosave memang berguna sekali untuk menghindari kehilangan file ketika komputer hang atau crash, tapi kalau menggunakan floppy disk atau disket justru jadi riskan. Apalagi digunakan berjam-jam karena tiap menit software menyimpan berulang-ulang ke disket,” kata Dion sambil menggerak-gerakkan mouse dan menatap layar komputer jenis CRT yang umum digunakan kala itu.
Hendrik sempat tersudut merasa lega. Ia membiarkan Dion mengambil-alih diskusi.
“Disket itu dimaksudkan untuk portabilitas bukan sebagai penyimpanan utama. Lain kali salin file-nya ke hard drive komputer, kalau sudah selesai baru salin ulang file yang ter-update ke floppy disk,” jelas Dion seperti seorang ahli yang sedang memberi kuliah.
“Disket itu sangat rentan alias sensitif. Gampang rusak,” lanjut Dion tanpa memalingkan matanya dari monitor.
“Tapi…,” kalimat Dion terputus entah karena apa.
Kata “tapi” yang diucapkan Dion memberikan harapan baru bagi kedua mahasiswi itu.
Keduanya kini menatap dan menyimak Dion dengan serius.
“Mungkin masih bisa diselamatkan. Ini mungkin ya, aku nggak bisa janji,” ujar Dion sejenak memalingkan wajah menghadap kedua gadis yang sudah berada di belakang punggungnya.
Sebenarnya Dion sudah menemukan solusi atas masalah itu tapi ia ingin mengulur waktu karena ketertarikannya pada gadis cantik berkaus merah.
Dion kembali bermain-main dengan DOS prompt menampilkan teks-teks aneh yang tak dimengerti oleh orang awam.
“Selain menyimpan file secara berkala, software juga membuat file sementara sebagai cadangan di sistem secara tersembunyi. Memang agak susah menemukannya.”
Dion melanjutkan kuliahnya sambil mengetikkan perintah-perintah DOS yang direspons komputer dengan gulungan-gulungan teks lainnya.
Sejenak Dion menoleh ke arah gadis berkaus merah yang berharap cemas. Gadis itu meremas tangannya berulang-ulang hingga ujung jari-jari halusnya tampak memerah juga.
Merasa menguasai keadaan dan didorong oleh ketertarikan pada gadis itu, Dion semakin berani jahil dengan terus mengulur-ulur waktu.
Sementara itu, Hendrik merasa heran dengan sikap Dion yang berbeda dari biasanya. Tapi ia segera maklum dan menduga tindakannya didorong oleh rasa penasaran pada gadis berkaus merah.
“Ah, sudah waktunya makan malam nih. Nggak lapar, Dion?” tanya Hendrik yang sebenarnya dimaksudkan untuk memancing respons kedua gadis agar mau ngobrol, tidak diam saja.
“Lapar sih, tapi lagi tanggung,” sahut Dion masih berpura-pura, seolah-olah sedang berusaha keras menyelamatkan file itu.
“Kalau file-nya selamat, Abang berdua kami traktir makan malam, deh,” respons gadis berkacamata yang berubah ramah disertai anggukan gadis berkulit cerah.
Hati Dion bersorak karena maksudnya kesampaian. Kini ia punya kesempatan berkenalan dengan gadis yang memikatnya. Ia kembali sibuk memainkan jari-jari lincahnya di atas keyboard.
Dalam hati, Dion merasa keheranan sendiri. Ia tak pernah sekonyol itu mendekati perempuan sampai-sampai menciptakan sandiwara situasional. Mungkin Dion tak kuasa melawan kodratnya sebagai pria. Makhluk yang sejatinya agresif, termasuk dalam hal mencari pasangan.
Dion sengaja pamer kemampuan kecilnya mengetikkan perintah dengan jari-jari yang sangat cepat. Perintah teks itu memungkinkan aplikasi pengolah kata membuka file tertentu, mirip seorang hacker profesional yang sering muncul di film Hollywood. Padahal trik itu ia dapatkan dari sebuah majalah komputer beberapa bulan lalu.
“Semoga berhasil!” seru Dion bersemangat.
Dion menggosok-gosok kedua telapak tangan seolah-olah mengundang keberuntungan lalu menekan tombol ‘enter’ lebih keras dari biasanya, mendramatisir momen itu.
Layar hitam komputer tiba-tiba berubah ke mode window berlatar putih lalu menjalankan aplikasi pengolah kata. Sedetik kemudian, terpampang lah dokumen laporan yang sedang dikerjakan oleh kedua mahasiswi itu.
“Benar ini file-nya?” tanya Dion.
Kedua mahasiswi itu tampak girang melihat dokumen laporan mereka terbuka di layar monitor.
“Benar, Bang. Terima kasih, ya!” seru gadis berkaus merah dengan senyum lebar memamerkan deretan rapi gigi putih bak mutiara sambil menepuk pundak Dion.
Dion tak bisa menentukan hal apa yang lebih membahagiakannya; ucapan terima kasih, tepukan di pundak, atau senyum manis sang gadis.
Dada Dion berdegup melihat paras cantik yang dekat sekali dengannya. Ia ingin berlama-lama menikmati wajah itu tapi dehaman Hendrik menyadarkannya. Ia pun membiarkan kedua gadis itu mengambil alih komputer.
Dion sudah kembali larut dalam obrolan dengan Hendrik ketika suara ajakan gadis berkacamata terdengar. “Ayolah Bang, kita traktir makan!” ajaknya sambil tersenyum ke arah Hendrik.
“Wah, aku kan harus menjaga rental. Kalian bertiga lah,” sahut Hendrik tapi lalu menambahkan, “Tapi aku dibungkusin, ya!”
Mendengar itu Dion jadi gugup. Kenyataannya ia harus menghadapi kedua gadis itu sendirian. Tapi kegugupan itu ternyata masih kalah oleh hasrat kuat untuk berkenalan dengan gadis berkaus merah.
“Ayo Bang! Pasti sudah lapar kan?” ajak gadis berkaus merah pada Dion.
“Yuk!” sahut Dion singkat.
Ia pun beranjak mengikuti langkah kedua gadis itu dengan rasa bimbang. Jelas ia tak berpengalaman dengan situasi seperti itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments