Akhirnya, kedua kereta kuda itu berhenti tepat di depan Hutan Kabut Mephisto.
Pepohonan berdiri berbaris-baris dan menjulang tinggi, tetapi hanya sebagian saja yang terlihat. Kabut tebal yang melingkupi hutan membuat jarak pandang memendek. Xavier hanya bisa melihat deretan lima pohon pertama. Itu pun hanya yang pertama yang terlihat jelas, yang lainnya samar-samar.
“Dari perkataan Tuan Millend, aku menerka ada jalan yang bisa diakses oleh kereta kuda. Tetapi dari apa yang terlihat, sepertinya kita tidak bisa menggunakan kereta kuda ke dalam, itu hanya akan memperlambat perjalanan,” komentar Yulagh. Yang lain mengangguk setuju, membuat seluruh pandangan langsung tertuju pada Monica. Tak terkecuali Xavier.
Mendapati dirinya menjadi pusat pandangan, Monica mengeluarkan kalung pemberian kakeknya dari dalam baju. Kalung itu terbuat dari karet yang dikelilingi perak tipis, bandulnya berbentuk prisma segi delapan yang terbuat dari kristal biru yang sangat indah. Di tengah-tengah prisma itu terdapat bola putih berkilauan, dari luar terlihat seperti mutiara.
“Apa yang dikatakan kakekmu, Monica?” tanya Xavier.
Monica kembali merogoh saku dalam bajunya. Dari sana ia mengeluarkan selembar kertas yang terlipat rapi. Ia lantas membuka kertas, tulisan di dalamnya tertulis dalam aksara kekaisaran—aksara yang penduduk desa pakai.
“Letakkan prisma kristal ini di antara dua pohon kembar,” baca Monica. “Nona Zie akan menunjukkan keberadaan pohon itu. Lalu teteskan darahmu di atas kristal biru itu. Jalan biru langit akan terbuka, dan kalian akan dibawa ke rumah pendiri desa.”
Semua pasang mata langsung tertuju pada wanita bertopeng berambut biru yang bersangkutan. Terutama Xavier. Pandangannya tertuju sepenuhnya pada wanita itu, pada dua iris hijau yang terlihat dari dua lubang di topeng putih polos itu.
Dugaanku memang benar, Nona Zie bukan hanya sekadar penyihir kelas A Serikat Sihir Andraste, batin Xavier, ia jadi semakin ingin tahu lebih dalam tentang wanita itu.
“Em, En, kalian menunggu di sini bersama Tuan Yulagh dan temannya,” ucap Zie dengan suara datarnya, kemudian dia berbalik.
“Kalian, ikuti aku.” Zie langsung berjalan ke sisi kanan hutan. Xavier lekas mengikuti wanita itu tanpa ragu. Sementara itu, Monica, Elena, Jose, Menez, dan Heckart saling berpandangan, sebelum akhirnya mereka saling mengangguk lalu menyusul Xavier yang sudah terlebih dahulu menyusul Zie.
“Kita akan memasuki hutan, jangan jauh-jauh dariku.”
“Bagaimana dengan ilusi kabutnya?” tanya Xavier.
“Kristal prisma segi delapan itu menetralisasikan ilusi dalam radius sepuluh meter,” jawab Monica. “Meskipun kabut itu masih tetap ada, kita tidak akan terkena ilusinya.”
“Seperti yang Monica bilang.”
Xavier dan yang lainnya mengangguk. Xavier sendiri langsung memposisikan dirinya di sisi kiri Zie, sementara yang lainnya berjalan dua langkah di belakang Zie. Zie memandang ke arah Xavier. Meskipun tak melihatnya, Xavier merasa kalau wanita itu mendelik padanya. Tetapi ia tak peduli. Meskipun baru mengenalnya selama beberapa hari, Xavier menyadari kalau ia suka berada di dekatnya. Aneh sekali memang, tetapi itulah yang Xavier rasakan. Ia tidak mengerti mengapa, tetapi hal itu tidak bisa disangkal.
“Siapa Anda sebenarnya, Nona Zie?” tanya Xavier lagi dengan ekspresi penasaran.
“Zie, penyihir kelas A Serikat Sihir Andraste.”
Xavier tak kuasa untuk tidak tersenyum. Zie, itu pasti bukan nama aslinya. Kedua wanita itu, Em dan En, juga memakai identitas palsu. Ah, jelas sekali, untuk apa mereka memakai topeng jika tidak ingin menyembunyikan identitas? Terlebih lagi, apa mereka itu manusia?
Sangat banyak yang ingin Xavier tanyakan, tetapi ia sangat yakin kalau wanita di sampingnya ini tak akan mau menjawab.
“Vier!” panggil Monica tiba-tiba, gadis itu sudah mengapit tangan kirinya dengan erat. “Mengapa kau tersenyum seperti itu pada Nona Zie, bukan hanya sekali, tapi beberapa kali?! Bahkan, kau tak pernah tersenyum sesering itu padaku, teman super baikmu.”
“Benarkah?” respon Xavier sekenanya. “Mungkin itu hanya perasaanmu saja, Monica.”
“Tidak,” sangkal Elena, mendukung pernyataan Monica. “Kau seperti memberikan perhatian khusus pada Nona Zie, Xavier.”
“A-Aku juka berpikiran seperti itu, Kak Xavier,” komentar Menez.
“Hahahaha, aku tahu Xavier mengagumi Nona Zie!” celetuk Jose, senyum sok tahu terlukis di bibirnya.
“…” Heckart hanya diam, tak tertarik ikut bicara, matanya sibuk melihat ke kanan dan kiri mengamati keadaan.
“Sebaiknya kalian diam, akan menyebalkan jika para panthera datang.”
Satu kalimat dari Zie itu sukses menghentikan semuanya dari berbicara. Tetapi itu sudah terlambat, seekor panthera tiba-tiba melesat dari sisi kiri mengincar Monica. Tetapi malang bagi si panthera, Zie terlebih dahulu membuat tombak tanah di samping Monica, membuat sang panthera menabrak tombak itu dengan keras—membuat tombak menembus lehernya.
Itu bukan satu-satunya panthera yang menyerang. Meskipun kabut membuat jarak pandang mereka memendek, mereka masih dapat melihat siluet beberapa panthera yang mengelilingi mereka. Hal itu membuat Zie dan yang lainnya terpaksa berhenti.
Heckart mengeratkan genggamannya pada tombaknya, sedang Xavier memasang posisi siaga. Sementara Monica dan yang lainnya berada di tengah-tengah – mereka sebisa mungkin untuk tidak melakukan apapun yang membuat panthera menjadi lebih agresif.
“Earth Lances,” bisik Zie.
Seketika, sembilan lingkaran sihir coklat tercipta belasan meter di atas Zie. Lalu dari lingkaran sihir kecil itu keluar tombak tanah sepanjang kaki orang dewasa. Tombak itu melesat tajam ke arah para panthera, siap merenggut nyawa mereka.
Para Panthera tak tinggal diam. Mereka dengan refleks yang tinggi mencoba menghindar. Tetapi tombak yang melesat dari lingkaran sihir tak hanya satu, melainkan beruntun. Setiap kali mereka berhasil menghindari satu tombak, tombak lainnya sudah siap menusuk mereka.
Panthera tak bisa maju, ada belasan lingkaran sihir lainnya yang mengelilingi Zie dan keenam anak itu.
Pertempuran sengit itu berlangsung lumayan lama, kecepatan dan refleks panthera memang luar biasa. Tetapi ketika lingkaran sihir kecil di atas bertambah menjadi berpuluh-puluh, semua panthera langsung menemui ajal mereka hanya dalam beberapa detik.
“Ayo cepat,” ajak Zie, kembali melangkah.
Xavier dan yang lainnya mengangguk lalu mengikuti sang wanita bertopeng.
Mereka berjalan dalam diam selama beberapa lama, sebelum akhirnya berhenti di depan dua buah pohon yang sama besar dan identik. Meskipun mereka tak bisa melihat lebih tinggi lantaran kabut yang menghalangi pandangan, hanya dengan melihat batangnya saja mereka sudah tahu kalau kedua pohon itu sama persis.
Seperti yang diinstruksikan kakeknya, Monica langsung maju dan meletakkan kalung berkristal biru itu di antara kedua pohon. Kemudian ia menggigit ibu jarinya, meneteskan darahnya di atas kristal itu.
Monica lalu mundur. Bersama dengan yang lainnya mereka menyaksikan bagaimana darah itu berasap lalu meresap ke dalam kristal, membuat benda seperti mutiara yang ada di dalamnya memerah. Kristal biru itu menyala, dan tiba-tiba tercipta sebuah lingkaran sihir berwarna biru keputihan besar melingkupi mereka semua dan kedua pohon itu. Dan seperti yang ditulis kakeknya Monica, sebuah jalan biru langit tercipta.
Akan tetapi, berbeda dari apa yang mereka bayangkan, jalan itu bukan berbentuk jalan. Jalan itu berbentuk pilar cahaya biru langit yang turun dari lingkaran sihir biru langit yang tercipta beberapa meter di atas prisma kristal biru itu.
“Masuklah ke dalam pilar cahaya, itu akan meneleportasikan kalian ke rumah pendiri desa.”
Xavier dan yang lainnya mengangguk. Monica memimpin jalan memasuki pilar cahaya itu.
“Nona Zie tidak ikut?” tanya Monica.
Zie menggelengkan kepalanya pelan. “Akan merepotkan kalau aku masuk,” gumamnya, membuat yang lainnya bertanya-tanya. Tetapi mereka tak sempat membuka mulut; lingkaran sihir itu terlebih dahulu meneleportasikan keenam anak itu dari hadapan Zie.
“Aku tak ingin Tuan Hernandez memanggilku dengan nama asliku di hadapan kalian,” bisik Zie pada dirinya sendiri.
“Kita akan menunggu di sini?” tanya tiba-tiba seorang wanita yang datang menghampiri Zie.
“Kami sudah membereskan mereka, tetapi apa itu memang diperlukan?” tanya seseorang yang lain.
“Ya,” jawab Zie untuk kedua pertanyaan itu. Kemudian ia berbalik, memandang kedua rekannya. “Kita tidak bisa membiarkan kedua orang itu melaporkan tentang hal ini kepada Kongsi Dagang Andraste, Em, En.”
Zie menengadahkan wajahnya memandang ke atas, iris hijaunya berubah menjadi merah dengan pupil vertikal. “Akan berbahaya jika Emperor mengetahuinya,” ucapnya dengan dingin, “Monica… Emperor tidak boleh tahu tentangnya. Selain itu, Xavier memiliki api hitam… dia adalah orang yang Tuan Hernandez ramalkan.”
“Orang yang juga diramalkan sebagai belahan jiwamu, eh, Tuan Putri?”
“A-Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan, Emeliza.”
“Jangan bawa-bawa tentang belahan jiwa Tuan Putri, Kak Emeliza, nanti dia tidak bisa tidur dengan tenang.”
“Maksudmu tidur sambil mengigau ‘api hitam’, ‘belahan jiwa’, ‘pernikahan’, Enaliza?”
“Aku tidak mendengar kalian, aku tidak mendengar kalian, aku tidak mendengar kalian.”
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
[Edited]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 392 Episodes
Comments
Cam
zie pemeran utama wanita
2022-01-04
0
DNK • SLOTH SINN
next
2021-12-26
0
Oo Oo
keren
2021-05-16
0