Secercah cahaya menyelinap masuk di sela gorden kamar hotel berbintang empat di pagi itu, menerobos menusuk penglihatan Tara yang baru saja melepas rekatan kelopak matanya.
Jiwanya terkumpul tanpa jeda kala melihat seorang pria tampan terbaring di sampingnya, membuat kerancuan bergejolak dalam kalbunya kala melekatkan pandangannya yang tertuju pada tubuhnya di balik selimut tipis putih itu, jiwanya seolah melayang dari raganya saat ia menyingkap selimut itu menampakkan tubuhnya serta tubuh sang pria yang tidak terbalut satu helai benangpun.
Semuanya telah terjadi!
Kejadian tragis ini tak membuatnya menyesal sekalipun bayangannya begitu nyata membekas dalam ingatan. Ia hanya memikirkan jalan keluar untuk menghadapi hal selanjutnya.
Wajah kusut selepas bangun tidur, ia tambah dengan ekspresi bringsut. Posisinya belum berubah, ia masih duduk di atas kasur sambil merenung. Tempat ini telah menjadi saksi akan kegairahannya semalam.
Noda merah melekat pada sprei berwarna putih, sebagai tanda bahwa sesuatu memang telah terjadi kepadanya tadi malam.
Perasaannya kalut tak dapat dijelaskan, bersamaan angan melayang dan harapan sirna. Ia ingin melampiaskan kemarahannya pada siapapun. Entah itu nasib sialnya ataupun perlakuan kedua orang tuanya.
Sayangnya, ia hanya melampiaskan semuanya kepada lelaki yang berada di sampingnya kini.
Plak!
Tanpa perasaan ia menampar lelaki yang memiliki lesung di pipinya. Batas kekuatan tenaganya membuat pria itu terkejut, hingga terperanjat dari alam bawah sadarnya.
"Hei–" ujar Sang pria terpenggal sambil mengusap pipinya lembut, ia harus meresapi rasa sakit dari sarapan paginya hari ini.
"Kamu bren*sek!" umpat Tara memekik menyayat telinga sang pria, hingga pria itu melenguh mencari cara untuk menepis emosi yang tergambar jelas dari wajah kemerahannya.
"Kamu lupa sama kejadian semalem?" tanya sang pria penuh waspada, hingga ia berucap penuh kelembutan hati dengan gerakan tangannya yang mengusap lengan sang wanita, setelah ia bringsut untuk duduk di samping wanita itu.
Tara merenung, memutar ingatannya menuju semalam lalu, saat terakhir kalinya ia masih memiliki kesadaran. Bibirnya menyeringai keji mengingat suatu perbuatan sadis saat malam kemarin.
Saat perjalanan pulang menuju kediaman orang tuanya malam tadi, tiba-tiba seluruh kesadarannya menghilang begitu saja di tengah perjalanan.
Dari sanalah ia mulai menerka jika adik tiri serta ibu tirinya telah melakukan perbuatan keji terhadap dirinya kini.
"Apa udah inget?" sapa sang pria mencabik lamunan sang wanita.
Seketika Tara diam membeku, lidahnya terasa kelu, dendam mulai merasuk ke dalam asmanya, akan tetapi bukan kepada pria itu. Kemudian ia mengangguk menjawab pertanyaan itu meski tidak sepenuhnya benar bahwa masih ada sesuatu yang tidak di ingatnya.
"Aku pasti tanggung ja–"
"Aku ga butuh itu!" potong Tara secepat angin topan melalap isi dunia. Mengingat tidak mungkin ia dapat membalaskan dendamnya kepada inu tiri serta adik tirinya untuk kejadian memilukan semalam tadi, jika ia di haruskan menikah dengan seseorang.
Sang pria merasa lega setelah mendengar pernyataan itu. Namun, rasa iba menyeruak dari dalam benaknya, jika membiarkan wanita berwajah lugu itu menanggung akibat atas perbuatannya.
"Kamu ga mau terima niat baik aku?" Pria ini memandang heran sekaligus tidak percaya akan penolakan dari wanita yang kini berada di sampingnya.
"Bukan, aku punya alasan sendiri," sahut Tara menyerukan lirihannya. Wajahnya menggambarkan pesona cantik terbalut nasib memilukan.
Seharusnya, ia menerima saja penawaran dari pria itu. Sebab, tak ada lagi tempat untuknya bernaung kini, mengingat jika ibu kandungnya telah memiliki tambatan hati.
Nasib sial ini telah menimpa dirinya sejak pengkhianatan sang ibu terhadap sang ayah. Sehingga ia harus mempertimbangkan pilihan satu di antaranya.
Dering alat panggilan jarak jauh dari dalam tas slempangnya sesaat melerai suasana tegang. Tangannya segera meraih benda itu dari atas nakas si samping kirinya.
Tanpa ragu ia menjawab panggilan setelah mengetahui siapa yang menyambut awal harinya.
"Ya pah?"
"Kembali kamu sekarang juga, atau papa akan membunuhmu!" ancam sang ayah di sebrang sana membuat gerakan tangan Tara reflek menjauhkan benda itu dari telinganya. Ia tak mampu mendengar suara penuh emosi memekik pendengarannya itu.
Sang pria sadar betul dengan tindakannya semalam, ia kemudian beranjak menuju kamar mandi meninggalkan wanita yang kini tercoreng olehnya. Berharap tetesan air mampu meredam semua rasa penyesalan.
Tara mengabaikan kepergian sang pria yang tengah hilang sepenuhnya dari hadapannya itu kala jawaban darinya di nanti sang ayah di sebrang sana.
Dan saat ini, terbersit rasa ingin membalaskan dendam terhadap ayahnya sesegera mungkin.
Inilah saatnya!
Ia kemudian melepas semua emosi yang selama ini diredamnya. Waktu pada akhirnya mendorong dirinya untuk melakukan tindakan ini.
"Kenapa aku harus pulang, biar kalian bisa nindas aku lagi?" sahut Tara berseru keji dengan nada bicara penuh emosi.
Baru kali ini ia berani menimpali ucapan sarkas terhadap ayahnya. Suara dan perkataan yang selalu di dapatinya setiap hari selama dua tahun ke belakang ini.
"Anak durhaka kamu Tara, kamu tau kalau kamu ga pulang maka kamu akan kehilangan seluruh warisan dari papa?" ancam sang ayah kembali berseru murka, akan tetapi terbengkalai tatkala sang anak tak acuh mengabaikannya.
"Aku ga perduli!" putus Tara pekat di iringi helaan napas dalamnya mewakili rasa lega.
Setelah dua tahun ia memendam amarah pada ayahnya, kini terlepas sudah walaupun hanya sekadar ucapan sadis yang terlontar, tanpa berpikir panjang bahwa ayahnya akan tersinggung.
"Aku juga akan bawa adik-adik aku," imbuh Tara di kala ingatannya terlintas sebuah bayang dari nasib kedua adiknya kelak, jika ia meninggalkannya.
Itulah alasan ia bertahan selama dua tahun menjual kebebasannya pada harta warisan, yang selalu menjadi ancaman hidup dari ayahnya.
"Kamu, apa tidak terlalu kurang ajar bicara begitu pada papa kamu?" seru sang ayah melembut, akan tetapi pedas kalimatnya masih tersirat keji. Sehingga membuat sang anak membisu dalam senyuman miris penuh lukanya.
Siapakah yang lebih kurang ajar, apakah ayahnya mengetahui penderitaannya selama dua tahun ini? Akibat dari keegoisan untuk membalaskan dendam pada ibu kandungnya. Wanita yang sudah mengkhianatinya dengan menyanding seorang pria yang lebih kaya darinya.
Apakah ayahnya peduli dengan jeritan batin dirinya yang selalu mendapat penghinaan dari ibu tiri?
Untuk kali ini, ia pastikan jika nasib sial itu akan menimpanya untuk yang terakhir kalinya dari ibu tirinya yang selalu berulah itu.
Kejadian tragis kali ini sudah tidak dapat termaafkan lagi olehnya hingga ia menaruh dendam laknat yang pekat tidak mampu di hindarkan di baliknya.
"TARA!" bentakan sang ayah itu malah kian menyulut api emosinya, hingga tanpa ragu Tara menyerukan keinginan yang akan membuat sang ayah murka di sana.
"Kembalikan adik-adikku sama mamaku," seru Tara berteguh diri mengambil keputusan tanpa menimang resiko yang akan di dapati di kemudian hari, yang ia pikirkan saat ini hanyalah segera menjauh dari pasangan kejam itu.
"Kalau kamu mau kehilangan harta warisanmu, kamu jangan mengajak adik-adikmu Tara," balas sang ayah meronta tidak terima jika anak sulung yang biasanya paling penakut itu kini berani menimpalinya.
"Aku mampu!" sahut Tara berteguh hati terpampang dari nada bicaranya yang tegas. "Aku akan membahagiakan mereka dengan kedua tanganku sendiri!" ikrarnya seolah tidak mempedulikan kesulitan di kemudian hari.
Sunyi hingga beberapa menit ke depan Tara tidak lagi mendengar bentakan serta ucapan sarkas ayahnya, sepihak ia pun mengakhiri panggilannya.
Tepat kala alat media itu tergeletak di atas tempat tidur, pria tadi kembali menampakkan diri di hadapannya.
"Berapa yang kamu minta?" tanya sang pria tanpa basa-basi saat ia tengah kembali dengan tubuhnya yang sudah terbalut pakaiannya.
"Aku ga jual diri!" tepis Tara sebagai balasan pada pria yang telah menatapnya penuh kejut itu, membuatnya mendongkakan kepalanya, menatap pria yang sudah berdiri gagah di sampingnya. "Kamu tau di mana baju aku?"
Sang pria menghela napas dalamnya, ia menemukan wanita ini tadi malam dalam kondisi mengenaskan. Dimana ia tahu jika wanita ini telah kehilangan busana yang tengah dikenakannya.
"Tunggu di sini, aku bantu cari baju kamu," putus sang pria berniat akan membelikan busana baru untuk Tara.
"Siapa yang sudi keliaran tanpa baju?" Tara meruntuk dalam delikan matanya, akan tetapi membuat sang pria terkekeh gemas.
Tanpa menunggu jawaban, sang pria bergegas meninggalkan Tara seorang.
Beberapa jam kemudian, sang pria telah kembali dengan apa yang di butuhkan sang wanita. Tanpa menunggu ia menyerahkan bungkusan plastik yang di bawanya kepada Tara.
Bukan hanya itu, iapun memberinya obat untuk lukanya di sana. Meski tak terlihat, akan tetapi sang pria yakin bahwa wanita itu mendapat luka akibat kegairahannya semalam tadi.
Tanpa bertanya, Tarapun bukan wanita bodoh yang tidak tau apa yang di berikan sang pria, ia hanya menganggukkan kepala kemudian bergegas menuju kamar mandi, meski bersusah payah dalam langkah goyahnya atas luka yang di dapatinya.
Sang pria beranjak cemas pada langkah kaki yang terlihatnya begitu menyakitkan itu, hingga ia meraih pergelangan tangan wanita itu. "Saki–"
"Diem di sana atau aku teriak?" ancam Tara dalam ringisan menahan perih. Sang pria lantas melepaskan genggaman tangan itu usai mendengar ancaman dari wanita di hadapannya seraya mengembalikan napas kasarnya.
Hingga pada akhirnya mereka saling merenung pada tempat yang terpisah di mana Tara melamunkan keluhannya di bawah guyuran air, sang pria duduk gelisah di atas kursi yang tersedia di sana.
Beberapa menit kemudian Tara kembali, tubuhnya telah terbungkus busana yang di berikan lelaki itu, hingga ia percaya diri untuk menghadap sang pemberi kenikmatan yang membuatnya mendapat nasib buruknya.
"Kamu bisa cari aku seandainya butuh sesuatu," tawar sang pria mengulurkan tangan memberikan sebuah kartu tanda pengenal. Hal itu di sambut wanita di hadapannya dengan segera meraih dan melirik isi di baliknya.
"Jackson Jordan Charington," tutur Tara membaca dengan lantang, sebuah nama tertulis di atas secarik kertas itu membuatnya menyerukan tawa kecilnya kala ia menilik wajah yang bergaris asia.
Batinnya berseru konyol tentang nama barat yang tercantum di kartu pengenal itu, tak layak disandang oleh wajah bergaris asia ini.
"Hmm." Sang pria hanya mendeham membenarkan ucapan itu kala Tara menyebut namanya.
"Kamu ga usah tau siapa aku," balas Tara percaya diri kemudian menyerahkan kembali kartu tanda pengenal itu pada pemiliknya. "Bisa ga aku minta uang buat ongkos taxi?" Pesonanya tampak merah setelah mengatakan kalimatnya dengan malu-malu.
"Aku anter aja," tepis sang pria tat kala rasa cemas yang tersulut dari penyesalan yang masih terpendam dalam ingatannya.
"Ga!" Tara menolak tegas sebab ia sendiri belum mengetahui arah tujuannya. Hal tersebut membuat sang pria mendengus kesal tidak mempercayai bahwa wanita ini menolak segala yang dia tawarkan.
Namun, sang pria memutuskan untuk mengabulkan keinginan wanita itu demi menebus dosa besar yang telah di perbuatnya pada wanita yang telah menatap harap di hadapannya.
Ia pun merogoh saku celananya, meraih dompet lantas menyerahkan selembaran kertas berwarna merah pada wanita yang telah tersenyum menyambut uluran tangannya.
"Terimakasih," ujar Tara dalam senyuman manis dan pergi tanpa pamit. Ia berlalu begitu saja dari hadapan pria itu.
Senyuman itu adalah senyuman manis untuk pertama dan terakhir kali Jackson melihatnya, membuatnya kian mendengus meresapi penyesalan yang di rasa tidak akan kunjung berakhir.
Kepergian wanita itu menjadi sebuah kehilangan bagi dirinya, penyesalannya kian mendalam, ia menyerukan siasatnya dalam benaknya.
Berniat akan mencari tau siapa wanita itu suatu hari nanti. Tepatnya jika ia sudah memiliki sebuah kedudukan tinggi yang di janjikan ayahnya.
Kini waktu belum mengizinkannya memiliki takhta yang akan mempermudahnya memiliki kekuasaan dalam negeri.
Ia berjanji, suatu saat nanti ia akan menemukan wanitanya kembali, bagaimanapun caranya, apapun alasannya ia harus menemukannya.
Namun, ia mendengus kembali memikirkan bahwa wanita itu tidak akan sanggup menunggunya dalam waktu tiga tahun ke depan.
Bukan!
Seharusnya ia mengatakan itu pada dirinya sendiri, ia berharap jika dirinya yang dapat bertahan selama tiga tahun ke depan untuk mendapat takhtanya pada waktu yang telah di tentukan ayahnya.
Namun, ia tersenyum pekat saat ia mempercayai dirinya sendiri, dengan otak cerdik serta sosoknya yang menarik itu akan mampu dengan mudah memiliki kedudukannya secepat mungkin.
•
•
•
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments
ᵃⓂᵉⓁ☪️𝐙𝐨ͤ𝐍ᷤ𝐞ͣ🌏
masih blm ketebak alurnya lanjut marathon 💪💪
2022-03-10
0
🌸Mom NailaAthaR⃟🌸
kayanya Jackson suka sama tara
2021-04-08
0
OFF
bawa jempol ma bintang 5 ya mom
2021-03-05
0