Hal pertama yang Xavier lihat adalah kristal biru.
Baik itu lantai, langit-langit, dinding-dinding, meja, dan bahkan kursi sekalipun. Semuanya terbuat dari kristal biru. Hanya kristal biru sejauh mata memandang. Satu-satunya yang tidak biru adalah [Light Stone] putih besar yang tergantung di tengah-tengah langit-langit, benda yang dibuat dari bahan dasar dartmon—[Magical Stone] yang serbuknya menghasilkan cahaya—itu memenuhi ruangan dengan cahaya.
Rasanya mereka seperti berada di tempat yang tak pernah terjamah, tempat suci yang dipersembahkan untuk sang dewa. Terlalu berlebihan memang, tetapi tidak ada perumpamaan yang lebih tepat.
Lensa mata Xavier berpindah, dari kristal-kristal biru itu ke wajah Monica dan yang lainnya.
Sama seperti dirinya, mereka juga cukup terpukau dengan keelokan tempat ini. Siapa yang tidak akan terpukau melihat sesuatu yang tak pernah mereka lihat sebelumnya?
“Di sana!” seru Jose, membuat yang lainnya mengalihkan mata memandang ke arah yang ditunjuk anak berambut pirang gelap itu.
“Itu satu-satunya pintu yang ada. Sepertinya kita harus ke sana.”
Semuanya setuju mendengarkan perkataan Heckart.
Xavier tak lekas pergi, matanya menunduk sejenak memandang ukiran lingkaran sihir di lantai tempat mereka berpijak. Ini pasti ukiran yang menjadi titik tujuan dari lingkaran sihir di hutan kabut, batinnya lalu menyusul Monica dan yang lainnya.
“Selamat datang di rumahku, anak-anak Desa Carnal.”
Xavier, Monica, Elena, Heckart, Menez, dan Jose serentak memandang ke sumber suara.
Di antara dua pilar kristal biru besar yang menopang langit-langit, sebuah singgasana yang juga terbuat dari kristal biru berdiri sendiri. Di singgasana itu duduk seorang pria berambut hitam pendek acak-acakan dengan iris yang sehitam rambutnya. Meskipun dia duduk di situ dengan kaki terlipat dan kedua tangan di bantalan singgasana, Xavier dan yang lainnya dapat melihat sandaran punggung singgasana—yang artinya tubuh pria tersebut tidak nyata.
“Ilusi?” gumam Xavier, penuh tanya.
“Kurang tepat,” respon sosok tersebut. “Coba tebak lagi.”
“Sihir proyeksi?”
“Salah. Mau mencoba lagi?”
Xavier menggelengkan kepalanya.
“Namaku Hernandez. Aku adalah ingatan yang diciptakan dengan bantuan rune magic, aku hanya bisa memproyeksikan diriku di singgasana ini. Jika singgasana ini dihancurkan, aku akan menghilang. Nah, Perkenalkan diri kalian. Sangat tidak sopan jika hanya aku yang memperkenalkan diri, bukan begitu?”
Monica dan yang lainnya mengangguk.
Sebagai yang tertua, Monica meminta Heckart untuk memperkenalkan dirinya. Tetapi Heckart menolak. Sebagai cucu dari kepala desa, sudah seharusnya Monica yang harus memperkenalkan dirinya terlebih dahulu. Semua setuju dengan pendapat Heckart. Jadilah Monica memperkenalkan dirinya, lalu memperkenalkan temannya satu per satu.
“Xavier Hernandez, huh, pasti kedua orangtuamu sangat mengagumiku sampai-sampai menyematkan namaku di belakang namamu.”
Meskipun ia tahu kalau “ingatan” yang berwujud lelaki itu hanya bercanda, ia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak mengernyitkan kening tak suka. Baik ibu dan ayahnya, mereka tidak menggunakan nama keluarga di belakang nama mereka. Sudah tradisi keluarga mereka seperti itu. Alasan ayahnya menyematkan nama belakang untuknya adalah karena dia tak berminat melanjutkan tradisi itu.
“Hernandez memiliki arti petualangan,” gumam Xavier. “Ayah dan ibuku sama sekali tidak mengagumimu.”
“Tentu saja, tentu saja. Jadi, ada keperluan apa sampai kalian datang ke sini? Tak biasanya Millend menyuruh kalian ke sini, biasanya dia dan ketua desa sebelumnya selalu datang sendiri.”
“Kakek memintaku mengambil sesuatu. Dia tidak mengatakan apa itu, katanya aku akan tahu jika sudah tiba di sini. Alasan kenapa kakek tidak bisa datang sendiri karena ia sedang sangat-sangat sibuk.”
Hernandez tiba-tiba terdiam. Meskipun dia dapat menyembunyikan keterkejutannya dengan baik, Xavier sempat melihat raut keterkejutannya itu sekilas.
Ada apa, mengapa dia terkejut seperti itu?
Tiba-tiba Xavier merasakan perasaan yang tidak mengenakkan, rasanya seperti saat ia melihat lambaian tangan ayah dan ibunya sewaktu pergi dulu.
“Ada apa, Tuan Hernandez?” tanya Monica.
“Ah, tidak ada apa-apa. Masuklah ke pintu di belakang singgasana ini, di sana kalian akan menemukan apa yang kalian cari. Kalian juga bisa melihat makam kedua pendiri desa di dalamnya.”
“Tuan Hernandez, apa Anda adalah suami dari pendiri desa?” tanya Heckart tiba-tiba, membuat yang lainnya menghentikan langkah dan memandang sosok transparan Hernandez.
“Bukan, tetapi aku adalah teman baik mereka berdua. Delapan ratus tahun lalu, mereka memintaku untuk memakamkan mereka di rumahku ini tatkala mereka meninggal.”
“Bersama makam Anda?”
“Tidak, aku tidak tahu di mana makamku berada.” Hernandez tersenyum simpul. “Sekarang masuklah,” ucapnya.
Monica dan yang lainnya mengangguk, berjalan melewati singgasana menuju pintu yang Hernandez sebutkan.
Xavier menghentikan langkahnya di depan Hernandez, memandang sosok astral itu lekat-lekat. “Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan?” tanya Xavier, matanya memincing.
“Menyembunyikan sesuatu?”
“Vier, ayo!”
Xavier mengernyitkan keningnya lalu menghela napas pasrah, beranjak menyusul Monica dan yang lainnya.
Kali ini mereka memasuki ruangan yang agak berbeda dengan kedua ruangan sebelumnya, dan lebih besar. Dinding-dinding dan langit-langitnya memang masih didominasi kristal biru, tetapi lantainya adalah tanah lembap dari ujung ke ujung. Jika dibandingkan dengan ruangan sebelumnya, ruangan ini tiga kali lebih besar.
Tidak ada satu pun perabotan di sini, semuanya tanah lembap. Hanya ada enam batu nisan dan sebuah pohon kecil dengan daun aneh—yang berdiri di antara kedua makam yang paling ujung—yang ada di dalam ruangan ini.
“Ayo!” ajak Monica, yang lain mengangguk dan melangkahkan kaki menuju ke makam yang terletak di ujung ruangan.
Monica berdiri di hadapan keempat makam yang terletak segaris. Dia membaca nama-nama yang tertera di makam itu satu per satu dari kiri ke kanan: “Milena Elsesky, 14-01-E127; Ellena Elsesky, 27-11-E234; Millary Elsesky, 17-04-E411; Lucika Elsesky, 11-03-E444.”
“Mengapa keempat nama leluhurmu tertulis di sini juga, bukankah keempat nama itu ada di pemakaman desa?” tanya Elena, rasa penasaran dan ingin tahu terlukis jelas di wajahnya.
“Aku tidak tahu,” ucap Monica seraya menyatukan kedua telapak tangannya, kelopak matanya menutup.
Melihat Monica yang mulai berdoa, Elena dan yang lainnya pun menyatukan kedua telapak tangan dan memejamkan mata ikut berdoa.
Xavier agak ragu, tetapi tangannya perlahan terangkat dan menyatu. Ia tidak memejamkan mata, pupilnya tertuju pada batu nisan itu dengan kening berkernyit. Edenia, jika kau itu nyata, penuhilah keinginan Monica, batin Xavier.
Selesai berdoa, Monica melewati keempat makam itu dan berdiri di depan pohon kecil berdaun aneh, di antara kedua makam lainnya. Elena dan yang lainnya berdiri sejajar dua langkah di belakang Monica.
“Elsesky, 10-01-D801; Millend, 11-07-D827,” baca Monica.
Sekarang tahun E635. Jadi, apa yang dikatakan Hernandez memang benar?
Meskipun sama sekali tidak ada alasan bagi “ingatan” Hernandez untuk berbohong, Xavier tidak bisa menahan dirinya untuk tidak skeptikal. Tetapi lagi, objek itu terlihat sangat terkejut saat Monica mengatakan kalau kakeknya sedang sangat sibuk. Dia pasti tahu atau menyembunyikan sesuatu. Xavier tidak tahu mengapa, tapi ia merasa itu ada hubungannya dengan ketidaknyamanan yang ia rasakan.
“Jadi, nama suami pendiri desa adalah Millend, sama seperti nama Tuan Millend,” gumam Heckart, irisnya fokus pada nisan Millend.
“Jadi, apa yang kakekmu ingin kau ambilkan, Monica?” tanya Xavier, memandang pungung Monica. “Di sini tidak ada apa-apa selain pohon yang aku tak pernah lihat itu.”
“Itu sudah jelas, sobatku Vier,” celetuk sok tahu Jose. “Yang kakek Monica ingin dia bawakan adalah pohon itu, atau daunnya yang merah marun itu. Mungkin untuk obat tertentu?”
Meskipun ucapan Jose itu asal, Xavier tidak bisa menemukan alasan logis untuk menyalahkannya. Pasalnya, tidak ada apa-apa yang bisa dibawa pulang selain daun merah marun itu. Kendatipun itu mengesalkan melihat Jose tersenyum bangga seperti itu, Xavier tidak bisa mengatakan apa-apa untuk menghapus senyum Jose.
Monica menyentuh daun merah marun itu. “Daun ini,” katanya, “teksturnya keras, seperti daun besi saja.”
“Teksturnya seperti besi katamu?” tanya Heckart memastikan.
“Benar, tetapi lebih keras dari besi, bahkan sulit bagiku untuk membengkokkan daun yang setipis ini.”
“Apa kau tahu sesuatu, Heckart?” tanya Xavier.
Heckart maju mendekati pohon kecil itu. Monica bergeser membiarkan Heckart menyentuh daun merah marun tersebut.
“Ternyata benar… adamantite,” gumam Heckart, wajah datarnya dipenuhi keterkejutan.
“Adamantite?” beo Xavier.
“Di dunia ini,” jelas Heckart, “ada delapan logam keras yang kerap kali digunakan sebagai tameng, senjata, bahkan terkadang bangunan. Berturut-turut dari yang terlemah hingga yang terkuat: besi, perak, emas, platinum, mythril, orichalcum, adamantite, dan lonsdaleite. Tidak ada kejelasan apakah lonsdaleite itu benar-benar ada atau tidak, tetapi adamantite…. Aku tidak percaya akan melihatnya langsung seperti ini.”
“Jadi, kau ingin mengatakan kalau pohon kecil ini menumbuhkan daun adamantite, begitu?”
“Jika ayahku tidak pernah mengatakan hal itu padaku, mungkin aku akan sama tidak percayanya sepertimu. Tetapi, Xavier, ini tidak salah lagi adalah adamantite. Akan kubuktikan sekarang juga.”
Heckart menarik satu daun, membuatnya terlepas dari ranting pohon. Daun itu ia letakkan di tanah. “Lihat baik-baik,” ucapnya sambil mengangkat tombak tinggi-tinggi, lalu menjatuhkan mata tombak kuat-kuat di atas daun merah marun itu, menghasilkan bunyi khas metal bertabrakan.
Heckart mengambil daun itu, lalu menunjukkannya pada Xavier. “Lihatlah, sama sekali tidak ada bekas goresan di permukaannya. Padahal, mata tombak milikku ini terbuat dari platinum. Ini adalah adamantite.”
Seperti yang Heckart katakan, sama sekali tidak ada begas goresan di permukaan daun itu. Namun, bagaimana bisa ada pohon yang batangnya kayu tetapi daunnya itu adamantite? Sangat tidak masuk akal. Tetapi keberadaan sihir dan berbagai jenis makhluk hidup pun tak masuk akal, harusnya ia tak terlalu kaget melihat hal yang abnormal itu.
“Sepertinya begitu,” ucap Xavier pada akhirnya.
“Jadi, apa menurut kalian kakekku ingin aku membawakannya daun adamantite ini, seperti pendapat Jose?”
“Sepertinya begitu.”
Xavier mengangguk mengikuti jawaban Heckart. “Tidak ada hal yang bisa kita bawa selain daun itu,” lanjutnya.
“Baiklah kalau begitu.” Monica lekas memetik daun-daun adamantite itu. Satu, dua, tiga, ia memetik dedaunan itu hingga kedua tangannya penuh.
“Apa menurut kalian ini sudah cukup?” tanya Monica.
“Kalau menurut Monica itu cukup, maka itu sudah cukup.” Hanya Elena yang menjawab, sementara Xavier dan yang lainnya hanya diam memandangnya.
“Kalau begitu sudah cukup,” putus Monica.
“Aku akan membawa daun ini, jika kau tak keberatan.”
“Tentu saja, kau boleh menyimpannya, Heckart.”
Xavier berbalik. “Ayo kembali,” ucapnya seraya melangkah pergi. Monica dan yang lainnya mengangguk, menyusul Xavier menuju pintu.
“Ah, kalian sudah kembali, cepat sekali.”—adalah kalimat yang Hernandez ucapkan tatkala Xavier keluar dari ruangan beralas tanah lembap itu. Mengikuti perkataannya itu, singgasana itu berputar arah, membuat Hernandez berhadap-hadapan dengan Xavier dan yang lainnya.
“Tuan Hernandez, terima kasih atas keramahan Anda. Kami mohon pamit untuk kembali.”
“Kau tahu caranya?” tanya Hernandez, membuat Monica mengerjapkan mata beberapa kali.
“Eh… eeeehhhhh?! Bagaimana cara kami kembali?!”
Ah, reaksi itu, sangat Monica sekali. Xavier tak kuasa untuk tidak tersenyum.
“Tenang saja,” Hernandez mengibaskan tangannya, “aku akan menteleportasikan kalian kembali ke Hutan Kabut Mephisto.”
Tepat setelah mengatakan itu, sebuah lingkaran sihir yang tadi meneleportasikan mereka ke sini kembali muncul di atas mereka. Xavier mendapati dirinya berada di dalam pilar cahaya, dan dalam sekejap mata ia sudah berada di hutan kabut.
“Kalian sudah kembali.” Suara datar menyambut mereka.
Xavier langsung mengalihkan pandangannya ke sana. Zie, wanita berambut biru itu sedang duduk bersandar pada batang pohon. Em dan En di kanan dan kirinya. Mereka semua memandang ke arahnya.
Xavier menolehkan wajahnya memandang Monica, tetapi Monica tak ada di sana.
“Monica…?”
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=≠\=\=\=\=\=\=\=
[Edited]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 392 Episodes
Comments
DNK • SLOTH SINN
next.
2021-12-26
0
Muhammad Hatta
t
2021-06-27
0
Oo Oo
jos
2021-05-16
0