Xavier dan Monica akhirnya sampai di gudang di tengah-tengah perkebunan.
Di sana, di bangku yang diletakkan di depan gudang, duduk seorang pria berusia empat puluhan dengan sebatang rokok di antara bibirnya. Tampaknya ia sedang melamun. Pasalnya, kedua mata pria itu terlihat memandang kosong pada ketiadaan jauh di hadapannya.
Monica meminta Xavier mengikutinya diam-diam dari sisi kanan gudang, mencoba untuk membuat ayah Xavier terkejut. Dengan senyum jahat, di mata Xavier, Monica membawa kedua tangannya mencoba mendorang lelaki berambut hitam pendek itu. Tetapi bukannya mengejutkan, Monica justru terkejutkan oleh ayahnya Xavier yang tiba-tiba menolehkan wajahnya sambil berekspresi seram lalu meneriakkan “whoa!”—yang lantas mengakibatkan Monica jatuh terduduk.
“Paman tega sekali!” teriak Monica sembari mendelik pada sang pelaku.
“Hahahaha….”
Bibir Xavier sedikit berkedut melihat adegan yang tersaji di hadapannya, sebelum kemudian ia tertawa terbahak-bahak sampai matanya sedikit sembab.
Melihat temannya menertawakan dirinya, Monica memasang wajah kesal lalu berkata, “Vier, aku akan mengatakan pada ibumu kalau kau mencoba mengintipku sewaktu aku mandi!”
Mata Xavier melebar ngeri. “Ja-Jangan kau berani… lebih tepatnya, aku tidak pernah sekali pun mengintipmu mandi!”
“Xavier.”
“Jangan memandangku seperti itu, Ayah, aku tidak pernah melakukan apa yang Monica tuduhkan!” geram Xavier, matanya mendelik pada Monica yang memeluk tubuhnya seolah-olah melindungi diri. “Monica, cepat katakan kalau kau hanya bercanda!”
“Bagaimana bisa kau mengancamku seperti itu, Vier?” Ekspresi Monica menjadi sendu. “Kau bilang nanti ketika dewasa kau akan menikahiku, karenanya aku membiarkanmu mengintipku. Kau lupa…?”
“Xavier, ayah tidak perca-”
“Ibu marah, ayah harus cepat pulang.”
Sepenggal kalimat itu sukses menutup mulut ayahnya rapat-rapat.
“Kau benar, ayah harus pulang. Tetaplah di sini sampai ayah kembali, Xavier.”
Dengan itu, ayahnya Xavier berlari terburu-buru meninggalkan perkebunan.
Melihat ayahnya pergi, Xavier menghela napas lega dan memandang Monica dengan senyum jahatnya. “Nah, coba ingatkan aku lagi, kapan aku pernah mengintipmu, eh, Monica?”
Menyadari tidak ada yang bisa menolongnya, Monica melakukan apa yang biasa ia lakukan.
“Eh, kapan kau mengintipku, Vier, kenapa aku tidak pernah sadar?” tanyanya dengan muka polos.
“…”
“…”
Xavier mendudukkan dirinya di bangku, mengabaikan pertanyaan Monica. Ia sudah berpikir kalau ia telah memenangkan hal kecil ini, tetapi satu pertanyaan pura-pura polos dari Monica sukses melenyapkan senyum jahatnya.
Tersenyum puas melihat senyum jahat Xavier menghilang, Monica mendudukkan dirinya di samping teman terbaiknya itu.
“Tadi malam aku bermimpi yang aneh sekali,” ucap Monica tiba-tiba, matanya memandang jauh ke depan.
“Mimpi aneh yang seperti apa?” tanya Xavier. Bukan karena tertarik, melainkan karena ia tak ingin Monica memaksanya untuk merespons.
“Dalam mimpiku,” Monica bercerita, “aku melihat diriku memiliki dua pasang tanduk bagai tanduk domba yang mencuat dari kepalaku. Sepasang sayap hitam tak berbulu tertancap kokoh di punggungku – layaknya iblis yang merangkak keluar dari gerbang neraka. Dalam mimpi itu aku tak sendiri, seekor iblis wanita bernama Ellette mengawasi perubahanku dan mengatakan kalau aku adalah cucu dari cucu dari cucu cucunya.
"Dibandingkan dengan keturunannya yang lain, Ellette mengatakan kalau jiwaku mewarisi hampir setengah dari jiwanya. Yang artinya, aku bisa berubah menjadi iblis jika aku membiarkan jiwaku ditelan oleh jiwa Ellette—atau sebaliknya. Aku bersikukuh kalau aku bukan keturunan iblis, dan aku tak akan pernah menjadi iblis. Tetapi Ellette dengan senyum meyakinkan mengatakan kalau suatu saat nanti aku pasti akan meminta agar jiwanya menelan jiwaku dan berubah menjadi iblis.”
“Itu mimpi yang sangat aneh,” lanjut Monica. “Para iblis sejak dahulu sudah dibantai habis oleh Malaikat Agung Luciel dan Seraphim Emiliel, bagaimana mungkin aku keturunan iblis, kan, Vier? Lagipula, jika mimpi itu masuk akal, bagaimana mungkin sang dewa, Edenia, menganugerahiku dengan sihir penyembuh? Hahahaha, sungguh mimpi yang aneh.”
Sebelum mengenal sihir, Xavier dengan tanpa ragu akan mengatakan kalau itu cuma mimpi, bualan semata. Tetapi kini ia tak menutup kemungkinan kalau mimpi itu adalah akibat sihir iblis yang bernama Ellette itu. Pihak gereja sejak dahulu telah mengajarkan kalau Malaikat Agung Luciel dan Seraphim Emiliel telah membasmi habis para iblis, gerbang neraka telah disegel selamanya. Sama sekali tak menutup kemungkinan kalau satu atau dua iblis selamat dari keduanya. Namun, iblis menjadikan manusia sebagai pasangan untuk meneruskan keturunan, sedangkan mereka itu bisa hidup selamanya? Sama sekali tak bisa dipercaya, sesuatu yang mustahil.
“Tentu saja,” jadilah ia menjawab, “Monica tak mungkin keturunan iblis; Monica adalah Monica.”
“Yap, Monica adalah Monica.”
Bibir Xavier melengkung tipis, selamanya Monica adalah Monica, bahkan jika mimpi itu menjadi kenyataan sekalipun.
***
Dermyus bersama dengan kedelapan siluet lainnya keluar dari ruang singgasana dengan ekspresi yang berbeda-beda. Dermyus sendiri memasang wajah datar, tetapi sorot matanya tampak seperti mereka-mereka yang sedang tertekan. Bukan tanpa alasan; pertemuannya barusan dengan penguasa kekaisaran membuat dirinya dalam dilema. Dermyus tahu kalau cepat atau lambat hal ini akan terjadi selama dirinya menjadi bagian dari Imperial Army. Tetapi mau mempersiapkan diri sebaik apa pun, ia sangat tahu kalau dirinya tak akan pernah siap.
Tanpa memusingkan rekan-rekannya yang lain, ia menelusuri lorong istana menuju ke pintu keluar sebelah barat—ia tak bisa mencapai ruang kerjanya lebih cepat jika pergi dari pintu lain.
Begitu tiba di kantor utama bangunan besar dua lantai yang menjadi markas utama Divisi 7 Imperial Army, Dermyus memerintahkan sekretarisnya untuk memanggil kapten dari semua skuad di bawah kuasanya. Tak lama kemudian, sepuluh orang yang terdiri atas laki-laki dan perempuan berbaris rapi penuh hormat di depannya.
“Kami siap menerima perintah Anda, Seventh Commander!” seru mereka bersamaan.
Dermyus memandang lamat-lamat para kaptennya. Ia tahu apa yang akan dikatakannya adalah perintah sang emperor, tetapi kenyataan kalau ia akan meminta pasukannya untuk menumpahkan darah dan menundukkan paksa orang-orang tak berdosa membuat hatinya tidak tenang. Sejujurnya, ia ingin menolak mengemban perintah sang emperor. Tetapi perintah adalah perintah, mengingkarinya sama saja dengan melanggar aturan. Sebagai bangsawan yang hidup dengan penuh ketaatan pada aturan, Dermyus harus rela menutup hatinya meski berat.
Dermyus membulatkan tekadnya. Mau tidak mau, suka tidak suka, perintah adalah perintah, batin Dermyus dengan tangan terkepal.
“His Majesty Emperor telah memerintahkan untuk mengambil alih Desa Carnal sepenuhnya,” ucapnya dengan ekspresi sedatar yang ia bisa. “Kemudian, kita akan bergerak menginvasi Maggarithaz Kingdom dari sisi barat ke timur. Kematian Emperor Nevada el Vermillion sepuluh tahun lalu, His Majesty Emperor Nueva el Vermillion menginginkan kepala King Heclith III dan tanah kekuasaannya sebagai balasan.”
Berbagai ekspresi memenuhi wajah para kaptennya, tetapi tak satu pun yang seperti dirinya. Bukannya Dermyus berharap demikian, tetapi ia ingin orang-orang hidup dengan moral. Meskipun dirinya terlihat munafik, Dermyus sungguh ingin hidup damai tanpa peperangan dan pertumpahan darah: kehidupan yang teratur yang dilandasi aturan-aturan yang adil dan bijak. Ia tahu itu mustahil, tetapi… itu adalah impian ibunya yang telah wafat, impian yang kemudian diwariskan kepadanya tanpa sepengetahuan ayahnya.
Dermyus dulu mendaftarkan diri menjadi anggota Imperial Army karena itu adalah tradisi utama Keluarga Haneth. Sebelumnya, ayahnya adalah pemegang gelar Seventh Commander. Sebelum ayahnya, titel Seventh Commander berada di tangan kakeknya, dan seterusnya. Semenjak didirikannya Imperial Army oleh pendiri kekaisaran berabad-abad yang lalu, posisi Seventh Commander selalu dipegang oleh pewaris utama Keluarga Haneth.
Meskipun kekaisaran menganut sistem meritokrasi, keluarga Haneth adalah satu-satunya bangsawan yang diberikan hak khusus mengelola sebuah wilayah – artinya mereka diberikan status kebangsawanan sejak lahir. Jika royal family menyematkan “el” di antara nama depan dan belakang mereka sejak lahir, maka setiap anak yang dilahirkan dalam keluarga Haneth menyematkan “von” pada nama mereka tatkala lahir ke dunia.
Dengan alasan itu, Dermyus sama sekali tidak punya pilihan selain meneruskan estafet keluarganya. Perintah adalah perintah, melanggarnya sama dengan melanggar perintah pendiri Keluarga Haneth, sama saja dengan melanggar aturan.
“Kapan kita berangkat, Commander?”
Sepenggal pertanyaan itu sukses mengembalikan perhatian Dermyus pada para bawahannya.
“Terkecuali Kapten Emily,” ucapnya, “kalian dan pasukan kalian akan meninggalkan ibukota esok pagi, Vice-commander Elizabeth akan memimpin kalian. Sementara, aku sendiri dan Kapten Emily beserta pasukannya akan beranjak ke Desa Carnal siang ini. Ada pertanyaan lain?”
Melihat tak ada yang bertanya, Dermyus mengizinkan semuanya—selain Kapten Emily—untuk meninggalkan ruangan.
“Ayo, Kapten, kita akan menemui Vice-commander Elizabeth di kediamannya.”
Dermyus lekas keluar ruangannya, Emily mengikutinya dalam diam.
Dari kesemua kapten pilihannya, hanya Emily yang tidak pernah menampilkan ekspresi berarti setiap kali menerima perintah. Ekspresi wanita berambut merah muda pendek sebahu yang dua tahun lebih muda darinya itu selalu datar, bisa dibilang tak jauh beda dengannya. Gadis itu selalu melaksanakan perintahnya tanpa pernah bertanya, tak peduli se-absurd apa itu. Karena itu, dari semua kaptennya, Dermyus lebih suka memilih Emily untuk menyertainya.
Ia dan kaptennya itu tiba di depan kediaman Elizabeth sekitar lima belas menit kemudian.
Meskipun berasal dari keluarga terpandang, kediaman Elizabeth terkesan sederhana jika dibandingkan dengan kediaman-kediaman petinggi kekaisaran lainnya. Hal itu bisa dimengerti, sangat dimengerti malah. Seperti dirinya, Elizabeth tidak berasal dari ibukota, mereka berasal dari kota yang sama: Verena. Itu adalah kota paling selatan kekaisaran, kota itu menjadi batas antara kekaisaran dan Hutan Besar Amarest, hutan di mana kerajaan para elf terletak. Dibandingkan dengan semua kota, Verena adalah kota teraman ke dua setelah ibukota kekaisaran: Nevada.
“Commander Dermyus, Sir!” salut Elizabeth tatkala menemukan atasannya bertamu.
“Kapten Emily,” sapanya pada perempuan yang berdiri di sisi kiri, dua langkah di belakang Dermyus. “Silakan masuk,” ucapnya mempersilakan, membuka pintu lebar-lebar.
Dermyus dan Emily masuk tanpa ragu.
Dermyus tak berbasa-basi, setelah duduk ia langsung memberitahu Elizabeth apa yang harus dia lakukan.
Setelah memberikan instruksi pada Elizabeth, Dermyus meminta Emily untuk mempersiapkan pasukan di bawah komandonya dan menemuinya di gerbang utama ibukota tepat ketika mentari berada di titik kulminasinya.
“Aku akan bertemu dengan Commander Lilithia dan Commander Reinhart untuk memantapkan rencana penaklukkan Maggarithaz Kingdom,” ucapnya sebelum mereka berpisah.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
[Edited]
Halo. Kamu suka kucing? Suka fantasi berbumbu sci-fi? Ingin membaca kucing dalam fantasi yang penuh aksi dan komedi? Ingin mengikuti bagaimana para kucing super menguasai dunia? Boleh banget cek instagram saya: @nearfunn.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 392 Episodes
Comments
Degurechaff
Musuh terakhir selalu muncul diawal cerita
2023-02-15
0
Tio Fake
p
2023-01-07
0
Penjelajah
setan
2022-12-19
0