"Mas.." sedikit teriak Winda memanggil Ardi.
Mungkin sudah saatnya, ia mempercayakan dirinya pada Ardi selain kepada Allah. Entahlah, Winda sebenarnya ingin melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri. Tetapi, disisi lain hatinya masih terdapat luka yang ditorehkan Ardi.
Ardi membalikan tubuhnya, mendapati Winda yang tak jauh di bawahnya. Hanya beberapa tangga lagi. Ardi terpaku melihat senyum Winda yang selama ini ia rindukan.
Perlahan, satu persatu anak tangga dinaiki oleh Winda. Winda gugup tentu saja. Batin Winda, kenapa ia yang harus menuju ke arah Ardi.
Ardi sebenarnya hendak mendekat dan merengkuh tubuh Winda. Tetapi, pijakannya serasa dipaku hingga ia tidak bisa bergerak.
(Pesona Winda nih :v)
Ardi tersadar dari keterpakuannya, "Iya?" dia pura-pura tidak mengerti.
"Aku...aku.." gugup Winda.
Tanpa mendengar lanjutan perkataan Winda, dia merengkuh tubuh kecil Winda dalam gendongannya. Dan segera ia bawa Winda masuk ke dalam kamar, dan menidurkannya Winda perlahan ke rajang.
Deru napas mereka saling beradu, Pashmina yang Winda kenakan dibuka perlahan oleh Ardi.
Memperlihatkan rambut hitam kelam Winda yang dikuncir belakang. Winda malu, setelah dua tahun putus dari Ardi. Winda memutuskan berhijrah dan hanya orang rumah saja yang melihat rambut Winda.
"Kita shalat dulu" sergah Winda cepat saat Ardi hendak mendekatkan wajahnya ke Winda.
"Dia tidak menolak" batin Ardi teriak senang.
Winda segera memasuki kamar mandi mengambil air wudhu begitu juga Ardi masuk setelah Winda keluar.
Mereka melaksanakan shalat sunah dengan khidmat, Ardi yang sebelum-sebelumnya jarang melaksanakan kewajibannya karena pekerjaan. Kini ia akan berusaha untuk lebih baik, ia ingat dirinya kini adalah kepala keluarga yang harus membimbing menuju ridho-Nya.
Selesai melaksanakan shalat sunah, Winda membereskan beberapa peralatan shalat. Sedang Ardi menunggunya sambil menatap takjub pada Winda.
Putus dengan Winda merupakan patah hati terbesar yang pernah ia sesali. Ardi masih mengamati Winda yang menuju pintu kamar dan menguncinya.
Duduklah Winda di sebelah kiri ranjang. Perasaan gugup sedang melanda dirinya. Sedari tadi jantungnya mempompa dengan kecepatan tinggi hingga pasokan udara serasa menipis dalam rongga dada Winda.
Ardi berdiri, menuju tempat Winda. Dirinya juga sama gugup seperti Winda. Tetapi, ia bisa menyembunyikan kegugupannya itu.
Diraihnya tangan Winda, Ardi mencoba menyalurkan kehangatan yang menjalar dari tubuhnya.
"Bolehkah?" bisik Ardi tepat di telinga Winda. Dia mencoba meyakinkan apa yang ia inginkan disetujui oleh istrinya itu.
Pipi Winda seperti terbakar hingga memerah, ia menundukan kepalanya. Sungguh jantungnya ingin melompat sekarang.
Apalagi Ardi seperti membisikinya sensual, serasa ada kupu-kupu terbang dalam perutnya. Membuat dirinya semakin tegang saja.
Winda menolehkan wajahnya, hendak berbicara namun sesuatu yang kenyal dan basah sudah menempel di bibirnya.
Sontak Winda memelototkan matanya tidak percaya, "Ish" gerutu Winda setelah Ardi melepas pagutan bibirnya.
Tangan Ardi menjulur mengusap bibir Winda menggunakan jarinya. "Katakan" ujarnya.
"I.. Iy mmphh" itulah Ardi. Bicara belum selesai dipotong oleh ciuman yang lebih menuntut.
Dengan hati-hati, tangan Ardi memegang bahu Winda dan perlahan merebahkan tubuh Winda ke ranjang.
Napas mereka berdua terdengar terengah-engah. Kening dan hidung mereka menempel. Ardi menampakan senyum tulus kemudian kembali mencium dengan sedikit tuntutan, agar Winda membalas ciumannya.
Malam itu, menjadi malam yang indah untuk mereka berdua. Saling memiliki dan berharap untuk bahagia menyapa dikemudian hari.
***
Pukul tiga dini hari, Winda terbangun karena sedikit kedinginan dan tubuhnya terasa pegal sekaligus nyeri di bagian bawahnya.
Ia menyibak selimut, langsung saja hawa dingin menerpa tubuhnya. Ia baru sadar, tubuhnya tak memakai sehelai benang pun.
Winda melirik ke belakang. Ardi tengah tertidur pulas. Hendak membangunkan Ardi. Tetapi, lebih baik ia mandi wajib dahulu.
Dengan langkah sedikit tertatih, Winda membawa dirinya masuk ke dalam kamar mandi setelah memungut pakaian yang bertebaran tadi.
Dua puluh menit Winda selesai mandi dan telah mengambil wudhu untuk tahajud.
"Astagfirullah! Mas Ardi sampai lupa" tepuknya pada jidat. Menuju ranjang, Winda mengguncang sedikit tubuh Ardi.
"Mas! Mas! Bangun. Tahajud" gugahnya.
Ardi menggerakan tubuhnya kecil. Mencoba membuka matanya dan mendapati Winda yang berdiri di sampingnya.
"Ada apa?" suaranya khas orang bangun tidur.
Ardi mengucek matanya dan mengumpulkan nyawa sembari bersender di kepala ranjang.
Ia merasakan hawa dingin menerpa tubuh yang tak tertutup selimut. "Tahajud Mas! Sekarang Mas Mandi wajib dulu. Winda siapkan pakaian nanti" pinta Winda.
"Apa sudah tidak apa-apa?" ini bukan jawaban yang ingin Winda dengar.
"Maksudnya?" jawab Winda merasa bingung.
"Semalam" jelas Ardi. Mendengar itu, Winda menggigit bibir bawahnya. Astagfirullah, Winda pikir apa tadi.
"Ng, iya sudah tidak apa-apa. Sekarang, Mas bangun tahajud ya"
Ardi mengangguk tersenyum. Ia hendak berdiri tetapi Winda malah membalikan tubuhnya. Baru sadar, Ardi melihat ke tubuhnya lalu terkekeh.
"Hahaha kupikir ada apa. Hei, bukankah kamu sudah melihat lebih, sayang" goda Ardi.
Winda tetap membelakangi Ardi, "Hush! Cepet ke kamar mandi. Keburu subuh loh" ujar Winda dengan pipinya terasa panas.
Ardi melilitkan selimut ke tubuhnya. "Iya, berbaliklah. Tidak baik membelakangi suami".
"Tidak! Cepatlah" Kekeuh Winda.
Segera saja Ardi menuju kamar mandi dengan langkah gontai karena nyawanya belum terkumpul sepenuhnya.
Winda menatap punggung Ardi yang tidak terlilit selimut. Sejurus kemudian Winda menatap ke arah ranjang.
"Bercak merah" gumam Winda pelan lantas tersenyum. Berarti, Winda telah memberikan apa yang sepantasnya suaminya dapatkan.
Menuju lemari baju Ardi, Winda memilih pakaian yang pantas. Menggelar sejadah, kini Winda duduk di sofa kamar sembari membaca al-qur'an untuk menunggu Ardi selesai dari kamar mandi.
Tak lama, pintu kamar mandi berbunyi. Ardi keluar hanya dengan handuk yang menutup dari pusar hingga ke lutut.
Winda mengakhiri bacaannya, melihat Ardi yang selesai mandi tersebut.
Sedetik ia seperti merasa dejavu menyerangnya. Ia seperti pernah melalui hal ini, saat Ardi hanya mengenakan handuk menutup area bawahnya.
"Dimana bajuku?" tanya Ardi sembari mengeringkan rambutnya yang basah.
Winda tersadar, "Eh, itu di samping mu!" tunjuk Winda pada meja samping Ardi.
"Winda, berhentilah mengkhayal yang berlebih!" batinnya menggerutu kesal karena pikirannya melayang kemana-mana.
.
.
.
AN: Maap loh kalau ndak ada feel sama sekali. Walau udah legal, nulis ini tuh nggak tega gimana gitu. Saya juga mengantisipasi adanya anak dibawah umur yang membaca cerita saya.
So, bijak memilih bacaan. Bagi yang muslim, jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan utama. :)
See ya..
Like & Komen yang banyak supaya cepat up.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Nur hikmah
mntap....meski d skiiip...hihihiji
2021-11-30
0
Dewi Fuzi
kebiasaan jd lebay
2021-05-02
1
irma achmad
bagus thor. suka banget
2019-09-17
6