Against The World: Initiation
3rd April, E625 | Benua Es Gheata
Seorang individu berwujud layaknya manusia perempuan berfisik seperti gadis berusia tiga belas tahunan duduk tenang di atas sebuah singgasana emas yang terletak begitu saja di atas tumpukan salju abadi, memandang bosan pada naga putih kecil yang bermain-main dengan ekornya sendiri.
Gadis itu memiliki rambut hitam panjang sekelam malam tak berbintang, kulit seputih susu, dan iris yang sama hitamnya dengan rambut indahnya. Kedua daun telinganya seperti telinga manusia, tetapi dengan ujung yang runcing seperti elf. Kendati dia berada di benua yang diliputi bongkahan es dan diselimuti salju yang tidak pernah cair, pakaian yang dikenakannya hanyalah sebuah gaun hitam selutut yang diikuti oleh legging putih yang membungkus kaki mungilnya—tanpa ada sepatu yang melindungi telapak kaki.
Mengesampingkan sebuah rantai yang meliliti kaki kirinya, penampilan gadis itu layaknya seorang putri yang sedang kebosanan dalam kamar luasnya.
Gadis itu terus duduk diam seperti itu, tak peduli pada mentari yang sudah meninggi menyurahkan cahaya yang walaupun tak seintens di benua-benua hijau sana namun justru lebih menyengat. Sementara, naga putih kecil itu masih terus bermain-main dengan ekornya sendiri, memutar-mutar mencoba menggigit ekornya—yang tentu saja mustahil untuk dilakukannya. Seolah, berlalunya waktu sama sekali tidak berarti bagi kedua makhluk itu.
Dan sudah seperti kodrat alam, mentari terus menapaki langit hingga sampai di horizon yang satunya. Namun, kedua makhluk itu masih terus seperti tadi, sedetik pun mereka tiada pernah berubah.
Malam yang menyelimuti dunia pun datang, menutupi dunia dengan kegelapan. Cahaya berwarna-warni yang silih berganti seolah berjalan di langit sontak menghujani atap dunia, tetapi keindahan itu, aurora, tak dapat sedikit pun menarik perhatian wanita berambut hitam yang sekelam malam. Gadis itu tidak bereaksi sedikit pun, hanya duduk diam memandang bosan pada naga putih kecil yang tak pernah bosan mencoba mengejar ekornya sendiri.
Entah berapa lama sudah kedua makhluk itu terus seperti itu. Tidak ada yang tahu. Bahkan, mungkin tak ada siapa pun yang tahu keberadaan dua makhluk itu di situ.
Terisolasi, atau sengaja mengisolasi? Tiada yang tahu. Kedua sosok itu adalah misteri bagi siapa pun yang melihatnya. Dua buah keberadaan yang tak terpengaruh hukum semesta. Sosok-sosok yang melampaui esensi keabadian: keberadaan yang melampaui pemikiran.
Waktu terus berlalu. Perlahan-lahan langit di ufuk timur menjadi kemerahan, sebelum kemudian sang penguasa hari segera menampakkan kekuasaannya ke permukaan dunia. Namun demikian, kedua makhluk itu sama sekali tak tergerak untuk bangkit. Aktivitas mereka masih sama, tak sedikit pun berubah. Seolah, berlalunya waktu sama sekali tak ada hubungannya dengan mereka. Bukan urusan mereka.
Namun, tiba-tiba, kala matahari tepat berada di titik kulminasinya, kelopak mata gadis itu berkedip dua kali. Pandangan bosannya menghilang. Bibir datarnya sedikit melengkung. Cahaya yang tadi tak ada pada pancaran matanya, kini perlahan-lahan menerang. Sesuatu telah menarik perhatian gadis itu, sesuatu yang berada jauh dari tempat salju abadi itu berada.
“Thevetat, ayo pergi.”
Suara itu pelan, datar tanpa emosi, tetapi sang naga kecil langsung terbang ke pundak kanan gadis itu pada detik itu juga ‒ seolah takut jika tidak diikuti maka keberadaannya akan menghilang.
Dan tepat sedetik kemudian, kedua sosok itu menghilang begitu saja, seolah mereka tiada pernah berada di sana. Yang tersisa hanyalah singgasana emas megah, yang mungkin tak ada singgasana lain yang mampu menyamainya.
***
Sepasang suami-istri saling tersenyum bahagia kala tabib desa menyerahkan sesosok bayi mungil dalam balutan kain biru kepada sang istri yang terbaring lelah di sebuah ranjang. Bayi itu memiliki iris yang sama merahnya dengan iris sang istri, sementara rambutnya adalah perpaduan dari kedua warna suami-istri yang hari ini telah resmi menjadi orangtua: hitam dan merah, jadinya merah gelap. Kendati warna kulit dan pola wajah sang bayi lebih mirip kepada sang ibu, tetapi rahangnya cenderung kepada sang ayah. Sungguh, bayi itu adalah cerminan sempurna dari perpaduan kedua insan yang tengah berbahagia itu.
“Jadi, Nyonya Cera, Tuan Larent, siapa nama bayi kalian tercinta?”
Pertanyaan dari tabib desa—seorang wanita paruh baya yang rambutnya sudah pada beruban—sukses menarik perhatian pasangan bernama Cera dan Larent itu. Keduanya saling memandang untuk beberapa saat, sebelum kemudian kembali menjatuhkan pandangan mereka pada bayi mungil yang memandang keduanya bingung.
“Xavier,” ucap mereka berdua, kompak.
“Xavier, apakah itu artinya ‘bersinar’ ataukah ‘rumah yang baru’?”
“Bersinar.”
Jawaban mereka kembali datang dengan kompaknya, sang tabib tersenyum hangat melihat hal itu.
“Ini, minumlah ramuan ini, dengan demikian Nyonya Cera akan dapat berjalan pulang tanpa merasa sakit,” ucap sang tabib, menyerahkan segelas ramuan yang diraciknya untuk setiap wanita yang habis melahirkan.
Cera mengangguk pelan, meminum habis ramuan yang pahitnya bukan main itu. Namun, rasa pahit yang ditahannya itu langsung terbayarkan. Cera tak lagi merasakan sakit di tubuh bagian bawahnya, pun ia merasa keadaannya sudah kembali seperti sebelum melahirkan.
“Ramuan Anda memang yang terbaik, Tabib Sienna,” puji Cera, sang tabib hanya mengibas-ngibaskan tangannya menanggapi hal itu.
Setelah beberapa saat, kedua suami-istri berikut putra mereka yang sudah terbuai lelap itu pergi meninggalkan kediaman sang tabib. Meski mereka ingin lebih lama di sana, mereka harus rela pergi karena banyak pasien lain yang sudah mengantre untuk mendapatkan perawatan sang tabib. Dan hampir dua puluh menit berselang, akhirnya keduanya sampai di kediaman mereka tinggal.
“Siapa itu, Sayang, apa seseorang yang kau kenal?” tanya Larent, lensa matanya tertuju pada seorang individu berwujud layaknya manusia perempuan berfisik seperti gadis berusia tiga belas tahunan yang sedang bersandar pada dinding di sebelah pintu masuk rumah mereka.
Gadis itu memiliki rambut hitam panjang sekelam malam tak berbintang, kulit seputih susu, dan iris yang sama hitamnya dengan rambut indahnya. Kedua daun telinganya seperti telinga manusia, tetapi dengan ujung yang runcing seperti elf. Gadis itu memegang sebuah payung putih di tangan kanan, sementara tangan kirinya memegang sebuah buku hitam, ekspresinya memandang kosong pada langit nan biru di atas sana.
“Aku tidak tahu, Sayang, tetapi sepertinya dia memang sedang menanti kita.”
Seiring kalimat itu keluar dari mulut Cera, gadis itu menjatuhkan pandangannya pada mereka, sebelum kemudian menjatuhkan iris hitamnya pada bayi berambut merah gelap di gendongan Cera.
“Apa kamu sedang menanti pemilik rumah ini?” tanya Cera, berjalan memasuki halaman depan rumahnya, menghampiri gadis itu.
“Ya,” respons gadis itu. “Kebetulan saat saya sedang melewati desa ini, ada yang mengatakan kalau baru saja ada wanita yang melahirkan. Jadi, saya tertarik untuk mencaritahu, karenanya saya berada di sini sekarang.”
“Oh, apa yang membuatmu tertarik?” tanya Cera ingin tahu, Larent hanya diam melihat interaksi mereka.
Gadis itu tak lekas merespons, dia mengangkat tangan kirinya, lalu meletakkan buku hitam yang dipegangnya itu di atas dada bayi yang terlelap itu.
“Aku menulis sebuah buku sihir,” ucapnya, “tetapi tidak ada yang mau membelinya. Jika, aku tidak tahu harus mengapakan buku sihir ini. Karena itu, saat mendengar ada anak yang baru dilahirkan siang ini, aku berpikir mungkin memberikan buku ini untuknya adalah lebih baik daripada kusimpan di rak buku.”
Cera dan Larent sejenak saling berpandangan, sebelum kemudian keduanya mengangguk.
“Bagaimana kalau kami membeli buku sihirmu?” tanya Larent, mengeluarkan sebuah koin emas dari sakunya.
“Itu tidak akan menjadi pemberian jika aku menerima uang tersebut, bukan begitu?” Gadis itu tak menanti respons keduanya. “Siapa nama bayi ini?” tanyanya.
“Xavier,” jawab Cera.
“Hanya Xavier?”
“Hanya Xavier.”
“Kami tidak menggunakan nama belakang,” jelas Larent.
“Ah, bukankah itu sangat disayangkan? Di dunia ini, ada banyak orang yang memiliki nama Xavier. Terlebih lagi, nama belakang akan memberikan suatu identitas baginya, tidakkah kalian ingin bayi ini menjadi spesial? Oh, bagaimana jika aku memberinya nama belakang Hernandez, Xavier Hernandez ‒ petualangan yang bersinar, tidakkah itu bagus?”
***
Tak butuh banyak waktu untuk meyakinkan kedua orangtua itu untuk menambahkan “Hernandez” di belakang nama Xavier. Mereka mencintai putra mereka, tentu mereka sangat ingin yang terbaik baginya. Karena itu pula, meyakinkan mereka semudah meyakinkan anak kecil dengan sogokan sebuah kue.
Mengucapkan sepatah kata perpisahan dan harapan agar mereka hidup bahagia, gadis berkulit seputih susu itu lantas beranjak pergi.
Setelah beberapa saat, sejenak langkah gadis itu terhenti. Pandangannya beralih ke sisi lain desa, ke arah di mana berdiri sebuah kekaisaran besar.
“Lucifer….”
Gadis itu kembali melirik ke belakangnya.
“Luciel….”
Bibir gadis itu lantas melengkung tipis. “Pada akhirnya, semua makhluk di dunia ini tak lebih dari bidak-bidak dalam permainan, antara diriku yang ingin melenyapkan Kehendak Dunia dan pergi melewati batas semesta ‒ mencapai kebebasan hakiki, melawan Kehendak Dunia yang ingin tetap merantai diriku di semesta ini ‒ terkurung dalam isolasi yang sempurna.”
Sosok naga putih kecil yang tadinya tak terlihat, kini kembali menampakkan wujudnya di atas bahu gadis itu.
“Kali ini, kau harus bisa mengalahkan Phoenix, Thevetat,” gumam gadis itu, sang naga kecil lekas mengelus-eluskan pipinya pada pipi sang gadis. Dan sedetik kemudian, mereka menghilang tanpa jejak, seolah sebelumnya mereka tidak pernah berdiri di sana.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
*Volume 1: Truth, Magic, and Path of Revenge
[Edited]
Ini bukan novel terjemahan, murni original.
Catatan: Jika pembaca secara kebetulan googling dan menemukan "Against the World" karya Jin Shi Liang atau "Against the World" yang lain, itu semua tidak ada hubungannya sama sekali dengan cerita ini, hanya secara kebetulan judulnya sama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 392 Episodes
Comments
malest
bagus,
2024-01-22
1
malest
bagus
2024-01-22
1
GV
waduh telat banget gw. baru tahu kalau ada novel yang penulisannya bagus banget.
gas maraton, buat nambah referensi. apalagi ini udah tamat.
2023-07-28
1