Asmara Jajar Genjang
Jika diharuskan untuk memilih terlahir dari keluarga kaya atau miskin, bagi Art Tara Biancasandra lebih memilih terlahir dari sebuah timun.
Kaya tidak selamanya membuahkan kebahagiaan, miskinpun tidak menjamin sengsara. Namun, baginya kaya ataupun miskin sama saja seperti hidup di neraka, terbukti dari keadaannya selama dua tahun ke belakang ini setelah ia memiliki seorang ibu tiri.
Sang ibu tiri selalu berlaku kejam terhadapnya meski tidak pernah bermain tangan sedikitpun. Namun, seluruh siasat busuknya selalu saja membuat hidupnya menderita.
Demi menjaga harta warisan dari sang ayah yang tidak pernah di inginkannya sama sekali, ia rela menukar kebebasannya kepada sang ibu tiri kejamnya. Ia melakukannya bukan hanya untuk kepentingan pribadi sahaja, melainkan demi kedua adik perempuannya yang jua memiliki nasib nahas serupa.
Sesungguhnya ia ingin memilih hidup seorang diri tanpa adanya orang tua. Sebab sedari dulu ibu kandungnya pun tak ayal memperlakukan dirinya bagai anak pungut.
Tiada pilihan yang lebih meyakinkan untuknya jika saja hidup bersama mereka. Maka setiap detik di hadapannya adalah penantian dari bara api neraka. Sebuah tempat yang dibangun oleh seluruh orang tuanya sendiri.
Kini pintu neraka itu terbuka, semuanya berawal dari malam ini. Wajah langit yang terlihat lebih cerah dari bisanya, terhias indah dari taburan bintang di atas sana.
Sang rembulan bersinar terang mengiringi hati riangnya, saat menerima tawaran dari sang ibu tiri untuk melepas kebebasannya, melepas rasa bahagianya di hari ulang tahunnya yang ke tujuh belas.
Tara kini tengah merayakan pesta ulang tahunnya yang ke tujuh belas bersama dua sahabat wanitanya di dalam sebuah tempat hiburan malam. Sengaja ia memilih tempat tersebut hanya untuk aksi pemberontakan terhadap ibu tirinya semata.
Sang ibu tiri biasanya selalu mencegah dirinya menginjak tempat ramai pada malam hari. Tapi kini, entah mengapa dia mengizinkannya untuk mengunjungi tempat tersebut, bahkan memaksanya dengan memberikan bekal yang lebih dari cukup.
Mendapatkan persetujuan ibu tiri kejinya, tanpa berpikir lebih ataupun curiga, Tara menerima keputusannya.
Tepat pada pukul 21:57, seorang wanita berpakaian minim bahan menghampirinya dan duduk di sampingnya.
"Ra lo cuma punya waktu sampe jam sepuluh aja," ujar Vira merajuk, tatkala melihat adik tirinya telah tertunduk menumpukan kepalanya di atas meja, seolah wanita itu merasa lelah tiada terkira.
Tara mengangkat wajahnya, menatap wajah adik tirinya dengan matanya yang tinggal separuhnya terbuka. "Gue tau itu."
Ia sudah berada di ruang bising itu hampir dua jam lamanya, dan selama itu pula ia berhasil meneguk minuman beralkohol dengan jumlah yang tak sedikit. Hingga separuh dari keadaanya sedikit memudar.
"Balik aja yuk Ra," ajak Fiona kepada sahabatnya.
Fiona mengetahui jika sang sahabat melanggar perintah ibu tirinya, maka suatu bencana besar akan menimpanya, maka dari itu ia memastikan semua tidak akan terjadi lagi jika dirinya mampu mencegahnya.
Biasanya, sang ibu tiri selalu mengekangnya di dalam rumah agar dirinya dapat berpusat pada pelajaran saja, tidak di perbolehkan bermain dengan kawanannya, bahkan tidak di perbolehkan keluar rumah jika waktu telah menunjukkan pukul enam sore.
"Udah jam sepuluh ya?" tanya Tara memastikan.
Ia tidak mempercayai jika waktu dua jam begitu singkat dirasanya, kala perasaan bahagia membuncah dari dalam angannya.
Fiona mengangguk membalas pertanyaan sahabatnya yang telah menatapnya penuh picingan.
Sedangkan Vira segera meraih gelas berisikan minuman milik kakak tirinya yang terletak di atas meja bundar di hadapannya, kemudian ia memberikan gelas itu kepada kakak tirinya.
"Buat perpisahan kita," ujar Vira di sertai senyum manisnya.
Tara tidak berkata, ia segera meraih gelas yang masih tersodor dari tangan adik tirinya. Namun, Fiona segera mencegahnya dengan merebut paksa gelas itu, hingga isinya hanya menyisakan separuh saja.
"Udah ga usah minum lagi, liat muka lo udah kaya kepiting rebus," ujar Fiona.
Tara berdecak sebal, ia tidak terima akan pencegahan sahabatnya, sehingga ia berusaha merebut kembali gelas yang berada pada genggaman sahabatnya itu.
Namun, sangat disayangkan, ketika serangan alkohol menjalar ke setiap urat nadinya, gerakan tubuhnya semakin melemah hingga kesulitan untuk meraih gelas itu.
“Sekali lagi please.” Tara merajuk hingga membuat kedua telapak tangan saling bersentuhan di depan dadanya.
Fiona menggelengkan kepalanya, ia tidak dapat menolak keinginan dari pintanya yang merajuk dengan menunjukkan wajah gemas. Namun, tetap saja ia menjauhkan gelas itu dari arah tangan sahabatnya yang kini kembali ingin merebut gelas itu.
“Kasih aja Fi, kapan lagi dia bisa kaya gini,” ucap Vira seolah membantu kakak tirinya untuk mendapat keinginannya, nyatanya di balik itu ia menyimpan siasat busuk yang telah diaturnya sejak sore tadi.
“Iya Fi kapan lagi gue bisa kaya gini,” sambung Tara kembali merajuk.
Fiona mengabaikan permintaan itu, pikirannya berpusat pada wajah Vira yang terlihat gelisah itu. Fiona bukan gadis bodoh, ia dapat mencerna isi di balik senyuman penutup rasa cemas itu.
Sementara Fiona berpusat pada pikirannya, dengan mudahnya Tara merebut gelas minuman dari tangan sahabatnya, hingga dengan tergesa ia menegak seluruh isi dari gelas itu.
Sudah terlambat bagi Fiona mencegahnya, sebab tara sudah berhasil meneguk habis minumannya. Tak ada lagi daya selain mengajaknya keluar dari tempat itu.
Hingga pada akhirnya, tiga wanita berparas jelita itu hilang dari kerumunan para insan yang masih asik menikmati suasana malam.
Sepuluh menit berlalu dari kepergian tiga gadis itu, dua orang pria menggantikan posisi mereka yang duduk di atas kursi bekas penampung tubuh para gadis itu.
Jackson Jor dan Charington, salah satu dari pria itu telah memesan tempat tersebut sebelum kedatangannya ke sana, karna mereka mengetahui bahwa pada sabtu malam tempat tersebut akan ramai oleh para pengunjung.
Seolah sudah ada dalam skenario hidupnya, tepat saat ia akan memanggil seorang pelayan setempat, sang pelayan telah menghampirinya terlebih dahulu membawakan segelas minuman beralkohol ringan yang tertata rapih di atas nampan.
Jackson menjanggal akan hal itu hingga ia menatap sang pelayan dengan sorotan tajamnya.
“Buat siapa itu?” tanya Jackson.
“Seseorang memberikannya untuk anda tuan,” sahut sang pelayan pria itu.
“Siapa seseorang itu?” Kembali Jackson bertanya sebelum mendapat kepuasan untuk jawabannya.
Sang pelayan tidak menjawab dengan perkataannya, ia hanya memberikan secarik kertas berisikan pesan di dalamnya kepada Jackson.
Jackson pun bungkam kala ia meraih kertas itu, tanpa bicara ia membaca pesan di baliknya. Rupanya sudut bibirnya terangkat jauh menyiratkan senyuman nakalnya kala melihat nama ayahnya tertera di sana.
“Buat dia ternyata,” ujar Jackson dengan maksud bermonolog sahaja. Namun, rupa-rupanya sang sahabat yang duduk di sampingnya sudah bisa mendengar dengan jelas.
“Siapa dia?” tanya Kelvin begitu penasaran hingga merebut kertas itu dari tangan sahabatnya.
Kelvin pun tersenyum simpul setelah melihat isi di balik kertas itu, tak heran baginya melihat pemandangan itu, tatkala mengingat jika ayah dari sahabatnya bekas pria yang gemar mempermainkan hati wanita.
Kali ini mereka tidak mengetahui siasat di balik minuman itu, hingga tanpa ragu Jackson menegak minuman itu hingga habis tak bersisa.
Sementara Kelvin memesan minuman kepada pelayan yang masih berdiri di tempat.
Hingga sepuluh menit berlalu, tubuh Jackson mulai terasa lain dari biasanya. Dahinya mulai berpeluh kecil serta rasa panas dari hawa yang menyebar perlahan ke seluruh tubuh.
Kelopak matanya terasa berat untuknya tetap terbuka, bahkan kini tubuhnya gemetar samar seolah menahan rasa lemasnya.
Kala sebuah rasa bergejolak menembus ubun-ubunnya menginginkan sentuhan dari seorang wanita, ia baru tersadar jika minuman yang telah di tegaknya mengandung secercah racun di dalamnya.
Sudah tidak dapat di tahannya lagi, ia bergegas meninggalkan waktu setempat tanpa berpamit kepada sahabatnya.
Sementara Kelvin telah menyadari tingkah lain dari sahabatnya itu, hingga ia membiarkan kepergiannya tanpa ingin menyusul.
Keadaan tubuh Jackson telah mencapai batas kekacauan tertinggi, hatinya merancu mencari jalan keluar yang akan di lakukannya selanjutnya.
Setelah berpikir keras, ia pun mengingat bahwa tempat yang kini menjadi pijakan kakinya memiliki ruang untuk mengistirahatkan sejenak tubuhnya.
Ia sudah tidak dapat melihat situasi lain lagi, di pikirkannya kini hanya sesegera mungkin untuk memesan sebuah kamar pada hotel yang tersedia di sana.
Tidak pernah terpikirkan olehnya, jika gagasan tujuannya kali ini akan membuahkan suatu kenikmatan. Yang mana itu akan menyeret batinnya pada kesengsaraan di lain waktu.
•
•
•
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments
DilemaBercintadenganDuda
aku baca dulu nya kakak, semangat kakak
2023-05-25
0
🍒⃞⃟🦅 R⃟tunggadevi㊍㊍👻ᴸᴷ
puitis
2023-04-14
0
@☠⏤͟͟͞R🎯™𝐀𝖙𝖎𝖓 𝐖❦︎ᵍᵇ𝐙⃝🦜
semoga tara gk kena napa yah
2022-09-27
0