Di sana!
Dari balik dinding penyekat ruang restoran bergengsi itu, seorang anak berusia sebelas tahun mengintip kegiatan yang berada pada jarak sekitar tiga puluh meter.
Pandangannya berpusat pada seorang pria yang memiliki paras begitu serupa dengannya, pria dewasa yang terlihat begitu gagah menurutnya. Kelak, ia akan menjadi seperti orang itu pikirnya.
Di dalam batin, ia meringis mengharap kehangatan di dapati dari pria yang masih menjadi pusat pandangannya. Seperti gadis cilik yang kini terlihat sedang merengek dalam pangkuan pria itu.
Sejak lahir hingga kini, ia tidak pernah mengetahui bagaimana rasanya memiliki seorang ayah yang hidup bersamanya, melepas tawa riangnya dalam sebuah istana kecil.
Tatapannya buyar kala jemari lentik sang ibu meraih daun telinganya. "Mah, ampun!" ringisnya memekik disertai tangan yang terulur menyela tangan ibunya yang masih setia menjewer daun telinganya.
"Udah mama bilang kamu jangan lakuin itu lagi," ucap sang ibu menekankan dalam nada tegas. Namun, ucapan tersebut begitu keras diterima anaknya, seolah ancaman pekat tersirat di balik tujuan itu.
"Al janji, ini terakhir kalinya," balasnya penuh keraguan jika sang hati berontak tidak ingin kegiatan mengintipnya mendapat cegahan dari siapapun untuk kali ini ataupun nanti.
"Cuma itu?" sang ibu memperingati, ia selalu mewanti-wanti jika sebuah permintaan maaf tidak hanya terucap dengan kata-kata saja.
"Maafin Alev, Mama.” Paham dengan isyarat sang ibu, ia tertunduk meresapi penyesalannya, membuat jari lentik itu terlepas begitu saja.
"Begitulah seharusnya anak mama," puji sang ibu di sertai senyuman manis sebagai penghibur pada anaknya yang kini telah membalas senyumannya. "Mama kamu udah nunggu kamu di luar," imbuhnya setelah merasa lega, sebagai perintah agar Alev segera mengindari tempat di mana seseorang masih bercanda ria dengan sang buah hati di sana. "Jangan keluyuran lagi sendirian," tutur sang ibu seraya berpangku tangan, mempertegas mimik wajahnya atas apa yang diperintahkan kepada anaknya.
"Oke, Al duluan," pamitnya, kemudian ia melangkahkan kaki membawa kekecewaan yang mendalam.
Kekecewaan atas nasib diri yang tidak bisa di hindarkan, kapan lagi ia dapat melihat sosok ayahnya jika tidak secara kebetulan berpapasan dengannya, itu pun hanya sekedar mengintip dari kejauhan saja.
Bukan tidak ingin ia menampakkan diri pada ayahnya. Pasalnya, sang ibu selalu melarang untuk memperlihatkan wajah pada ayahnya.
Seperginya Alev dari sana, sang ibu merutuk, mengutuk dirinya sendiri yang terpendam dalam palung hatinya. Bukan tega ia menjauhkan anak dari ayahnya. Hanya saja,
"Alev Sihan Danendra," ucapnya memanggil nama lengkap anaknya.
Ya!
Dia Alev Sihan Danendra atau lebih tepatnya Alev Sihan Charington. Anak hasil hubungan satu malam Art Tara Biancasandra dengan Jackson Jordan Charington seorang lelaki yang telah merobek selaput daranya dua belas tahun silam.
Tiga bulan pasca kejadian tragis itu, Tara baru mengetahui jika dirinya mengandung anak yang kini telah menjadi cerdas dan tampan itu. Hingga, tidak sempat terpikirkan olehnya untuk mencari di mana pria itu berada dan pada akhirnya ia memutuskan untuk bersembunyi saja.
Sengaja ia merahasiakan keberadaan anaknya selama mungkin yang membuat sang buah hati tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk merangkul ayahnya.
Terlalu lama sudah sang anak memendam keinginan. Sejak ia mulai mengenali dunia, hingga kini tubuhnya menyusul sang ibu.
Tara pun tidak pernah menutup mata, ia mengetahui jika anaknya merindukan sang ayah. Namun, seketika saja ...
“Maaf,” Tara melirih menyerukan rasa sesalnya hingga membuat kedua kelopak matanya tertutup rapat seolah meluapkan dengan kerasnya permohonan maaf.
Terbersit sebuah alasan dalam ingatan yang membuat ia tetap pada keputusannya, yakni ia tidak akan membeberkan keberadaan sang anak pada siapapun, lantaran ia takut jika kedua ibunya akan menerkamnya.
Memang kini Jackson belum memaparkan jati diri yang telah menjadi seorang pemimpin tertinggi dalam perusahaan ternama.
Namun, ia takut jika suatu saat nanti keadaan itu terbongkar, maka sang anaklah yang akan menjadi buruan kedua ibunya untuk dijadikan aset berharga sebagai umpan.
Penyesalan yang tak kunjung berakhir itu membuatnya selalu menepis dengan senyuman palsu. Serupa seperti saat ini, ia tersenyum untuk dirinya sendiri, kemudian ia meninggalkan tempat itu, menyusul anaknya yang sudah berdiri di depan kasir.
******
"Kamu terlalu sadis Ra," cibir Jasmeen kepada Tara setelah mendengar cerita dari Alev mengenai keadaan saat lalu.
"Aku melakukannya untuk Alev sendiri, andai 'mereka' tau ayah Alev seorang anak pengusaha-" balas Tara terpenggal, membayangkan jika nasib nahasnya akan jatuh kepada Alev. "Ah udahlah, terlalu mengerikan buat di bayangin," kilahnya tatkala pori-porinya tertutup rapat mengenang nasib diri dua belas tahun silam atas kejahatan yang di lakukan ibu tirinya.
Jasmeen tersenyum simpul, membenarkan apa yang dikatakan sepupu yang sudah menjadi sahabatnya itu. "Al, kamu dengar itu?" tanyanya pada pria remaja yang telah menganggukkan kepala penuh keraguan.
"Al dengar, tapi ... bukankah ga ada yang tau kalau papa seorang pengusaha?" Protes Alev merasa janggal, si cerdas yang selalu cepat tangkap dengan keadaan sekitar. Ia tau kisah tentang Jackson yang menyembunyikan diri dari jabatannya. "Dengan begitu nenek ga akan menggunakan kesempatannya buat memeras papa bukan?" imbuhnya memperjelas, membuat sang ibu melenguh di sana.
Tara kesulitan menimpali ucapan si cerdas anak semata wayangnya hingga membuat mulutnya terbungkam rapat bahkan lidahnya terasa kelu.
Namun, Jasmeen selalu bersikap tenang kala menghadapi kegusaran suasana tegang, ia kembali menyiratkan senyumannya di sela tatapan penghiburan bagi anak angkatnya. "Bukan hanya itu Alev, bukan hanya nenekmu yang di Bandung, tapi ada satu nenek lagi yang lebih berbahaya dari nenekmu itu," ungkapnya membuat Alev memicingkan mata.
"Nenek satu lagi?" Alev merasa janggal. Namun, terbengkalai kala sang ibu meraih tangannya, merangkul lengan hingga menuntun ayunan kakinya.
"Belum saatnya kamu tau," sahut Tara menutupi kerancuan dengan senyuman manisnya membuat sang anak kian merasa janggal.
"Jadi, maksud mama permasalahannya pada papa, bukankah nenek belum tau siapa papa sebenarnya?" Bak seorang jaksa yang sedang mengintrogasi, Alev berceloteh mengemukakan kejanggalannya.
Ia tidak akan menghentikan jika sebuah jawaban belum didapatkannya membuat Tara mengingat sosok Jackson yang begitu serupa dengannya.
Alev terlahir mengutip cerminan ayahnya. Ia tak hanya mewarisi rupa yang sama, akan tetapi sikap serta sifat pun ia dapatkan dari ayahnya.
"Sekarang memang belum, tapi nanti belum tau kan?" jawab Tara yang di sambut Alev dengan anggukan ringannya. "Dan lagi, kamu sejak kapan panggil ayahmu sama panggilan itu? Apa kamu pernah ketemu dengannya?" tanyanya setengah mengancam membuat langkah Alev yang sedari tadi beriringan dengannya terhenti seketika.
"Engga!" balas Alev seteguh karang di lautan luas. "Sama sekali ga pernah," imbuhnya memperjelas ucapan yang melenting mengiringi rasa takut. Ketika perasaan itu merangkak begitu cepat akibat sorotan mata ibunya yang melekat. Sehingga membuat Jasmeen terkekeh ringan.
"Udahlah Ra, percaya sama anakmu kalau dia anak yang berbakti," sahut Jasmeen menenangkan mata yang masih terbelalak mencelang itu. "Ga seperti ibunya yang sering melanggar keinginan anaknya," imbuhnya membuat mata itu kian terbelalak nyalang menyorot tajam wajah anggunnya.
"Kamu keterlaluan!" cibir Tara meronta jika sang sahabat memaparkan sikap buruknya di depan sang anak.
"Kau yang terbaik mama," ujar Alev untuk merangkul hati sang ibu dengan senyum pesona, meredakan emosi sang ibu membuat Jasmeen kembali tertawa kecil menyikapinya.
‘Satu darah, namun terlihat begitu berbeda dengan ibunya.’ Batin Jasmeen menyela pikirannya mengingat sang anak begitu memiliki gambaran serupa dengan ayahnya ataupun dapat di artikan jika ibu dengan ayah Alev memiliki sipat bertentangan.
Satu sisi sang ibu terlihat begitu keras dan tegas, lain dengan sang ayah yang begitu pengertian dan berhati lembut. Maka dari itu, Tara dengan Alev memiliki sifat berlainan.
Ucapan Alev saat lalu membuat Tara merasa lega di sana. "Berjanjilah kamu jangan seperti tadi lagi," tuturnya berseru lirih, memendam sejuta penyesalan di dalam sanubarinya lantaran telah memaksakan merubah takdir hidup anak semata wayangnya.
"Alev selalu berjanji untuk itu," balas Alev meyakinkan wajah yang tertunduk di sampingnya agar kembali menyiratkan senyumnya.
Benar adanya, sang ibu melirikkan tatapan pada wajah tampan di sertai senyuman kagum yang tersirat di balik wajah cantiknya.
"Kamu memang anak yang penurut Alev," tutur Tara menyerukan pujian disertai elusan pada puncak kepala Alev. Parasnya menggambarkan bibir yang telah tersenyum lirih di sana.
Alev masih menggundam keraguan atas janjinya, ia mengharap sang hati mampu menjaga hingga tidak akan sedikit pun terbersit untuk mengingkarinya.
Namun, setiap kali ia melihat sosok sang ayah, batinnya selalu meronta ingin melihat. Semua itu haya untuk melepas rindu lewat tatapan jarak jauhnya saja.
Hingga terpikirkan olehnya, jika saja apa yang dikatakan sang ibu benar adanya. Maka, untuk mencegah hati agar tidak merangkak menyerukan keinginan untuk mengumbar kerinduan, seharusnya ia sama sekali tidak bertemu dengan sosok pria yang di sebut-sebut sebagai ayah kandungnya itu.
Bila saja suatu hari tanpa sengaja takdir mempertemukan mereka, Alex akan brusaha sekeras hati menahan dirinya untuk tidak menampakkan wajah di hadapan sang ayah. Sebab bila itu terjadi, akan ada musibah datang menghampirinya. Keputusan pun bulat diambilnya untuk menghindar sejauh mungkin.
•
•
•
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments
🍁Devi❣️💋🅂🅄🄼🄰🅁🄽🄸👻ᴸᴷ
aahh berbuah jua akhirnya ,tumbuh seorang putra yg sangat tampan.
hmm...apakah jackson tahu bahwasanya dia telah jadi seorang ayah??
semoga segera dipertemukan oleh takdir.
2023-04-15
0
ᵃⓂᵉⓁ☪️𝐙𝐨ͤ𝐍ᷤ𝐞ͣ🌏
kasian anaknya cm bs memandang sang ayah dr kejauhan
2022-03-10
0
Awi Ciwy
krg phm crtanya .bner tau* 12th kmdian y alurnya krg phm
2022-03-08
0