EPISODE 2

"Malu ya?" Edgar berolok olok. "Jangan kuatir, Justin cuma melihat kita berciuman. Itu saja."

    "Rupanya kau tidak menyadari yang kau lakukan atas diriku," Jeane berbisik.

    "Aku? Yang kulakukan atas dirimu?" Edgar tertawa. "Kau ini seorang penggoda, Jeane Isabelle Richmond," tuduhnya sarkastis, lengannya mengencang pada pinggang Jeane, sehingga Jeane tidak dapat mengabaikan tekanan hangat yang menimbulkan sensasi itu. "Kau ini selalu memberi janji dengan ciumanmu, tetapi bila sudah saatnya kau harus memenuhinya, malah kau menarik diri. Semestinya aku menyeret dirimu ke sebuah kamar hotel."

    "Jangan."

    "Aku tidak akan melakukannya," Edgar memutar badan Jeane sehingga kini mereka berhadap hadapan, air mukanya kelihatan tegang dan agak menakutkan. "Tetapi, sudah beberapa kali dalam minggu minggu ini kau nyaris membiarkan aku membujukmu. Jadi jangan menyangkal."

    Kemarahan membuat pipi Jeane memerah. Rasa tinggi hati Edgar yang beranggapan bahwa Ia dapat diajak tidur bersama setiap kali pria itu menginginkannya, sungguh sangat menjengkelkan, karena Jeane menyadari bahwa hal itu mungkin benar sekali.

    "Kalau begitu Ed, mengapa kau tidak membujukku hingga hal itu terjadi?" tantang Jeane.

    "Karena, sayangku yang manja," Edgar berolok olok. "Aku tidak berniat menuruti kemauanmu seperti yang dilakukan oleh teman teman lelakimu. Kalau suatu hari kita bercinta, maka itu adalah atas permintaanmu dan bukan karena aku mematahkan perlawananmu. Kalau kita tidur bersama, maka itu karena kau yang memintanya, bukan aku. Aku tidak perduli apakah kita akan melakukannya sebelum atau setelah pernikahan kita, yang penting adalah kau yang memintanya."

    "Dari semua......." Jeane memulai.

    Edgar tertawa dan menyerbu mulut Jeane. Sejenak Jeane melakukan perlawanan, sebelum ciuman itu menaklukkannya dan ia bergayut manja pada pria itu. Sejenak melupakan harga dirinya.

    "Katakan bahwa kau mencintaiku," perintah Edgar sambil mengencangkan pelukannya.

    "Aku mencintaimu," Jeane berkata dengan patuh.

    "Dan kau berjanji akan mencintai, menghormati dan mematuhi aku?" Edgar berkata lagi.

    Mulut Jeane sudah terbuka untuk memenuhi perintah itu, tetapi pada saat itu ia teringat  pembicaraannya dengan ke dua orang tuanya.

    "Aku berjanji," Jeane menjawab setelah terhenti beberapa detik dalam keraguan.

    Edgar melihat keraguan itu. Dipandangnya Jeane dengan tajam.

    "Aku sudah berbicara dengan orang tuaku mengenai kita."

    "Lalu?" Mulut pria itu menegang.

    "Mereka bilang bahwa kita terlalu pagi untuk bicara tentang pernikahan," jawab Jeane.

    Seketika Edgar melepaskan Jeane dan ia melangkah mundur. Kemarahan muncul di wajahnya. "Aku tidak dianggap layak untukmu. Bukankah itu yang mereka katakan?" Edgar bertanya dengan berapi api. Dan tidak menunggu hingga Jeane menjawab. "Apakah yang dipersoalkan oleh orang tuamu? Aku terlalu miskin untuk anak perempuan kesayangan mereka? Mereka pasti menganggap diriku tidak mampu karena harus menghabiskan waktu tujuh tahun untuk empat tahun kuliahku. Apa salahku kalau aku tidak dilahirkan oleh orang tua yang kaya seperti orang tuamu dan harus bekerja untuk memperoleh uang supaya bisa sekolah?"

    "Ed......" Jeane berusaha menghentikan luapan kemarahan itu. "Sama sekali bukan itu masalahnya. Mereka cuma beranggapan bahwa tidaklah bijaksana kalau kita segera menikah. Musim semi mendatang kau akan diwisuda, menerima gelarmu dan......."

    Edgar tidak memberi kesempatan Jeane untuk menyelesaikan penjelasannya. "Dan mereka kuatir kalai kita menikah sekarang, maka mereka harus menunjang kita.... atau lebih tepatnya menunjang diriku! Mereka tentu menganggap bahwa aku menikahimu hanya demi uangmu. Tahukah kau apa yang boleh mereka lakukan dengan uang mereka itu?"

    "Masalahnya bukan soal uang," Jeane menyadari bahwa pembicaraan tentang uang adalah yang paling menyinggung harga diri Edgar. "Mereka berpendapat bahwa kita sebaiknya menunggu setahun lagi sebelum menikah. Supaya kau dapat menyelesaikan studimu dan memperoleh pekerjaan. Aku rasa setahun tidaklah lama kalau kita saling mencinta."

    Edgar menatap mata Jeane dengan tajam. "Katakanlah padaku sejujurnya Jeane, apakah orang tuamu menyetujui aku sebagai calon suamimu?"

    Jeane tidak bisa menghindari keraguan. Ayahnya sudah secara terang terangan menyatakan ketidak setujuannya terhadap Edgar. Hanya karena pengaruh ibunya, ia memperoleh konsesi untuk menunggu selama setahun. Jeane tahu bahwa ayahnya menyetujui usul ibunya dengan harapan bahwa ia dan Edgar akan saling menjauhi sebelum waktu setahun itu berlalu.

    "Nah pertanyaanku sudah terjawab, bukan?" Edgar berkata dengan geram.

    "Ed, mereka tidak secara tegas menolakmu," sela Jeane cepat cepat. "Mereka pada dasarnya tidak mengenal dirimu seperti aku mengenalmu. Di samping itu, mereka juga menganggap aku belum dewasa. Harusnya kau bisa mengerti bahwa akan sulit bagi mereka untuk melihat diriku sebagai isteri seseorang yang boleh dikatakan merupakan orang asing bagi mereka."

    "Jadi kau mau menunggu setahun lagi?"

    "Tentu saja tidak." tukas Jeane.

    "Tetapi aku lihat kau tenang tenang saja dengan gagasan itu," Edgar berdiri sambil bertolak pinggang.

    "Lalu? Menurutmu apa yang harus kulakukan? Memukul mukul dada, menangis dan meratap seharian?"

    "Pasti orang tuamu menuduhku sebagai seorang yang cuma mengejar harta kalian," suara Edgar terasa penuh kepahitan.

    "Orang tuaku sama sekali tidak menuduhmu," Jeane berusaha keras untuk menindas kemarahannya. "Aku akui bahwa ayahku memang tidak sepenuhnya percaya kepadamu, tetapi ibuku? Ibuku bersedia menerimamu sebagaimana kau adanya. Memang bukan suatu persetujuan, tetapi juga bukan pula penolakan."

    "Jadi aku harus berterima kasih atas hal itu?" kata Edgar dengan suara mengejek.

    "Seharusnya kau dapat memahami sikap mereka," kata Jeane.

    Dari air mukanya jelas bahwa Edgar tidak sependapat dengan kekasihnya itu. "Kalau mereka mengatakan kepadamu agar tidak menikah denganku, apa yang akan kau lakukan?"

    "Mereka tidak mengatakan demikian," protes Jeane.

    "Tetapi seandainya......." Edgar berkeras.

    Dengan menggertakan gigi menahan kemarahan, Jeane menjawab, "Seandainya mereka mengatakan demikian, aku tetap akan menikah denganmu."

    "O ya?" Edgar tertawa. Ada nada mengejek dalam tawanya yang hampir tidak kelihatan itu. "Sudah kuduga, hanya soal waktu saja sebelum kau mengaku bahwa kau juga masih mikir mikir untuk menikah denganku."

    "Kalaupun aku berpikir pikir, tentu bukan karena orang tuaku mencampuri urusan," Jeane memutar badannya dan melangkah pergi. Menahan marah. Seperti yang dikatakan sendiri oleh Edgar, inilah salah satu sifat pria itu yang tidak disukainya.

    Tapi Edgar menyambar lengan Jeane.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!