Pagi-pagi sekali, sebelum mentari menampakkan diri, Xavier membuka kedua kelopak matanya dengan enggan. Ibunya dengan seenak udel telah memaksanya terbangun. Xavier membuka mulutnya hendak protes, tetapi ia langsung menutup mulutnya rapat-rapat begitu melihat sosok Monica yang tersenyum jahil di depan pintu kamarnya yang terbuka.
“Ada apa, Ibu, kenapa ada Monica di sini pagi-pagi sekali?” tanya Xavier, iris merahnya tertuju pada iris merah ibunya.
“Ada hal penting yang Tuan Millend ingin bicarakan denganmu, Vier. Beliau sudah menunggu di bawah, saat ini dia sedang berbicara dengan ayahmu. Cepat bersihkan dirimu, lalu turun ke bawah.” Ibunya Xavier langsung berbalik tanpa menunggu respons Xavier. “Ayo Monica,” ajaknya, “bantu bibi menyiapkan bekal untuk nanti.”
“Baik, Bi,” jawab Monica lalu berjalan berdampingan dengan ibunya Xavier. Gadis itu menyempatkan diri menjulurkan lidahnya pada Xavier sebelum menghilang dari pandangannya.
Xavier memandang ke luar pintu dengan agak kesal, ia sungguh ingin melanjutkan tidur. Namun, karena tak ingin ibunya marah, anak lelaki berkulit putih agak pucat itu lekas menuruni ranjangnya. Xavier mengambil baju ganti dari lemari, kemudian turun tangga lalu pergi ke kamar mandi. Karena kamar mandi berada bersebelahan dengan dapur, mau tidak mau Xavier harus melewati Monica dan ibunya. Tentu saja ia menghiraukan gadis itu dan fokus ke arah kamar mandi, tetapi Xavier menyempatkan diri mendelik pada temannya itu sebelum menutup pintu rapat-rapat.
Ketika Xavier keluar kamar mandi, ibunya dan Monica sudah tidak lagi berada di dapur. Xavier lantas bergegas ke depan, di sana ia menjumpai kedua orangtuanya dan Monica beserta kakeknya.
“Kakek Millend,” sapa Xavier dengan sedikit hormat.
Meskipun status kepala desa yang dimilikinya saat ini tak lebih dari sekadar status semata, lelaki tua itu tetaplah kepala desa secara menyeluruh di mata setiap penduduk desa, tak terkecuali Xavier.
“Nak Xavier,” respon lelaki tua bernama lengkap Millend Elsesky itu. “Ayo duduk, kakek sudah menunggumu dari tadi.”
Meskipun ini adalah rumahnya, dan seharunya ialah yang berhak menyuruh seseorang duduk, Xavier tetap mendudukkan dirinya di satu-satunya kursi yang masih kosong—yang terletak tepat di antara Monica dan kakeknya.
“Ibu bilang ada hal penting yang kakek ingin bicarakan denganku, apa itu?” tanya Xavier tanpa basa-basi.
“Benar,” angguk Millend. “Kakek ingin meminta bantuanmu untuk menemani Monica mengambil sesuatu di tempat penyimpanan rahasia pendiri desa. Letaknya di sebelah utara desa ini, tepatnya di kaki Gunung Emerald.”
Kedua mata Xavier melebar. “Kakek sadar apa yang baru saja Kakek katakan?” Xavier tak menunggu jawaban ketua desa. “Jarak dari desa ini ke Gunung Emerald itu sama dengan dua kali jarak desa ini ke kota Avrana, kota paling timur kekaisaran. Jika Kakek sudah menyiapkan kereta kuda, setidaknya membutuhkan waktu dua minggu lebih untuk sampai ke sana. Artinya setidaknya butuh waktu satu bulan untuk kembali ke desa. Tunggu sebentar, siapa saja yang menemani Monica? Tidak mungkin saya sendiri dan sang kusir, ‘kan?”
“Tidak perlu khawatir,” respon sang ketua desa dengan senyum menenangkan. “Kakek sudah menyiapkan semua keperluan kalian untuk satu bulan. Dan tenang saja, bukan Nak Xavier sendiri yang pergi, tapi kakek tidak akan mengatakannya sekarang. Nak Xavier akan tahu saat menuju kereta kuda dengan gerbong yang cukup besar di luar desa. Selain itu, kakek sudah membayar jasa tiga anggota Serikat Sihir Andraste bertingkat A, B+, dan B+; mereka akan bertemu kalian sebelum kalian memasuki hutan itu. Kakek yakin mereka lebih dari cukup kuat untuk melindungi kalian dari Magical Beast yang tinggal di hutan itu.”
“Lalu, bagaimana kami bisa memasuki Hutan Kabut Mephisto yang mengelilingi Gunung Emerald?”
“Soal itu tidak perlu khawatir; Monica akan menunjukkan jalannya. Lagipula, siapa menurutmu yang membuat kabut ilusi itu dan menamakan hutan tersebut Mephisto?”
Xavier memandang lamat-lamat wajah tenang ketua desa, kemudian ia menoleh memandang kedua orangtuanya yang hanya menganggukkan kepala dengan senyum kecil di bibir. Xavier kembali memandang orang yang mati-matian membuat penduduk desa hidup dengan baik.
“Baiklah,” respons Xavier setelah menimbang-nimbang. “Saya akan menemani Monica, seperti yang Kakek inginkan. Mengenai yang memberikan nama pada hutan kabut itu, apa dia pendiri desa… atau suaminya?”
“Kakek tahu Nak Xavier akan menerimanya,” kata ketua desa dengan senyum ramahnya. “Siapkan barang-barangmu, yang lainnya sudah pada menunggu. Dan soal yang memberikan nama pada hutan itu, itu pendiri desa, sedang yang menciptakan kabut itu adalah suaminya.”
Xavier mengangguk, ia langsung bergegas ke kamarnya untuk menyiapkan segala keperluan dalam sebulan. Tak sampai lima menit kemudian ia turun dengan sebuah tas di punggung. Monica dan kakeknya beserta kedua orangtuanya sudah berada di luar rumah, Xavier bergegas menghampiri mereka.
“Ini, Xavier, gunakan jika kamu memerlukannya,” ucap sang ibu sambil menyerahkan satu kantung koin. “Jangan lupa memanfaatkan waktu perjalananmu untuk menikmatinya,” ucapnya lagi dengan senyum hangat di bibir.
...Dan ketika wanita yang perkataannya tak berani Xavier lawan itu memeluknya erat, Xavier merasa kalau ia tidak ingin meninggalkan wanita itu. Rasanya, jika ia pergi saat ini, ia tidak akan bisa melihat mereka lagi. Xavier tidak mengerti dengan perasaannya saat ini, rasa takut dan gelisah ini… tanpa sadar itu membuatnya memeluk sang ibu dengan erat.
“Pastikan kamu menceritakan perjalananmu pada ibu saat pulang nanti, ya, Vier….”
“Um,” angguk Xavier, melepaskan pelukannya dari sang ibu—kendati dengan berat hati.
Xavier menghadap ayahnya, lelaki itu tersenyum seperti biasa padanya. Bahkan meski itu adalah senyum biasa yang sering ia tujukan pada dirinya, Xavier merasa itu agak dipaksakan.
“Ayah,” ucap Xavier. “Tolong jangan buat ibu repot.”
“Ibumu yang membu—ehmm, tenang saja, ayah tidak akan merepotkan ibumu.”
Perasaan tidak nyaman yang melingkupi dirinya menghilang begitu saja. Melihat ibunya mendelik tajam ayahnya sangat menghibur sekali. Tentu saja ia tidak akan mengatakan itu secara langsung, hal yang seperti itu cukup ia sendiri yang tahu.
“Jaga ibu sampai aku kembali,” ucap Xavier lagi, senyum kecil menghiasi bibirnya.
“Mendengarmu berbicara seperti itu sungguh menyebalkan,” gerutu ayahnya.
Namun, senyum kecil nan hangat lekas saja terpatri di bibirnya. Ini pertama kalinya Xavier melihat ayahnya tersenyum seperti itu padanya.
“Ayah pasti akan menjaga ibumu,” ucapnya lembut sembari menganggat tangan kanannya lalu mengacak-acak rambutnya dengan pelan. “Jaga dirimu, dan jaga Monica juga.”
“Pasti!” seru Xavier, sedikit menyengir.
“Sekarang pergilah,” ayah dan ibunya berucap berbarengan, “yang lain sudah pada menunggu.”
Xavier memandang kedua orangtuanya lamat-lamat, mengangguk, lalu berbalik menuju Monica dan kakeknya yang telah menunggu di depan pagar rumah. Xavier melirik sekali lagi ke arah kedua orangtuanya yang masih tersenyum hangat ke arahnya. Melihat kedua senyum itu membuat Xavier ikut tersenyum.
“Ayo pergi,” ajaknya pada Monica dan kakeknya. Mereka pun melangkah pergi.
Tak lama kemudian mereka tiba di pinggir utara desa. Di sana sudah ada dua kereta kuda (satu untuk dinaiki sedang satunya berisikan bahan keperluan selama sebulan, atau kurang) yang—masing-masing ditarik dua ekor kuda—menunggu. Selama perjalanan ke sana, Xavier mendapati suasana yang sangat sunyi, bahkan tak terlihat seorang prajurit pun yang berpatroli. Mungkin karena langit masih sangat gelap, asumsi Xavier sambil mengikuti Monica dan kakeknya ke belakang kedua kereta kuda itu.
“Tolong antar mereka sampai tujuan,” pinta kepala desa kepada kedua kusir yang menyambut kedatangan mereka, kemudian memandang Xavier dan Monica. “Kalian masuklah, nikmati perjalanan panjang kalian.”
Xavier dan Monica mengangguk. Seorang kusir menyuruh keduanya memasuki kereta kuda yang paling kiri. Tatkala berada di dalam, Xavier mendapati empat anak lainnya di sana: tiga lelaki dan satu perempuan. Xavier memang sudah pernah melihat mereka semua, tetapi yang paling membekas di benaknya adalah anak lelaki yang semalam ia tolong dan seorang lagi. Dari mereka semua, Xavier hanya mengenal nama seorang saja, yang lainnya tak ia ketahui namanya.
Monica duduk di samping anak perempuan yang tampaknya dua tahun lebih tua darinya dan Monica, sedang Xavier duduk di samping Monica. Di depannya duduklah ketiga anak lelaki itu yang berumur kira-kira delapan, sepuluh, dan empat belas tahun. Mereka bertiga memandang intens dirinya, Xavier pun mendapati dirinya memandang intens mereka. Bersamaan dengan itu, kuda-kuda mulai melangkah, menarik gerobak yang mereka berada di dalamnya.
“Vier, aku yakin kau tidak ingat nama mereka,” ucap Monica memecah keheningan. “Karena itu aku akan mengingatkannya padamu. Yang duduk di sebelahku ini namanya Elena Ivanovna, umurnya hampir tiga belas tahun. Dia sebenarnya dilahirkan di Kota Etharna, ibukota Favilifna Kingdom; tetapi karena suatu keadaan, mereka pindah ke desa kita.”
Xavier memandang gadis yang bernama Elena itu dengan intens. Gadis itu memiliki kulit putih pucat, lebih pucat dari kulitnya. Rambutnya pendek sebahu, warnanya pirang kecoklatan. Dia memiliki wajah yang agak oval, cukup terbilang cantik. Hidungnya tidak pesek, tidak pula mancung. Matanya agak bulat, irisnya coklat cerah. Dia mengenakan pakaian yang serupa dengan Monica, hanya beda warna dan ukuran saja.
“Salam kenal, Xavier,” ucap gadis itu, harus Xavier akui kalau suaranya agak merdu.
Xavier mengangguk. “Salam kenal,” responsnya monoton.
“Duduk di hadapan Elena adalah Menez Helberth, anak yang semalam kita temui. Umurnya masih delapan tahun, dia adalah yang termuda dari kita semua.”
Pandangan Xavier kini tertuju pada Menez. Anak itu memiliki rambut hitam pekat seperti ayah Xavier, irisnya pun sama hitamnya. Tetapi jika ayahnya memiliki rahang kokoh dan wajah yang agak lonjong, Menez memilik bentuk wajah yang agak bulat. Jika harus dibilang, dia memiliki wajah yang feminin. Jika rambutnya lebih panjang dan dia mengenakan pakaian wanita, semua pasti mengira kalau dia adalah anak perempuan.
“Salam kenal, Kak Xavier,” ucap Menez dengan penuh hormat.
“Hmph, salam kenal, Menez.”
“Di samping Menez,” lanjut Monica, “adalah anak yang seumuran dengan kita. Namanya Jose Hermithas. Meskipun kadang menyebalkan, Jose adalah anak yang baik dan bisa diandalkan.”
“Oi, oi, Monica, siapa yang kau sebut menyebalkan? Aku orang yang paling menyenangkan di sini, kau setuju, ‘kan, Xavier?”
Xavier mengernyitkan keningnya memandang anak berambut pirang—lebih gelap dari warna rambut Monica—beriris hitam berkulit kecoklatan itu. “Kau menyebalkan seperti yang Monica bilang,” ucap Xavier datar.
“Me-Menyebalkan… katamu aku menyebalkan?!” geram Jose lalu mendelik pada Monica. “Aku tidak akan memaafkanmu, Monica, bagaimana kau bisa mempengaruhi Xavier seperti itu?” tanyanya tak percaya.
“Oh, ayolah, Jose, semuanya tahu kalau kau terkadang menyebalkan. Bahkan Menez saja setuju, ‘kan, Menez?”
“Um, Kak Jose terkadang menyebalkan.”
Jose menganga tak percaya, ia lalu menepuk mukanya sendiri dan meyakinkan dirinya kalau mereka semua hanya belum menyadari kebesaran dirinya saja, yang tak ayal membuat semua orang tertawa—terkecuali Xavier dan anak yang paling tua dari mereka.
“Dan yang duduk di depanmu,” lanjut Monica kala tertawanya reda, “adalah Heckart Elbrast. Dia adalah yang tertua dari kita semua, umurnya empat belas tahun lebih. Aku tahu kau kuat, Vier, tetapi Heckart… saat ini dia beberapa kali lebih kuat darimu.”
Pandangan Xavier seketika terfokus pada anak lelaki yang duduk dengan wajah datar di depannya. Heckart memiliki tubuh yang agak kekar. Ia memiliki rambut hitam agak panjang antara pinggang dan pundak. Rambut panjangnya itu dia ikat di ujungnya, dua jambang panjang membingkai wajah maskulinnya. Heckart berkulit putih cerah, irisnya sama hitamnya dengan pakaian yang ia kenakan. Sebuah tombak terbaring di bawah kakinya; seperti yang Monica katakan, saat ini Heckart jauh lebih kuat dari Xavier.
“Apa Tuan Millend menyuruhmu, Heckart?” tanya Xavier, sedikit tertarik mendengar jawaban dari seseorang yang cukup ia kenal, tetapi tak cukup dekat untuk disebut teman.
“Tidak,” geleng Heckart. “Aku mengajukan diri; aku penasaran dengan identitas dari suami pendiri desa. Tuan Millend mengatakan kalau makamnya terletak tepat di samping makam Nyonya Elsesky. Mendengar pertanyaanmu, artinya Tuan Millend memintamu ikut serta.”
“Oh, begitu.” Xavier tidak perlu menjawab kalimat terakhir Heckart, itu adalah pernyataan, bukan pertanyaan.
Heckart mengangguk, Xavier tidak lanjut berbicara; pembicaraan mereka berakhir.
“Eh… eeeehhhhhh?! Kalian saling mengenal, Vier, Heckart?” tanya Monica, keterkejutan memenuhi wajah cantiknya.
Xavier hanya meng-hmph sebagai jawaban, sedang Heckart memejamkan mata; keduanya tak tertarik untuk menjawab pertanyaan retorikal Monica.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
[Edited]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 392 Episodes
Comments
Renn.
ngeliat anak anak di buat seolah² agar keluar dari desa,,,sepertinya saya memilik tebakan hehe😴
2023-01-07
0
DNK • SLOTH SINN
next.
2021-12-04
0
Tatang A Suhendar
susah baca nama" nya
2021-05-24
0