Ayah Xavier kembali ke perkebunan tak lama kemudian. Wajahnya sedikit memancarkan rasa lelah, kendatipun dia telah menyembunyikannya dengan baik.
Xavier bertanya mengapa ibunya sampai sebegitunya menginginkan ayahnya untuk pulang, tetapi ayahnya hanya mengibaskan tangan dan mengatakan kalau itu bukanlah suatu masalah yang berarti. Tak berminat untuk tahu lebih dalam, Xavier dan Monica memilih pergi, meninggalkan ayahnya sendiri.
Mereka kembali menuju dermaga, tempat di mana sebelumnya Xavier menjumpai Monica. Sebenarnya Xavier ingin langsung pulang dan melanjutkan latihannya, tetapi itu tak memungkin dengan adanya Monica di sampingnya. Karenanya ia sengaja melangkah ke dermaga. Akan tetapi, langkah mereka terhenti beberapa saat sebelum mencapai dermaga. Seorang pria paruh baya telah memanggil mereka.
“Kek Erlan,” sapa Monica ceria.
Ah, serahkan pada Monica untuk mengenal setiap penduduk desa. Tetapi jika dilihat baik-baik, kakek yang bernama Erlan itu cukup familiar di mata Xavier. Apa dia adalah seorang sesepuh, atau anggota dewan desa?
“Nona Monica, maafkan kakek, tapi bisakah kakek tua ini meminta bantuanmu?”
“Bantuan apa, Kek Erlan?”
“Menantu kakek sedang sakit. Kakek sudah memberinya ramuan, tetapi tak kunjung ada perubahan. Bisakah Nona Monica mengeceknya? Kakek sangat mengkhawatirkannya.”
“Tentu saja, Kek, ayo kita ke rumahmu!”
Mendengar respons ceria nan tulus Monica, kakek tua itu tersenyum lega.
“Ayo,” ucapnya penuh syukur, memimpin jalan ke rumahnya.
Tentu saja Xavier tak mengikuti mereka; ia diam-diam berbalik arah lalu melangkah ke arah yang berlawanan dengan Monica dan kakek tua itu.
“Xavier, mau ke mana kau, ayo bergegas!”
Xavier lekas berbalik.
“Aku melihat ke sana,” ucapnya tersenyum, melangkah mendekati Monica. “Sekarang aku menyusulmu.”
Dengan amat enggan, Xavier melangkah beriringan dengan Monica mengikuti sang kakek tua.
Langkah kakek tua itu tidak terburu-buru. Xavier dan Monica mengikutinya dengan langkah yang serupa. Sesekali angin musim panas berembus lembut memainkan rambut merahnya, juga rambut pirang Monica. Meskipun Xavier sendiri lebih menyukai musim dingin, ia sama sekali tidak membenci musim panas ataupun musim-musim yang lain.
Di sepanjang jalan, Xavier mengamati orang-orang desa dengan detil. Ia tidak tahu bagaimana ekspresi mereka sebelum orang-orang kekaisaran mencampuri urusan desa, tetapi ia yakin kalau orang-orang desa jauh lebih bahagia dibandingkan kini. Meskipun dua tahun terakhir ini sudah tidak pernah ada bentuk kekerasan dari para anjingg itu, Xavier masih tidak bisa mengusir memori-memori mengenaskan sebelum itu.
“Ma-Maafkan anak saya, dia sungguh tidak sengaja telah menabrak Tuan Prajurit; biarkan saya menggantikannya menerima hukuman!”
Langkah kaki Xavier berhenti total, kedua matanya melebar ngeri. Tak jauh dari tempatnya berdiri, seorang ibu-ibu tengah berlutut melindungi anaknya dari pukulan seorang prajurit. Penduduk desa lain yang melihatnya hanya bisa diam, mereka sama sekali tak berani untuk membela. Gigi-gigi Xavier menggemeretak, tangannya terkepal erat.
“Berhenti, jangan sakiti mereka!” teriak Monica seraya berlari mengampiri mereka.
Melihat itu, Xavier langsung memacu kakinya untuk mengejar Monica, tetapi gadis itu sudah terlebih dahulu berdiri di depan anjingg bermuka manusia melindungi ibu-anak tersebut. Mendecih marah, Xavier menguatkan tubuhnya dengan [mana], membuatnya berada tepat waktu untuk menahan tinju prajurit dengan telapak tangannya sebelum tinju itu mengenai wajah Monica.
“Mohon maaf, Tuan Prajurit,” ucap Xavier dengan senyum ramah di bibir. “Perkenankan saya tahu, mengapa Tuan Prajurit yang gagah perkasa seperti Anda sampai marah seperti itu?”
Prajurit itu tampak terkejut melihat tinjunya ditahan oleh anak kecil, tetapi dia langsung menghilangkan keterkejutannya dan menarik tangannya dari telapak tangan Xavier begitu mendengar pujian atasnya. Dengan memasang wajah angkuh dan setengah kesal prajurit itu berkata, “Anak ingusan itu menabrak dan membuat kotor celanaku, sudah seharusnya prajurit gagah perkasa sepertiku memberinya hukuman.”
Senyum Xavier tak luntur.
“Pantas saja Anda sangat kesal, mengotori pakaian kebesaran Anda sama saja merendahkan Anda sebagai prajurit gagah perkasa nan setia. Akan tetapi, tidak bisakah prajurit yang bijaksana seperti Anda memaafkan mereka? Saya yakin para penduduk desa akan membuka mata dan mengakui kehebatan dan kebijaksanaan Anda jika begitu. Dengan dukungan dari para penduduk, bukankah Anda berpeluang untuk menggantikan pemimpin Anda, wahai prajurit yang gagah perkasa?”
Sang prajurit terdiam sesaat. Ia mengedarkan pandangannya mengamati ekspresi para penduduk. Kemudian ia mengembalikan pandangannya pada Xavier, lalu pada ibu dan anak yang telah membuatnya kesal. Jika semua penduduk desa menyukai dan mendukungnya, sangat mungkin ia, setidaknya, bisa lebih dekat dengan kapten.
Boleh juga anak ini, hm, mungkin aku bisa memanfaatkannya, batin sang prajurit, rasa kesalnya telah hilang sepenuhnya.
Xavier merogoh sakunya mengambil sekeping koin emas yang selalu ia bawa ke mana-mana untuk jaga-jaga.
“Saya sangat tahu kalau Anda bukanlah mata duitan, tetapi terimalah ini sebagai terimakasih kami atas kebaikan Anda.”
“Desa ini sangat beruntung memiliki anak yang cerdas sepertimu,” ucap sang prajurit sambil menerima koin emas yang Xavier berikan. “Aku memaafkan anak itu, tetapi jika dia mengulanginya lagi maka tak akan ada maaf yang kedua.”
“Tentu saja, saya yakin ibunya akan mengajarkannya dengan baik.”
Prajurit itu mengangguk, berlalu pergi.
Seketika ekspresi Xavier mendatar. Irisnya mengikuti kepergian sang prajurit, sorot matanya sangat menusuk. Jika pandangan dapat membunuh, prajurit itu bukan hanya akan mati, melainkan tubuhnya akan terbakar pelan-pelan hingga menjadi abu—saking dinginnya pandangan Xavier.
Koin itu, suatu saat aku akan mengambilnya kembali beserta nyawamu, anjingg bertopeng manusia, desis Xavier di benaknya.
“Terima kasih, Xavier,” lirih Monica sembari memeluk Xavier dari belakang. “Maaf, karena membuatmu tersenyum manis padanya.”
“Ayo pergi, Monica. Kau harus menyembuhkan menantu si kakek tua itu, kan?”
“Um.”
Xavier meminta si kakek untuk menuntun jalan, mereka pun kembali melangkah. Namun, baru beberapa langkah mereka berjalan, anak laki-laki yang kira-kira dua tahun lebih muda dari Xavier telah berdiri di depan si kakek tua. Hal itu memaksa mereka berhenti.
“Terima kasih,” ucapnya sambil membungkukkan badan. “Suatu saat... suatu saat aku pasti akan membalas jasamu, Kak Xavier.”
Xavier memandangnya datar. “Hmph, aku menantikannya,” respons Xavier, lanjut berjalan.
Anak lelaki tersebut menyingkir, membiarkan Xavier dan yang lainnya pergi. Ia memandang punggung Xavier yang menjauh dengan kagum, bibirnya perlahan-lahan melengkung. Aku harus menjadi kuat, batin anak tersebut dengan mata berapi-api.
“Ayo Menez, saatnya kita pulang!”
“Um,” angguk anak lelaki tersebut mengiyakan ajakan sang ibu. Ia memandang punggung Xavier sekilas sebelum berlari menyusul sang ibu.
Xavier dan Monica tiba di rumah Erlan tak lama kemudian.
Itu rumah satu lantai yang sederhana, tetapi luasnya hampir dua kali lebih besar dari rumahnya. Terlebih halamannya; jika halaman rumahnya sebesar itu maka Xavier bisa berlatih sihir dengan sangat bebas. Bukan berarti ia tidak puas dengan tempat tinggalnya, tetapi lebih kepada menyatakan pendapat murni. Tentu saja, ia tidak akan menolak jika diberikan tempat tinggal yang serupa.
“Akhirnya kau pulang, Ayah. Lho, di mana Tuan Millend?” tanya seorang pria berusia empat puluhan tatkala membuka pintu rumah.
“Tuan Millend sedang sibuk, ayah tidak mungkin memintanya meninggalkan pekerjaannya. Tapi syukurlah ayah bertemu cucunya, Nona Monica, di jalan. Ayah yakin dia mampu setidaknya untuk meringankan sakit istrimu.”
“Ah, begitu rupanya. Kalau begitu ayo masuk, Nona Monica! Mohon sembuhkan istri paman, paman rela membayar mahal untuk itu!”
“Tentu saja, Paman! Aku akan mengusahakan yang terbaik!” seru Monica seraya mengikuti kedua lelaki yang usia mereka terpaut jauh darinya.
Xavier masuk setelah Monica, tak lupa ia menutup pintu lalu menyusul ketiga orang tersebut. Begitu berada di dalam, Xavier mendapati perempuan yang beberapa tahun lebih tua dari anak Kakek Erlan terbaring lemah di ranjang. Kulitnya pucat, bibirnya sedikit membiru. Xavier tidak akrab dengan tanaman herbal ataupun sihir penyembuh, karenanya ia sama sekali tidak tahu bagaimana menyembuhkan perempuan itu.
Monica berdiri di tepi ranjang, memandang prihatin wanita sakit tersebut. Kakek Erlan meletakkan sebuah kursi di samping Monica. Monica lalu duduk di situ dengan mata fokus memandangi tubuh lemah menantu Erlan. Xavier tidak tahu apa yang persisnya Monica lakukan. Meskipun ia hampir selalu menghabiskan hari dengan Monica, ini pertama kalinya ia melihat gadis itu akan menyembuhkan seseorang.
Sihir unik tipe penyumbuh, itu adalah sihir Monica yang sama dengan sihir kakeknya. Xavier memperhatikan baik-baik tatkala kedua tangan Monica terselimuti energi sihir berwarna putih bersih. Menurut buku sihir dasar pemberian ibunya, warna energi sihir (mana) normalnya hanya ada tiga: putih bersih, perak, dan abu-abu (masing-masing memiliki tingkat kecerahan yang berbeda-beda). Xavier sendiri memiliki [mana] berwarna abu-abu gelap, sangat kontras dengan milik Monica yang putih bersih. Tetapi Xavier sama sekali tak terkejut. Warna energi sihir mencerminkan jiwa setiap makhluk hidup; malahan ia akan bingung jika warna energi sihirnya itu putih bersih.
“Heal,” lirih Monica, menyelimuti wanita yang berbaring lemah itu dengan energi sihirnya.
Xavier mengamati kinerja Monica dengan teliti. Sekejap pun ia tak memindahkan pandangannya dari wanita dewasa itu. Ia dapat melihatnya dengan baik, bahwa kulitnya yang tadi pucat perlahan-lahan mendapatkan warnanya kembali, kulitnya yang sedikit membiru perlahan-lahan mulai cerah. Melihatnya membuat Xavier kembali mengagumi keajaiban sihir, apa jadinya jika tak ada sihir?
Xavier tidak bisa membayangkannya dengan pasti, tapi setidaknya ia yakin kalau makhluk-makhluk lain terutama vampire dan naga pasti akan membuat manusia menjadi stok makanan mereka.
“Aku sudah menyembuhkan bibi, kondisinya saat ini sudah membaik. Alasan kenapa ia masih belum sadar adalah karena dia masih dalam tidurnya. Biarkan saja demikian, bibi akan terbangun dalam satu hingga tiga jam ke depan,” jelas Monica layaknya penyembuh berpengalaman kepada kedua lelaki tua dan dewasa yang memandangnya penuh harap.
“Benarkah?!” tanya Elran dan anaknya dengan setengah berteriak, meyakinkan diri kalau yang mereka dengar dan lihat bukanlah halusinasi.
“Um,” angguk Monica.
Rasa lega lekas terlukis di wajah mereka berdua, membuat Monica tersenyum hangat. Xavier tak terkeculi, bibirnya tak kuasa untuk tidak melengkung. Ia senang melihat Monica tersenyum hangat seperti itu.
“Terima kasih, Nona Monica, terima kasih banyak!”
“Ini, terimalah koin emas ini sebagai rasa terima kasih paman karena telah menyembuhkan istri paman.”
“Ah, tidak perlu, Paman, aku menolongnya dengan sukarela,” tolak Monica.
“Paman tahu itu, tetapi paman tidak enak hati jika tidak memberikan apa-apa kepada Nona Monica. Karena itu, tolong terimalah koin ini. Itu akan membuat paman sangat senang.”
Monica terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah harus menerima koin emas itu atau tidak. Namun, setelah mempertimbangkan baik-baik, dia memutuskan untuk menerimanya.
“Aku terima dengan senang hati, Paman,” ucapnya menerima sekeping koin emas itu. “Apa ada hal lainnya yang perlu kami bantu, Kakek, Paman?” tanyanya.
“Tidak ada. Maaf telah mengganggu kegiatan kalian, sekali lagi paman ucapkan terima kasih banyak.”
Monica mengangguk. “Kalau begitu kami permisi, Kakek, Paman.” Monica menghadap memandang Xavier. “Ayo Vier, kita pergi.”
Xavier mengangguk, ia melangkah bersama Monica menuju pintu keluar. Kedua ayah-anak itu mengantar mereka sampai ke depan pintu. Keduanya lalu mengucapkan terima kasih sekali lagi dan mendoakan agar hari Xavier dan Monica berjalan baik.
“Ini, Vier, untukmu,” ucap Monica tiba-tiba, meletakkan koin emas yang didapatnya tadi di telapak tangan kanan Xavier.
Xavier menghentikan langkahnya, mengernyitkan kening.
“Tidak perlu, Monica,” tolaknya sambil mengembalikan koin itu ke telapak tangan Monica. “Ini adalah uangmu, kau harus memanfaatkannya untuk keperluanmu. Lagipula, aku sudah memutuskan untuk mengambil koin itu dari tangan anjingg berkaki dua itu,” jelasnya. “Itu adalah pertama kalinya kau mendapatkan uang dengan kedua tanganmu sendiri, aku ingin kau menikmatinya.”
Bibir Monica melengkung tipis. “Heee… kau tidak sedang menggodaku, ‘kan?”
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
[Edited]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 392 Episodes
Comments
abang readers
maka yg terjadi terhadap dirimu akan seperti kmi yg membaca mu wahai xavier
2022-03-31
1
Cam
Xavier agak serem
2022-01-03
2
DNK • SLOTH SINN
next
2021-12-04
0